Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Bibi

Zionisme di tangan Benjamin Netanyahu menjadi ideologi “status quo”, menolak peluang damai dengan Palestina.

7 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA November 2022, calon Perdana Menteri Israel dari Partai Likud yang berkoalisi dengan sayap kanan, Benjamin Netanyahu, sedang berkampanye di Yerusalem. Saya sedang berkunjung ke kota di Israel itu dan berdebat dengan pemandu wisata yang lancar berbahasa Indonesia. Namanya Geva Hadaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalian, warga Israel, sebaiknya tidak memilih Bibi kalau hendak berdamai dengan orang Arab,” kata saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Damai seperti apa?”

“Seperti yang disepakati di Oslo, solusi dua negara, two states solution.

“Itu berarti kami harus memberi tanah kepada orang Palestina, seperti yang diusulkan Partai Pekerja,” Geva berseru.

Saya terkejut mendengarnya. Geva mengambil sikap pemilik tanah yang lupa sejarah aliyah atau “kembali dari diaspora” keluarga Yahudi ke tanah Palestina sejak abad XIX. Yang mengherankan ialah apa yang membuat seorang pemandu wisata rohani Israel jadi sedemikian mendukung Bibi, politikus elite yang tersangkut perkara suap, dan bukan dari kelas pekerja sepertinya?

Anshel Pfeiffer dalam buku biografi Netanyahu, Bibi: The Turbulent Life and Times of Benjamin Netanyahu, menunjuk cara memahami Bibi dan daya tariknya ialah memahami ideologi zionisme yang ia anut, zionisme model revisionis Ze’ev Jabotinsky. Ayah Bibi, Benzion, adalah sekretaris Jabotinsky.

Model revisionis ini menolak zionisme awal. Semula zionisme yang dianut Theodor Herzl dan Ben Gurion sejak negara Israel berdiri pada 1948 itu berpaham sekuler, bercorak kiri, dengan ideologi kelas pekerja. Bagi Ben Gurion, dengan bekerja sebagai petani, pendatang Israel itu akan berakar di bumi Palestina, tidak seperti diaspora yang tercerabut dari pertanian sehingga dianggap orang asing.

Sosialisme yang dianut para Labour Zionis itu pada awalnya terbuka mengintegrasikan orang Arab bergotong-royong di tanah kering Timur Tengah. Dengan sosialisme itu pula mereka menempuh negosiasi saat koloni-koloni Kibbutz Yahudi bertumbuh di Palestina pada awal abad XX.

Di ujung jalan pendudukan Israel atas Palestina, para Zionis kiri ini hampir berhasil menemukan jalan damai, yaitu penandatanganan kesepakatan Oslo, antara Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat tahun 1993. Namun pada 1995, Yigal Amir, pengikut kelompok ekstrem kanan Israel, menuduh Rabin berkhianat dan menembaknya hingga tewas. Anehnya, mulai saat itu, Bibi yang menolak kesepakatan Oslo menyingsing di pentas politik Israel.

Dengan naiknya Bibi, zionisme revisionis ala Jabotinsky ganti memandu politik Israel. Zionisme ini antisosialisme dan bersikap realistis. Mereka meyakini bangsa Arab tidak menyukai permukiman Yahudi bukan lantaran alasan sosial-ekonomi, tapi karena benci kepada orang Yahudi. Maka jalan damai yang mungkin dari cara pandang ini ialah memaksa Palestina berhadapan dengan kekuatan tak sebanding. Atau, seperti usul Jabotinsky—yang diyakini Bibi dalam The Iron Wall (1923)—hadapi musuhmu dengan tembok ketidakpedulian.

Bibi lahir di Tel Aviv tahun 1949. Ayahnya penulis sejarah antisemitisme Spanyol. Kesimpulan ayahnya atas inti sejarah penyiksaan orang Yahudi, yang kemudian dianut Bibi, adalah sejarah “holocaust”. Maka dengan sinis Bibi menatap segala jalan damai sebagai cara yang menyimpan ancaman bahkan penghancuran orang Yahudi.

Bibi pun menulis sikap yang mirip dengan pikiran ayahnya itu dalam bukunya, Durable Peace: Orang-orang Yahudi pernah dibuang, lalu menjadi komunitas yang menyebar di seantero dunia, dan mereka kehilangan segala yang diperlukan untuk membela diri.… Maka kebangkitan Israel dalam cara pandang seperti itu berarti merebut dan menebus cengkeraman penderitaan yang tak henti-henti.

Zionisme di tangan Bibi pun jadi ideologi “status quo”, melegitimasi sikap kalah-menang dan menolak peluang damai dengan orang Palestina. Bukan hanya tembok sepanjang 700 kilometer yang mengurung orang Palestina yang dibangun Israel, tapi juga suatu demokrasi yang cacat karena penetapan Israel sebagai Jewish State, yang dengan sendirinya diskriminatif terhadap bangsa Arab. 

Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 membuyarkan janji ideologi zionisme revisionis itu dan menunjukkan keamanan di balik tembok hanyalah ilusi. Lalu apa legacy sikap “status quo” Bibi—setelah ia menjadi Perdana Menteri Israel 1996-1999, lalu 2019-2021, berlanjut pada 2022 tak seperti anjuran saya kepada Geva Hadaya—yang kini hari-harinya dipenuhi dengan perintah mengebom Hamas dan penduduk Gaza tanpa henti?

Dalam buku Pfeiffer itu dicatat suasana buntu Israel seperti yang dirasakan Benjamin Netanyahu: “…menikmati standar hidup gaya Amerika sambil menjaga pendudukan atas wilayah tetangganya. Israel adalah masyarakat campuran antara fobia kuno dan janji teknologi tinggi, antara tribalisme dan globalisme.” Seperti itulah juga Benjamin Netanyahu.

Situasi politik Israel-Palestina yang penuh gejolak hari-hari ini, ataupun situasi politik Indonesia yang terkesan stabil setelah pemilihan umum, tetap saja akan dicegat oleh pertanyaan tentang legacy pemimpinnya di masa depan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus