Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

<font color=#336600>Rawapening</font> Riwayatmu Kini

Danau terbesar di Jawa Tengah terancam mati muda. Pendangkalan jadi musuh utamanya.

10 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEINDAHAN Rawapening sungguh terpatri di hati Kasiyan, 42 tahun. Ketua Paguyuban Kelompok Tani dan Nelayan Sedyo Rukun ini teringat saat pertama kali mendayung sampan milik orang tuanya menuju danau seluas 2.667 hektare itu. Kasiyan muda terpukau di tengah danau sedalam 20 meter yang menyimpan pemandangan serupa firdaus itu.

Di sekeliling danau ia hanya melihat air berwarna biru. Pandangan mata ke dasar danau pun sungguh jelas. Ikan air tawar berwarna gelap sesekali berkelebatan. Tiga gunung raksasa di sekitarnya—Merbabu di selatan, Telomoyo di barat, dan Ungaran di barat laut—membuat Kasiyan bagai satu titik kecil di tengah lautan. ”Inilah masa-masa Rawapening yang tak akan pernah terlupakan,” Kasiyan, yang menakhodai 2.000 petani dan nelayan Rawapening, mengenang, pekan lalu.

Rawapening adalah danau yang terbentuk alami di ketinggian 465 meter di atas permukaan air laut. Pada 1912-1916, pemerintah Belanda membangun bendungan yang memanfaatkan Kali Tuntang sebagai satu-satunya pintu keluar. Rawapening dimanfaatkan untuk irigasi lahan pertanian, perkebunan, air baku minum, dan pembangkit listrik tenaga air serta area pariwisata. Luas danau di musim kemarau bisa menyusut menjadi 1.650 hektare.

Seperempat abad berselang, Kasiyan merasakan keindahan danau yang dikenal lewat legenda Baru Klinting ini terus memudar. Masalah pendangkalan, tata guna lahan, dan memburuknya kualitas air kian pasti membawa Rawapening menjelma jadi daratan. ”Kini dalamnya tinggal 7 meter,” kata Kasiyan.

Keluhan Kasiyan senada dengan disertasi Tri Retnaningsih Soeprobowati. Menurut Sekretaris Program Magister Biologi Universitas Diponegoro ini, kondisi Rawapening kritis. Selama 22 tahun (1976-1998) volume danau menurun hingga 29,34 persen. Pengukuran batimetri (ilmu yang mempelajari kedalaman air) terbaru pada 2008 bahkan mencatat volume Rawapening mencapai 16.082.908,447 meter kubik. Artinya, rerata kedalamannya kini 3,87-4,04 meter. ”Pendangkalan terjadi dengan cepat,” kata ibu 46 tahun ini. Jika kondisi itu terus berlanjut, Rawapening sungguh-sungguh akan jadi daratan pada 2050 atau lebih cepat seperti prediksi Pemerintah Kabupaten Semarang yang mematok pada 2021.

Penelitian Tri tentang analisis diatom protokol Indonesia untuk rekonstruksi Rawapening mengantarkannya meraih gelar doktor dengan predikat cum laude di Universitas Gadjah Mada pada Desember 2010. Diatom adalah mikroalga dengan dinding sel silika yang dapat memfosil. Nah, fosil diatom pada inti sedimen danau itulah yang dapat mengindikasikan kualitas air.

Menurut Tri, ada beberapa faktor yang mempercepat pendangkalan Rawapening. Pertama, tingginya kandungan fosfat yang memicu berkembangnya eceng gondok (gulma). Kedua, perubahan tata guna lahan dari pertanian, hutan, dan perkebunan menjadi permukiman di area daerah aliran sungai. Kini sub-subdaerah aliran sungai, seperti Sungai Legi, Parat, Galeh, dan Sraten, membawa erosi kategori berat. Dapat dipastikan erosi itu menyebabkan sedimentasi.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Semarang Prayitno Sudaryanto membenarkan sedimentasi di Rawapening sangat parah. Buruknya sembilan subdaerah aliran sungai yang berakhir di Rawapening dinilai sebagai salah satu penyebabnya. Kementerian Lingkungan Hidup mencatat laju erosi di hulu daerah aliran sungai mencapai 1.695,29 ton per hektare per tahun, yang menyumbang potensi sedimentasi 743.456 ton per hektare. ”Material erosi tinggi,” katanya.

Aktivitas penambangan batu di daerah sekitar danau pun turut mempercepat erosi. Kondisi ini diperparah keberadaan eceng gondok yang rutin menutupi 60 persen permukaan danau atau menyumbang sedimentasi 150 ribu meter kubik.

Kasiyan merasakan dampak eceng gondok. Tak hanya mempercepat pendangkalan, eceng gondok menjadikan air danau bau dan keruh lantaran endapan batang-batang gulma yang mati. Akibatnya, luas tangkapan ikan nelayan menyempit. Populasi ikan berkurang karena kandungan oksigen lebih banyak diserap eceng gondok.

Memang, penduduk sekitar memanfaatkan eceng gondok untuk kerajinan. Tapi tidak berdampak signifikan. Tanaman yang dalam bahasa Jawa disebut bengok ini terus saja tumbuh tak terkendali meski pemerintah telah melakukan pengerukan.

Khusus untuk mengurangi laju pertumbuhan eceng gondok, pemerintah saban tahun melepas ribuan ekor ikan grass carp (jenis ikan pemangsa tumbuhan air). Ikan ini mampu memakan tumbuhan 150 persen dari berat badannya dalam sehari. Misalnya, grass carp ukuran satu kilogram bisa menghabiskan satu setengah eceng gondok per hari. Sayangnya, ikan ini banyak yang tertangkap jala nelayan. ”Kami hanya terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak memperparah kerusakan yang sudah terjadi,” kata Prayitno.

Maka pendangkalan Rawapening harus segera dicarikan solusinya. Kementerian Lingkungan Hidup telah menetapkan Rawapening sebagai satu dari 15 danau di Indonesia dengan kondisi darurat atau rusak parah. ”Kami sedang menyiapkan rencana aksi rehabilitasi,” kata Arif Suwanto, Kepala Bidang Danau Kementerian Lingkungan Hidup.

Tri menegaskan konservasi danau bertipe ekosistem tergenang ini mutlak. ”Percepatan pendangkalan harus diperkecil untuk memperpanjang lifetime,” katanya. Jawabannya, itu tadi, pengurangan perkembangan eceng gondok, pengendalian tata guna lahan untuk permukiman, dan perbaikan sembilan subdaerah aliran sungai yang bermuara ke Rawapening.

Jika Rawapening sungguh-sungguh mati muda, tidak hanya akan berdampak regional, tapi juga nasional. Bayangkan berapa banyak penduduk yang menggantungkan hidup di sana. Sedikitnya ada 39.277 hektare sawah di Kabupaten Semarang, Grobogan, dan Demak yang mengandalkan aliran irigasi dari Rawapening. Selain itu, ada 500 hektare lahan perikanan dan perkebunan. Belum lagi Pembangkit Listrik Tenaga Air Djelok dan Timo yang berkapasitas 25 megawatt. Tak kalah pentingnya, pasokan air minum yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Semarang, yang sebagian air bakunya diambil dari Rawapening.

Ancaman dampak kerusakan Rawapening membuat Prayitno ingat kata-kata bijak leluhur yang menjadi kearifan lokal penduduk Jawa Tengah. ”Suk yen Watugong wis dadi kraton, watu kodok mencolot menyang Demak, Rawapening kanggo kekipu Gemak, bakal teka bebaya kang ngedap-edapi.” Maksudnya: ”Suatu saat kalau daerah Watugong sudah menjadi perkantoran, batu-batu di gunung berpindah sampai Demak, Rawapening berubah menjadi daratan tempat bermain burung puyuh, bencana dahsyat sudah dekat.”

Meski belum mengering benar, penggambaran itu sudah di pelupuk mata. Faktanya, bebatuan di Gunung Ungaran telah ditambang dan dijual sampai Demak

Dari jarak jauh sebenarnya masih terlihat keindahan Danau Rawapening. Memacu kendaraan di Jalan Raya Tuntang (jalur utama Semarang-Salatiga), cekungan danau yang kontras dengan punggung-punggung gunung terlihat mempesona. Tapi, dari jarak lebih dekat, Rawapening riwayatmu kini dipenuhi lautan eceng gondok serupa permadani hijau.

Rudy Prasetyo (Jakarta), Sohirin (Semarang)


Potensi Rawapening

  • Sumber irigasi (Kabupaten Semarang, Grobogan, dan Demak)
  • Perikanan
  • Air baku minum
  • Pembangkit listrik
  • Wisata alam

  • Ketinggian 465 meter di atas permukaan laut
  • Luas kurang-lebih 2.667 hektare
  • Kedalaman normal 19 meter
  • Dikelilingi tiga gunung: Merbabu (selatan), Telomoyo (barat), dan Ungaran (barat laut)

Kerusakan

  • Luas lahan kritis 5.344 hektare, tersebar di Kecamatan Getasan, Jambu, Ambarawa, Sumowono, dan Banyubiru
  • Laju erosi di hulu daerah aliran sungai Rawapening 1.695 ton per hektare per tahun
  • 60 persen lahan tertutup gulma (eceng gondok)
  • Potensi sedimentasi 743.459 ton per hektare
  • Rerata kedalaman 3-4 meter
  • Kualitas air danau melebihi baku mutu air
  • Potensi jadi daratan pada 2050

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus