Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IKAN busuk dimulai dari kepalanya, polisi buruk berawal dari presidennya. Seperti Presiden Joko Widodo yang acap melakukan tindakan yang tak sesuai dengan ucapannya, polisi juga terbalik berpikir dalam menjalankan profesinya. Markas Besar Kepolisian RI malah memecat anggotanya, Inspektur Dua Rudy Soik, yang menindak terduga penimbun bahan bakar minyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Jumat, 11 Oktober 2024, Komisi Kode Etik Polri memvonis Kepala Urusan Operasi Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kupang itu dengan pemberhentian secara tidak hormat karena dianggap melanggar kode etik profesi. Kesalahannya: ia berada di tempat hiburan malam saat jam dinas pada 25 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, laporan itu dibuat oleh polisi lain setelah Rudy Soik memasang garis polisi pada drum berisi BBM pada 27 Juni 2024 di rumah seorang penduduk Kupang. Rudy mendapat perintah dari atasannya untuk menyelidiki dugaan penimbunan BBM di Kupang, yang membuat minyak di kota itu langka. Berbekal surat tugas dan penyelidikannya, Rudy lantas menyegel drum-drum yang diduga alat penimbun BBM tersebut.
Tindakan Rudy itu berbuntut panjang. Ia dilaporkan melanggar kode etik, tapi bukan karena memasang garis polisi itu. Karena itu, Rudy dan pengacaranya menilai laporan tersebut akal-akalan agar ia bisa dihukum. Apalagi Rudy melihat terduga penimbun BBM itu menyuap polisi lain yang datang lebih dulu ke rumah tersebut.
Rudy terkenal sebagai polisi yang getol membongkar kejahatan di Kupang. Ia, misalnya, bisa membongkar jaringan penyelundupan orang ke luar negeri berkedok buruh migran. Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan tindak pidana penyelundupan orang (TPPO) tertinggi kedua di Indonesia setelah Kalimantan Barat. Sudah seharusnya polisi seperti Rudy berfokus pada kejahatan terbanyak di wilayah kerjanya.
Tapi begitulah polisi kita sekarang. Polisi baik kalah oleh polisi buruk. Karena membongkar kejahatan, ia malah dihukum. Vonis terhadap Rudy Soik ini makin menguatkan kejengkelan publik bahwa polisi terbalik mempraktikkan slogan “melindungi dan mengayomi masyarakat”. Polisi yang menjalankan slogan itu malah dipecat. Sedangkan polisi yang menerima suap malah bebas.
Agaknya tak ada teori apa pun yang bisa menjelaskan keterpurukan Polri ini kecuali kebobrokan yang sudah berurat-daging, dari pusat hingga level terbawah di daerah. Sebab, vonis Rudy Soik bukan yang pertama. Polri membebaskan para perwira yang terlibat pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat oleh Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Bahkan Polri tak memecat Brigadir Richard Eliezer yang divonis 1 tahun 6 bulan penjara karena menjadi eksekutor pembunuhan Yosua.
Dengan mental polisi seperti itu, tak mengherankan polisi seperti Rudy Soik yang berada di jalan lurus harus disingkirkan. Polisi seperti dia tak punya tempat di kepolisian karena akan mengganggu sistem bobrok di institusi ini. Karier polisi seperti Rudy yang tak pandai menyogok dan menyenangkan atasan jelas tak akan moncer. Maka lingkaran setan ini akan membentuk mental polisi di mana saja bahwa menjadi baik justru merugikan diri sendiri.
Jika artikel ini terasa pesimistis, hal itu karena kita tak tahu lagi cara membenahi Polri yang mirip benang kusut. Pemahaman profesi, perekrutan, dan meritokrasi yang disebut-sebut sebagai kunci pembenahan Polri akan mentok dengan mental dan kultur korup para polisi dari atas hingga bawah.
Polisi seperti Jenderal Hoegeng Iman Santoso sekalipun tak bisa mengubah kebobrokan polisi sewaktu ia menjadi Kepala Polri pada 1968-1971. Hoegeng sendirian menjadi polisi yang baik. Kini situasinya lebih parah: polisi tak akan mendapatkan Hoegeng lain karena polisi seperti Rudy Soik pun dijegal sejak awal.