Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
UJI kelayakan dan kepatutan terhadap calon Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Andika Perkasa di Dewan Perwakilan Rakyat pada Sabtu lalu mempertontonkan lunturnya semangat supremasi sipil di negeri ini. Alih-alih menguliti rekam jejak Andika yang antara lain pernah diduga terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia, para anggota Komisi I DPR yang membidangi pertahanan dan kemanan malah berlagak seperti suporter, mengenakan baju hijau mirip pakaian tentara. Mereka seolah lupa bahwa mereka adalah wakil rakyat yang semestinya meneguhkan supremasi sipil di lembaga sipil.
Presiden Joko Widodo menunjuk Andika sebagai calon tunggal Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto pekan lalu. Penunjukkan itu menuai kritik karena menantu mantan Kepala BIN AM Hendropriyono itu diduga terkait kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay. Pada 2001 lalu, Ketua Presidium Dewan Papua itu diculik dan tewas sehari setelah menghadiri upacara Hari Pahlawan di Markas Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat di Jayapura.
Orang tua salah satu anggota Kopassus pernah mengirim surat ke Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu bahwa anaknya dipaksa Andika untuk mengaku terlibat dalam pembunuhan dengan imbalan karir di Badan Intelijen Negara. Kala itu Andika yang masih berpangkat mayor bertugas di markas Kopassus TNI AD Jayapura.
Tapi para anggota Komisi I DPR malah tidak menyinggung persoalan dugaan pelanggaran tersebut saat uji kelayakan dan kepatutan. Tanpa catatan DPR menyetujui penunjukan Andika sebagai panglima.
Indonesia memiliki sejarah pahit selama puluhan tahun di era Orde Baru ketika militer mendominasi semua urusan sipil. Di masa itu, marak terjadi pelanggaran hak asasi manusia serta kekerasan tentara terhadap masyarakat sipil. Itu sebabnya reformasi 1998 dengan tegas memandatkan penegakan supremasi sipil.
Supremasi sipil merupakan syarat utama negara demokratis yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Seturut konsep ini militer yang memiliki wewenang penggunaan kekerasan mesti berada di bawah kontrol sipil demi menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Setiap dugaan kekerasan atau pelanggaran HAM juga mesti diusut secara transparan hingga tuntas. Apalagi jika kasus tersebut melibatkan calon Panglima TNI.
Uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan DPR semestinya menjadi sarana untuk evaluasi kritis sekaligus mencari calon pemimpin TNI yang bersih dan mampu memperbaiki tentara. Misalnya, forum uji kelayakan harusnya digunakan DPR untuk mendorong para calon pemimpin TNI untuk mengoreksi pendekatan militeristik yang berlumuran pelangaran HAM di Papua. Namun sebaliknya yang terjadi. Sabtu lalu, gedung DPR kita serasa markas tentara.
Sudah terlalu sering anggota DPR mempertontonkan sikap yang berlawanan dengan aspirasi masyarakat. Publik semestinya tidak diam menghadapi kondisi ini. Sudah saatnya kita kritis terhadap tindak tanduk setiap anggota DPR, juga partai, dan berhenti mendukung politisi yang malah menggunakan mandat politik dari rakyat untuk tujuan yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini