Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FIRMAN Utina mendapat kesempatan istimewa. Dia berhak melakukan ”eksekusi” dengan tendangan penalti di depan gawang kesebelasan Malaysia yang dijaga Khairul Fahmi Che Mat. Hup! Bola malah bersarang di dalam dekapan sang kiper. ”Ini kesalahan saya,” kata kapten tim nasional kesebelasan Indonesia dalam pertandingan final AFF Suzuki 2010 itu, di kandang sendiri di Stadion Gelora Bung Karno, 29 Desember 2010.
Hasil akhir serentetan pertandingan yang dramatis itu, kita sama-sama sudah tahu. Namun tidak banyak yang tahu mengapa tendangan Firman tak digdaya saat penalti. Salah satu faktornya adalah cedera yang menimpa pemain asal Gorontalo itu.
Cedera lutut Firman pertama terjadi saat sesi latihan di Lapangan C, Senayan, Jakarta, Sabtu, 11 Desember, menjelang laga leg pertama semifinal melawan kesebelasan Filipina, 16 Desember 2010. Setahun sebelumnya, saat memperkuat Pelita Jaya melawan Persela Lamongan pada pertandingan perdana Liga Super Indonesia, Firman cedera parah pada engkel kaki kanan.
Memang pelatih tim nasional Alfred Riedl menambah porsi latihan untuk pertandingan semifinal. Nah, dalam sesi latihan itulah Firman cedera lutut. Ia terlihat terpincang-pincang setelah melepaskan tendangan keras ke arah gawang. Firman mengakhiri latihannya lebih cepat. Di pinggir lapangan, gelandang yang telah mencetak dua gol di ajang Piala AFF tersebut kerap terlihat memegang lutut sebelah kanan yang sudah dikompres. ”Saat saya tanya ke Firman, dia bilang enggak apa-apa,” kata asisten pelatih Widodo Cahyono Putro.
Lutut kanan Firman kembali cedera saat tampil di laga semifinal penentuan atau leg kedua melawan Filipina pada 19 Desember. ”Setelah pertandingan, langsung terasa sakitnya,” kata Firman. Dia mendapatkan delapan suntikan dari dokter tim, sebelum turun untuk meredam sakit pada lututnya itu. ”Mau tidak mau saya disuntik dulu biar tetap bisa main,” ujarnya.
Selain itu tengah tersebut menderita cedera selangkangan. Menurut fisioterapis tim Mathias Ibo, ada tiga proses terapi yang dijalani Firman: terapi laser, pergerakan persendian, dan ruang oksigen. Terapi oksigen, menurut Ibo, berguna mempercepat penyembuhan. Dalam terapi tersebut, pemain yang cedera diberi oksigen dua kali lipat dibanding kebutuhan rata-rata. Ada empat pemain lain yang cedera dengan posisi dan kondisi berbeda-beda, yaitu Muhammad Nasuha, Irfan Bachdim, Eka Ramdani, dan Oktovianus Maniani. Tapi Firman paling parah.
Menurut ahli kedokteran olahraga Michael Trianto, olahraga dan cedera bagai sahabat karib, sulit dipisahkan. Cedera yang paling banyak terjadi biasanya akibat penggunaan berlebihan pada tulang, otot, dan jaringan lainnya. Bagian tubuh yang pernah cedera biasanya juga akan lebih mudah mengalami cedera ulangan. ”Kulit saja, jika sudah luka, bekasnya tidak hilang, demikian halnya yang terjadi di dalam,” katanya.
Cedera pada persendian atau jaringan otot yang sudah pulih akan menjadi jaringan berbeda dan tidak seelastis jaringan aslinya. ”Jaringan baru yang terbentuk akan mengakibatkan keseimbangan kaki kiri dan kanan berbeda. Ini mempermudah terjadinya cedera yang lebih berat di masa mendatang,” ujarnya.
Sepak bola, menurut Michael, merupakan permainan olahraga yang cukup keras. Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan pemain sepak bola profesional kehilangan rata-rata 24 hari dalam setahun gara-gara cedera, yang sepertiganya terjadi saat latihan.
Permainan ini menggabungkan kecepatan dan keahlian mengolah bola. Ada momen berlari kencang dan perubahan manuver, seperti berputar ataupun menekuk secara tiba-tiba. ”Proses berlari kencang itu mengakibatkan suatu gaya yang memungkinkan sendi cedera, ditambah lagi saat bermanuver, misalnya tiba-tiba berputar arah setelah berlari kencang. Tanpa kemampuan fisik prima dan skill bagus, cedera mudah sekali terjadi,” dia menjelaskan.
Menurut penelitian ahli bedah tulang di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dokter Basuki Supartono, cedera saat latihan lebih banyak terjadi di bagian lutut, lengan, dan pinggang atau pinggul. Masalahnya, keterlibatan pelatih memberi penanganan cedera awal juga minim. ”Yang memprihatinkan, penanganan cedera atlet lebih banyak ditangani secara tradisional. Dampak perawatan hingga rehabilitasi juga tidak dipikirkan,” katanya.
Zara Lovera Tifani, 22 tahun, atlet sofbol Klub Redfox, Bandung, juga cedera pada bagian tulang belikat saat latihan di Lapangan Lodaya pada 2007. ”Nyeri, disentuh saja seperti ditusuk jarum,” katanya. Finalis Miss Indonesia 2010 itu biasanya rutin berlatih tiga hari dalam sepekan. Rasa sakit tersebut kemudian menyebar ke punggung tengah. Makin terasa tiap kali tubuhnya yang berbobot 53 kilogram itu kelelahan setelah beraktivitas seharian.
Menurut dokter ahli kesehatan olahraga dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Ambrosius Purba, cedera Zara akibat ototnya melintir saat memukul bola. ”Bisa jadi atletnya kurang pemanasan, atau kurang pendinginan tubuh,” ujarnya.
Prinsip dasarnya, cedera itu sesuai dengan pola gerak olahraganya. Cedera pemain tenis dan sofbol biasanya di punggung; silat atau karate, di wajah atau selangkangan; serta tinju, di mata dan perut. Dokter spesialis kedokteran olahraga lain, I Nyoman Winata, mengingatkan jangka 24-48 jam yang menentukan bagi atlet cedera. ”Ambil dulu tindakan awal RICE. Jika ada diagnosis lain, baru ke tahap terapi selanjutnya,” ujarnya Selasa pekan lalu di Klinik Kesehatan Atlet Senayan. RICE adalah singkatan dari rest (istirahatkan), ice (dinginkan), compress (bebat), dan elevation (mengangkat bagian cedera lebih tinggi daripada jantung).
Cedera pada atlet sering terjadi, bahkan bisa lebih bahaya dibanding cedera yang dialami bukan atlet. Sebab, seorang atlet tak boleh berhenti latihan demi menjaga performa dan prestasi. Seperti yang pernah dialami pebulu tangkis ganda putri Eliza. Pada Februari 1999, saat bertanding di Grand Prix Brunei Darussalam, lututnya cedera. Namun dokter resmi Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia meminta tak merisaukan cederanya. Eliza diberi obat dan terapi tusuk jarum.
Seusai istirahat sebulan, juara Indonesia Terbuka 1997 itu kembali berlaga di beberapa kejuaraan. Tapi ia merasakan sesuatu yang tidak beres. ”Kaki sering terasa goyang dan berbunyi krek,” katanya kepada Tempo pada waktu itu. Gerakan Eliza di lapangan sering tampak ragu dan kurang lincah.
Lutut Eliza cedera lagi saat sedang berlatih. Namun tak diambil tindakan medis komprehensif. Eliza hanya menjalani fisioterapi dan istirahat dua minggu. Setelah itu, dia kembali berlatih untuk persiapan fisik menjelang Olimpiade Sydney 2000. Di arena akbar itu, pasangan ganda putri Eliza-Deyana Lomban dikalahkan pasangan Inggris, Joanne Davies-Sarah Hardaker.
Setelah bertanding, Eliza memanfaatkan fasilitas klinik gratis yang disediakan panitia Olimpiade. Di sanalah diketahui kerusakan otot lutut mojang Bogor ini begitu parah sehingga harus dioperasi. Tanpa operasi, Eliza tak bisa lagi berolahraga apa pun selain berenang.
Ligamen atau jaringan serat pengikat tulang di lutut kirinya putus. Meniskus atau lapisan tipis tulang rawan yang mengaitkan sendi lututnya robek. Akhirnya, tulang Eliza dibedah di Rumah Sakit Jakarta. Dalam operasi tujuh jam itu, sebagian otot pahanya diambil untuk disambungkan pada bagian lutut yang putus.
Memang, jika pada orang biasa cedera, seperti memar, bisa didiamkan saja beberapa saat dan akan pulih sejalan dengan waktu. Tapi pada atlet yang mengejar prestasi tidak bisa. Bila tak diambil tindakan lebih cepat, gumpalan darah dalam pembuluh itu akan mempengaruhi organ lain. Karena atlet itu harus tetap berlatih, cedera akan terus bertumpuk, dan bisa lebih berbahaya daripada cedera yang diderita orang biasa.
Ahmad Taufik, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo