Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

'Perahu Nabi Nuh' bagi Banda Aceh

Di tengah usaha evakuasi jenazah korban tsunami di Aceh, beberapa relawan melakukan upaya penyelamatan khusus satwa. Sisi bencana yang kerap dilupakan.

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

'Perahu Nabi Nuh' bagi Banda Aceh
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KE Lam Jame mereka datang dan menyuruk. Kampung itu telah lumat. Mereka disambut butiran debu yang berlarian di udara dan asap dari puing kayu gelondongan yang telah menjadi puntung api. Mereka?beberapa di antaranya adalah orang asing?berjalan menyuruk ke tengah bangkai-bangkai rumah di Lam Jame, Banda Aceh. Mereka menemukan sebuah kolam lumpur yang dicari-cari.

Hanya sekejap, dua orang dari mereka mencebur ke kolam lumpur yang pekat. Mereka mengaduk-aduk kubangan seluas lapangan badminton itu, mencari-cari korban tsunami. Sebuah pompa jet menjerit-jerit, membantu mengeringkan kubangan itu. Beberapa depa dari mereka, dua lelaki tergopoh-gopoh menyiapkan tandu yang dibangun dari puing kayu. Tak jauh dari mereka seorang dokter dari Australia bersiaga dengan jarum suntik dan seampul antibiotik. Sebuah truk di ujung jalan juga tengah menanti, siap menjadi ambulans. Sungguh sebuah operasi penyelamatan dengan tim yang komplet. Nama korban? Dua ekor penyu hijau.

Penyu-penyu dewasa ini tersapu dua kilometer dari garis pantai. Ketika penyu berbalut lumpur hitam itu ditemukan, binatang pengelana samudra itu segera dipikul menuju truk. Di sana dokter satwa dari kebun binatang Australia, Jon Hanger, memeriksa kondisi penyu dari kemungkinan cedera dan memberikan suntikan antibiotik. Bles. Misi selesai.

Misi penyelamatan satwa langka di Aceh itu hanyalah sebait cerita pinggiran di tengah tragedi tsunami yang menewaskan ratusan ribu jiwa. Menyelamatkan satwa korban bencana memang terdengar agak aneh. Rosek Nursahid, Ketua ProFauna Indonesia, organisasi nirlaba perlindungan satwa, bertutur misi itu bukan sekadar "sok Barat" karena perhatian mereka terhadap hak hidup para binatang. Namun faktanya yang sengsara karena bencana gelombang laut itu tak hanya manusia, tapi juga satwa. Banyak binatang liar mati. Hewan piaraan pun terlunta-lunta ditinggal pemiliknya.

Hal lain yang utama, penyelamatan binatang ini juga penting bagi kesehatan warga Aceh. Soalnya, tak terurusnya satwa dan kondisi kelaparan menebarkan biang penyakit seperti diare, rabies, leptospirosis, dan gatal-gatal pada manusia. "Kami khawatir, setelah mengalami bencana tsunami yang hebat, masyarakat bisa terkena bencana kedua, yaitu penyakit yang juga bisa ditularkan dari satwa," kata Drh Luki Kusuma Wardhani, koordinator tim relawan ProFauna, ketika ditemui di kantornya di Malang, Jawa Timur. Kecemasan inilah yang membuat para petugas Staf Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Banda (BKSDA) Aceh tergerak. Mereka dibantu relawan ProFauna Indonesia, Flora Fauna International, dan kebun binatang Australia.

Selama amuk tsunami memang banyak satwa langka di Aceh yang tergulung gelombang. Sebelum air bah itu menghantam, rumah Kepala BKSDA Banda Aceh, Andi Basrul, adalah rumah singgah hewan langka sitaan dan yang diserahkan sendiri oleh penduduk sekitar. Belakangan tsunami datang menyapu rumah dan semua satwa yang ada. Lenyaplah seekor burung kasuari (Casuarius casuarius), 2 harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), 3 ekor binturung (Arctictis binturong), seekor burung rangkong (Rhyticeros plicatus), dan seekor buaya.

Rencananya, satwa tersebut, yang sebagian masuk dalam kategori harus dilindungi, akan dipindah ke Kebun Binatang Jantho di Aceh Besar, sebuah kawasan 6.000 hektare yang direncanakan jadi lokasi konservasi hewan langka, pendidikan, dan rekreasi. Tapi bakal kebun binatang ini baru kelar separuhnya. "Jadi, sebagian satwa sudah ada yang masuk. Tapi kalau harimau kan kandangnya mesti benar-benar selesai. Sementara menunggu, disimpan di rumah saya," kata Andi.

Selama ini, Banda Aceh memang tak memiliki tempat yang benar-benar disebut kebun binatang. Yang ada hanyalah sekotak lapangan dengan 5-6 kandang yang disebut Taman Wisata Wulandari. Kebun binatang mini ini terletak di Jalan Merak, Nessu. Di areal 800 meter persegi itu, sekarang masih tegak berdiri kandang-kandang hewan tapi dalam keadaan kosong melompong. "Sebenarnya sudah kosong sebelum tsunami," kata seorang penduduk. Binatang koleksi Wulandari, seperti kasuari, orangutan, beruk, ular piton, bahkan pernah ada gajah, disita Balai Konservasi Aceh dan dititipkan ke balai serupa di Medan. Saat Tempo menyambangi tempat ini, mereka hanya memiliki seekor kucing anggora yang tidur bermalas-malasan.

Meskipun areal ini tak tersentuh air bah setitik pun, kondisi kebun binatang mini ini amat mengkhawatirkan. Aroma busuk melebar ke mana-mana. Tim relawan cemas, kondisi buruk ini bisa menebarkan kuman. Di kebun itu, ProFauna menemukan sembilan ekor satwa liar yang masih tertinggal dalam kondisi mengenaskan. Ada beruk (Macaca nemestrina), seekor bangau, empat ekor kura-kura, seekor biawak, dan dua ekor ular piton. "Mereka kelaparan dan stres," kata Luki.

Kelaparan hebat membuat kondisi satwa menyedihkan. Sang beruk, misalnya, tak mampu lagi mengangkat pisang dan apel yang disodorkan. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka, dan bulunya mulai rontok. Demikian pula ular piton, yang mengalami luka di tubuh, kulit mengelupas, dan bertubuh lemah. Saat tim relawan memegang tubuhnya, ular ini diam saja. Kondisi mengenaskan juga dialami bangau tongtong, yang karena begitu lemahnya hingga tak mampu mengepakkan sayap. "Satwa-satwa itu terjangkit penyakit diare," tutur Luki. Akhirnya mereka dititipkan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, untuk diobati.

Operasi penyelamatan satwa ini, meski kelihatannya tak berguna, menurut Luki, telah menyelamatkan nyawa 500 binatang. Salah satu yang terselamatkan adalah penyu hijau di Lam Jame. Dari air berlumpur, penyu itu dievakuasi ke Pantai Ulee Lheue, kawasan pinggir Samudra Indonesia. Sepanjang perjalanan, Joh Hanger dibantu Giles Clark dari kebun binatang Australia dan Wibi dari Flora Fauna International sibuk menyiramkan air agar penyu tetap merasa sejuk.

Tiba di pelabuhan, penyu malang itu dipindahkan ke kapal nelayan yang membawanya ke tengah samudra. Di sekitar pulau-pulau kecil di samudra yang berair jernih itu, sang penyu dicemplungkan. Ajaib, penyu yang tadinya lunglai itu langsung bugar saat ada di "kampungnya". Dia mulai berenang, menyelam dan menyembulkan kepalanya. Barangkali, ucapan terima kasih yang tak terkatakan bagi "perahu Nabi Nuh" yang telah membawanya pulang.

Raju Febrian, Agus Hidayat (Banda Aceh), Bibin Bintariadi (Malang)


Dari Satwa Turun ke Manusia

Ada sejumlah penyakit gawat yang bermula dari hewan tapi bermuara di tubuh manusia. Berikut ini beberapa penyakit yang ditular-kan oleh hewan piaraan maupun satwa liar.

Hepatitis Penularan penyakit hepatitis empat kali lebih cepat dari penyakit HIV. Bisa ditularkan primata bangsa kera dan monyet melalui gigitan atau cakaran.

Tuberkulosis (TB) Penyakit penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia ini ditularkan melalui pernapasan. Satwa seperti orangutan, owa, dan siamang bisa menularkan melalui kotorannya.

Rabies Penyakit yang juga disebut anjing gila ini dapat menular lewat gigitan satwa. Kasus gigitan hewan penyebar rabies adalah anjing (90 persen), kucing (3 persen), kera (3 persen), dan satwa lain (4 persen).

Cacingan Stres dapat meningkatkan jumlah infeksi cacing dalam tubuh satwa. Primata, musang, kucing, burung nuri, dan kakatua berpotensi menularkan penyakit ini.

Salmonelosis Primata, iguana, ular, dan burung berpotensi menularkan bakteri Salmonella melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri ini.

Leptospirosis Disebabkan sejenis kuman, menyerang luka yang terbuka. Satwa yang bisa menularkan penyakit mengerikan ini adalah anjing, kucing, harimau, tikus, musang, dan tupai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus