Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Volksraad, knip, dan birokrasi

Hindia belanda memberikan hak-hak kepada volksraad (wakil rakyat) tidak efektif. hindia belanda runtuh, sentralisasi birokrasi makin kuat. di masa revolusi knip dan bp mengalami praktek demokrasi.

30 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGARUH sentralisme birokrasi di Indonesia sejak awal abad ke-20 tidak dapat dihapus dengan kemauan baik saja. Pada akhir 1937, sebuah surat kabar Belanda di Jakarta mencatat: "Hindia (baca: Indonesia) telah menjadi sebuah negara di bawah rezim polisi." Ciri-ciri negara semacam itu ialah adanya tekanan yang terus-menerus, pengawasan yang menjengkelkan, karena dilakukan dengan pikiran-pikiran picik terhadap semua gerakan yang bercorak antipemerintah, baik yang berdasarkan kenyataan maupun atas dugaan semata. Tekanan dan tindakan terhadap gerakan semacam itu diserahkan kepada aparat keamanan. Hindia Belanda juga dikenal sebagai "negara pegawai" (Beambtenstaat), yang sejak awal abad ke-20 bernaung di bawah lindungan politik etika. Sasaran "negara pegawai" ialah tercapainya keadaan "aman dan tertib" (rust en orde), dan politik kolonial yang dijalankan hanyalah merupakan alat untuk menerapkan sasaran administratif tersebut. Dalam banyak hal, administrasi semacam itu mengabaikan atau menganggap tidak ada tuntutan sosial yang bersaing dalam masyarakat. Dalam keadaan seperti itu, maka peranan kekuatan politik tidak dapat memberi pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan peri laku politik pemerintah. Walau demikian, suasana seperti itu tidak menghalangi munculnya gagasan dan perbincangan di sekitar tema pembaruan. Yang penting di antaranya ialah sejauh mana praktek demokrasi Barat dapat dijalankan dalam masyarakat kolonial waktu itu. Bentuk pranata demokrasi yang diciptakan akhirnya ialah Volksraad (Dewan Rakyat), yang didirikan pada 1918. Pranata itu dalam praktek mempunyai hak mengeluarkan pendapat, mengajukan pertanyaan, permohonan (petisi), interpelasi, inisiatif, dan hak amendemen. Dengan sistem pemilihan yang terbatas, keanggotaan terpilih dapat diadakan di samping anggota yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Kedudukan Hindia Belanda sebagai negeri jajahan yang mempunyai "ibu negeri" di Belanda menyebabkan hak-hak yang diberikan kepada Volksraad tidak efektif. Lagi pula, pranata itu baru merupakan pengalaman awal praktek demokrasi dalam sejarah politik Indonesia. Tapi karena persidangan-persidangan itu terbuka untuk dikomunikasikan melalui media massa, maka apa yang disuarakan oleh "wakil-wakil rakyat" tersebut dengan mudah diketahui pembaca surat kabar. Para pemimpin pergerakan nasional pun ikut memberi komentar atas persidangan Volksraad. Di antara mereka ada yang menilai badan itu tak lebih dari sekadar "komedi rakyat". Pidato-pidato persidangannya pun dalam waktu singkat diterbitkan semua dalam risalah Volksraad, yang hingga dewasa ini dapat dibaca kembali sebagai sumber otentik pemikiran politik ke arah pembaruan dan kemajuan zaman itu. Membaca risalah Volksraad, terutama setelah tahun 1930, terlihat bahwa anggota Indonesia dalam badan itu perlahan-lahan muncul sebagai anggota parlemen yang tangguh dalam pendirian, cakap dalam menyusun argumentasi, dan kritis menilai kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda, khususnya terhadap hal-hal yang menyangkut hajat hidup nasional bangsa Indonesia. Beberapa peristiwa, seperti reaksi pergerakan nasional terhadap maksud pemerintah untuk menghalangi perguruan swasta melalui "Ordonansi Sekolah Liar", tuntutan Indonesia berparlemen, bahkan penggunaan bahasa Indonesia dalam dewan itu sesuai dengan Sumpah Pemuda tahun 1928, mendapatkan gema yang lantang dan jelas dalam pidato anggota Indonesia pada persidangan-persidangan Volksraad. Runtuhnya Hindia Belanda menyebabkan sentralisme birokrasi makin ketat, terutama karena di atas birokrasi itu bertengger kekuasaan pemerintah militerJepang. Keadaan yang semakin buruk membuat banyak pemimpin Indonesia yakin bahwa pembaruan dan kemajuan yang dicitakan hanyalah mungkin bila bangsa Indonesia merdeka. Dan nasionalisme memang tidak padam dalam sidang badan-badan yang didirikan Jepang. Di masa revolusi, praktek demokrasi tampaknya diperlukan untuk mengimbangi pemerintak dalam membela hasil Proklamasi Kemerdekaan. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan Badan Pekerja-nya merupakan kenangan manis bagi mereka yang mcngalami praktek demokrasi, yang sasaran utamanya ialah tercapainya tujuan proklamasi. Surat kabar pun merekam inti perdebatan yang kadang berlangsung dengan semangat tinggi, tapi berbobot. Soal pokok ialah tuntutan 100% merdeka melalui perjuangan dan tidak selalu berkompromi dalam diplomasi dengan Belanda. Di Indonesia bagian timur, praktek demokrasi dalam perwalian pemerintah Belanda berlangsung di Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT). Juga di situ muncul fraksi-fraksi yang menjadi oposisi pemerintah NIT, yang dianggap lebih pro-Belanda daripada pro RI. Fraksi Progresif dan Fraksi Nasional di sana mendukung Republik Indonesia, meski RI, yang pimpinannya duduk di Yogyakarta, diproyeksikan hanya akan menjadi satu dari sejumlah negara bagian dalam susunan negara yang bakal dibentuk waktu itu. Beberapa ciri mutakhir dalam perkembangan praktek demokrasi telah tersirat dalam karangan Deliar Noer dan Soetjipto Wirosardjono. Yang pertama, menawarkan program yang kedua, mengemukakan betapa rumitnya praktek demokrasi melalui DPR, yang keanggotaannya diambil dari khazanah kader politik, yang sebagian besar terdiri dari "pemimpin karbitan dan politisi salon". Keadaan dan konteks sejarah kemasyarakatan memang dapat menumbuhkan kader politik seperti itu. Tetapi tidak adil rasanya kalau hal itu hanya ditujukan kepada mereka yang kini berada dalam DPR, karena kehidupan politik sebenarnya tidak ditentukan oleh pelaksanaan formal pemilu. Bergantung juga pada proses pembentukan elite Indonesia dalam artinya yang luas. Integritas pribadi, misalnya, juga merupakan salah satu tolok ukur yang penting, yang selama ini tampaknya diabaikan oleh banyak di antara kita yang kini menduduki jenjang kepemimpinan. Anggota-anggota Indonesia dalam Volksraad dan Komite Nasional Indonesia Pusat telah tumbuh dari keadaan dan konteks sosial yang jauh dari belaian manja birokrasi. Dan ketika kita bicara tentang pesta demokrasi yang dianggap akan memberikan suasana demokrasi, ada baiknya disadari bahwa justru praktek demokrasi jauh lebih menentukan. Sama pentingnya dengan pemilu ialah "pemungutan suara setiap hari" mengenai berbagai masalah. Dan, untuk sampai ke sana, suatu rekonstruksi dari pengalaman praktek demokrasi dalam perspektif sejarah perlu diungkapkan secara terus-menerus pula. Bukan tidak ada yang dapat kita pelajari dari sejarah Volksraad, KNIP, dan Parlemen zaman setelah revolusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus