Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Presiden Prabowo Subianto menginginkan perluasan perkebunan kelapa sawit dengan alasan minyak sawit adalah produk yang sangat strategis di dunia. Karenanya, Prabowo meminta para pelakunya tak takut dianggap membahayakan lewat deforestasi yang dilakukan. Menurutnya, kelapa sawit termasuk pohon, ada daunnya, dan menyerap karbon dioksida.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Prabowo menjelang akhir 2024 lalu memantik reaksi yang luas. Di antaranya datang dari dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Erekso Hadiwijoyo. Dia pertama-tama mengoreksi pernyataan Prabowo bahwa kelapa sawit adalah pohon. Secara teori, Erekso menerangkan, kelapa sawit tidak termasuk pohon sebab batangnya tidak berkambium.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Batangnya tidak berkayu dan bercabang. Sawit sama seperti kelapa dan palem,” kata Erekso saat dihubungi Tempo pada Senin, 6 Januari 2025.
Namun, Erekso membenarkan bahwa kelapa sawit bisa menyerap karbon dioksida sebab tanaman ini memang membutuhkannya untuk proses fotosintesis. Begitu juga mengaitkan sawit dengan industri strategis, Erekso mengungkap sempat ada Peraturan Menteri Kehutanan Tahun 2011 yang mengatur pembangunan hutan tanaman industri. Di dalamnya terdapat aturan soal tanaman sawit yang menjadi komoditas kehutanan.
“Peraturan ini sempat diributkan sebelum akhirnya dicabut karena banyak penolakan,” ucap Erekso sambil menambahkan, tanaman sawit termasuk kategori perkebunan, bukan perhutanan.
Sedangkan deforestasi, Erekso menjelaskan, adalah hilangnya hutan-hutan menjadi lahan lainnya. Termasuk contohnya menjadi perkebunan sawit. Jika ini terjadi, dia mengingatkan, ada berbagai risiko yang mungkin dihadapi. Mulai dari terdegradasinya kualitas lingkungan sampai bencana banjir dan tanah longsor.
Risiko lainnya yang kemungkinan dihadapi adalah gagal panen dari kebun sawit itu sendiri. Menurut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa sawit akan bisa dipanen secara keseluruhan.
“Kalau gagal panen itu harganya cuma Rp 500 per kilogram. Ini kan sayang dibandingkan dampak lingkungan karena konversi lahannya,” kata Erekso.
Karenanya, Erekso menyarankan pemerintahan Prabowo untuk membuat kajian mendalam sebelum memutuskan memperluas kawasan perkebunan sawit. Terlebih, dia menambahkan, ada wacana membuka hingga 20 juta hektare hutan untuk program ketahanan pangan.
“Jangan terburu-buru. Harus dihitung betul-betul manfaatnya. Apalagi sawit ini butuh waktu dua sampai tiga tahun untuk panen,” kata dia.
Erekso lebih menyarankan pemerintah memaksimalkan potensi perkebunan sawit yang sudah ada. Perhitungan manfaat ekspansi, ditegaskannya, jangan hanya dari sisi ekonomi, tapi juga lingkungan.
Lebih dari itu, Erekso meminta Prabowo untuk tidak fear of missing out (FOMO), istilah kekinian untuk rasa cemas ketinggalan tren. "Misal sekarang sawit populer, lalu kita segera tanam sawit. Harus dikaji dulu,” katanya.