Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

<font color=#FF9900>Tak Celeng,</font> Orang pun Jadi

Berniat menjaga desa dari harimau, mereka justru dibantai oleh sang raja hutan. Inilah akibat hutan yang jadi habitat harimau dirusak. Si raja hutan menerkam manusia, tak hanya celeng.

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU malam, nun di tepi hutan Muarojambi, Provinsi Jambi. Enam warga Gedongkarya, Kecamatan Kumpehilir, Muarojambi, berimpitan di pondok pengintaian yang dibangun di atas pohon, tiga meter di atas tanah. Mereka sedang dalam misi khusus: menjaga agar harimau tak masuk kampung.

Ini tugas penting. Si raja hutan sudah menerkam tujuh warga di sekitar hutan itu dalam sebulan. Enam tewas, satu selamat namun luka parah. Gara-gara lelayu ini, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi mengeluarkan maklumat agar warga tidak memasuki kawasan hutan. ”Terutama di daerah dekat lokasi mengamuknya harimau,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi, Didy Wurdjianto.

Masalahnya, harimau itu berkunjung ke kampung-kampung untuk memangsa ternak. Karena itu, penduduk berjaga-jaga di tepi hutan. Minggu, 1 Maret lalu, giliran Musliadi, 30 tahun, Musmulyadi, 31 tahun, dan empat orang warga Gedongkarya yang berjaga di rumah pohon sederhana, 10 kilometer dari kampung mereka. Setelah seharian meronda hutan, mereka rupanya keletihan. Satu per satu mereka tertidur. Belum tengah malam, semuanya terlelap.

Inilah saat yang ditunggu tiga harimau yang mengintai dari balik semak. Bagi si raja hutan, menunggu keenamnya tertidur bukan pekerjaan sulit. Itu salah satu kunci keberhasilan hewan ini agar dapat makan: celeng, rusa, hingga ayam hutan.

Sekitar pukul 23.00, ketiga hewan itu mulai bergerak. Satu harimau masuk ke rumah pohon, dua lainnya mengepung di bawahnya. Bagaimana cara harimau itu naik? Tak ada yang tahu. ”Saya juga heran. Masak, harimau itu meloncat ke dalam pondok yang tinggi di atas pohon,” kata Ari, salah satu korban yang selamat.

Ari terbangun oleh jeritan kawan-kawannya. Melihat ada harimau, ia langsung keluar pondok dan melarikan diri. Teman-temannya melakukan hal yang sama. ”Untung, dua harimau yang berjaga di bawah pondok tidak memburu kami,” ujarnya. Tapi Musliadi dan Musmulyadi tak selamat.

Keduanya ditemukan tewas di dalam pondok. Ketiga harimau itu tidak memangsa mereka. ”Dari pengamatan kami, harimau sumatera memang tidak pernah memakan daging manusia,” ujar Didy. Tapi ada yang aneh. Entah apa maksudnya—maklum harimau tak bisa diwawancarai—”harimau itu membawa kepala Musliadi ke dalam hutan,” ujar Ari.

Serangan harimau ini membuat warga desa di sekitar hutan itu makin cemas. Usman, 36 tahun, warga Desa Pematangraman, mengaku tak berani lagi pergi menyadap karet atau mengurus kebun kelapa sawitnya. ”Jika perlu, bunuh binatang itu,” kata Kardiman, 45 tahun, warga Desa Sungaigelam.

Tapi hewan ini tak boleh dibunuh. Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) terkategori hewan yang terancam punah dan dikhawatirkan bakal seperti sepupunya, harimau jawa (Panthera tigris sondaica), yang dinyatakan habis pada 1980. Menurut perkiraan World Wildlife Fund, kini tinggal 400 ekor harimau sumatera di alam bebas. ”Karena itu undang-undang melarang hewan ini dibunuh siapa pun,” ujar Didy Wurdjianto.

Lantas? Didy mengaku sejauh ini belum ada rencana pasti untuk harimau itu. Balainya masih melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi, kabupaten, dan aparat kepolisian. Diskusi itu sungguh alot. Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin mengusulkan agar harimau itu ditangkap dan diserahkan ke Kebun Binatang Taman Rimba Kota Jambi untuk dipelihara.

Tapi Didy tak setuju. Menurut dia, harimau itu tidak boleh ditangkap karena berada dalam teritorinya. ”Selama ini justru manusialah yang telah melanggar daerah kekuasaan si raja hutan dengan melakukan perambahan serta pembalakan liar,” ujarnya.

Menurut Didy, harimau di hutan produksi Muarojambi—tak terkecuali di wilayah lainnya di provinsi itu—menyerang manusia akibat semakin sempitnya habitat hewan ini. ”Ketika sebagian habitat mereka telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, hewan ini tidak bisa ke mana-mana. Padahal harimau sumatera biasanya akan menghindar bila bertemu manusia,” ujarnya.

Pada 1990, luas hutan produksi di Jambi mencapai 2,4 juta hektare atau sekitar 49,9 persen dari total luas provinsi ini. Pada 2000, luasnya menyusut hampir setengahnya, tinggal 1,4 juta hektare, akibat pembalakan liar hingga pengembangan kawasan permukiman transmigrasi, hutan tanaman industri, dan perkebunan kelapa sawit. Kini diperkirakan luas hutan produksi Jambi tinggal tersisa 480 ribu hektare saja. Di hutan produksi ini diperkirakan ada 20 hingga 40 ekor harimau.

Selain di hutan produksi, harimau sumatera juga ditemukan di beberapa kawasan taman nasional Jambi, yang luasnya mencapai 300 ribu hektare. Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh ada sekitar 40 ekor, di Taman Nasional Berbak kurang dari 10 ekor, di Taman Nasional Kerinci Sebelat juga kurang dari 10 ekor. Di Taman Nasional Bukit Duabelas jumlahnya tidak diketahui, karena baru ditemukan tapaknya. Nasib harimau di taman nasional ini tak lebih baik dari kerabatnya yang hidup di hutan produksi. ”Mereka terdesak oleh perburuan liar,” ujar Didy.

Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan Departemen Kehutanan baru-baru ini, 5-10 harimau sumatera dibunuh setiap tahunnya sejak 1998. Periode tergelap hewan ini terjadi saat krisis moneter. Dari 1998 hingga 2000, diperkirakan 66 ekor harimau diburu untuk dijual (”Mitos Itu”). Akibatnya, populasi hewan ini menyusut drastis dari sekitar 1.000 ekor pada 1970-an menjadi tinggal separuhnya pada saat ini.

Harimau juga terdesak karena hutan taman nasional dibalak. Dalam sebuah operasi yang dilakukan Balai Konservasi Alam Jambi bersama polisi, dinas kehutanan, dan balai taman nasional, di hutan ini pernah ditemukan sebuah rel kereta pengangkut kayu sepanjang 17 kilometer.

Tapi, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jambi, Feri Irawan, akar dari amuk harimau Jambi adalah pemerintah. Penyebabnya, kata dia, legalisasi yang diberikan pemerintah untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit atau pengalih fungsi hutan lainnya yang dilakukan tanpa melihat dampaknya terhadap ekosistem.

Rudy Syaf, Manajer Informasi Komunikasi dan Pembelajaran Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, sependapat dengan Feri. Ia meminta pemerintah menghentikan aktivitas pembabatan hutan yang menjadi rumah harimau. ”Pemerintah juga harus memperbaiki kerusakan hutan yang terjadi di rumah mereka,” kata dia.

Firman Atmakusuma, Syaipul Bakhori (Jambi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus