Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berita Tempo Plus

Dunia Kepalan, Nyali, dan Rasa Hormat

7 Maret 2005 | 00.00 WIB

Dunia Kepalan, Nyali, dan Rasa Hormat
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rope Burns: Stories from the Corner Penulis: F.X. Toole
Ecco Press, 2000, 237 halaman.

Street fighting could be lethal, boxing is designed to be lethal

—F.X. Toole

Bertinju itu seperti menulis. Ada kekuatan gaib dalam pertarungan, kesanggupan, keterampilan, dan rasa sakitnya. Selain itu, risikonya juga demikian besar sehingga yang menempuh jalan ini pasti akan menghargai dirinya sendiri sepanjang sisa hidupnya. Itulah keyakinan Francis Xavier Toole yang tertuang dalam pengantar buku pertamanya, Rope Burns. Pernyataan ini bukan untuk gagah-gagahan. Rope, kumpulan cerpen tentang seluk-beluk dunia tinju profesional, terbit pada tahun 2000 ketika usia Toole sudah 70 tahun. Ia ”menunggu” 50 tahun untuk menyelesaikan buku ini.

Penantian Toole tak sia-sia. Betul, sebagai penulis, ia adalah ”pemula”. Tetapi pengalaman hidupnya yang kaya, dan terlebih-lebih autentik, tak bisa dibandingkan dengan penulis lain—Norman Mailer, misalnya—yang mencoba menulis tentang tinju. Pengetahuan Toole akan tinju ngelotok layaknya kamus. Ia pernah 20 tahun menjadi pelatih dan juga cut man, orang yang bertugas menghentikan perdarahan petinju dalam pertarungan profesional.

Kecintaan laki-laki keturunan Irlandia ini pada tinju sudah dimulai sejak belia. Ayahnya sering mengajaknya menonton langsung pertandingan di Madison Square Garden, New York, di masa Depresi. Ketika usianya beranjak dewasa, ia sempat sejenak menjadi anggota angkatan laut. Ia juga sempat jadi aktor untuk beberapa pergelaran teater. Namun, ketika suatu hari ia membaca Death in the Afternoon karya Ernest Hemingway, ia tahu apa yang diinginkannya: menjadi penulis. Hanya, ia tidak langsung menggenggam pena. Toole malah pergi ke Meksiko dan menjadi matador di sana. Ia sebetulnya matador yang cukup baik. Sayangnya, ia memulai kariernya dalam usia yang terlalu tua untuk profesi itu, hampir 30 tahun. Setelah tiga kali tertusuk tanduk banteng, ia kembali ke Amerika.

Ia sempat menjalani kehidupan di luar tinju sampai usianya mencapai 45 tahun. Di saat itulah pertanyaan yang sejak kecil mengganggunya muncul kembali: mengapa orang ingin jadi petarung di ring? Melawan banteng adalah profesi berbahaya, namun persentase matador yang terluka kecil sekali. Sebaliknya, setiap petinju naik ring tahu ia pasti bakal kena bogem, betapapun cantiknya ia bermain. Nyali, rasa hormat, dan ilmu bertarung, itulah yang membuat orang naik ke ring. Soalnya, ring adalah panggung tanpa tirai. Pelipis sobek, hidung patah, rahang patah adalah nyata. Bahkan kematian pun, jika terjadi, nyata adanya.

Sejak itulah Toole masuk sasana dan berlatih. Tidak untuk menjadi seorang petarung profesional, tentunya. Namun, hal ini membuatnya mendapatkan pengalaman tangan pertama di atas ring. Keberadaan laki-laki kulit putih paruh baya tentu menarik perhatian. Hal inilah yang membuka jalan bagi kariernya sebagai cut man. Ia hampir melupakan mimpinya jadi penulis sampai ia harus menjalani operasi jantung pada usia 60 tahun. Toole merasa mendapat kesempatan kedua. Cerpen pertamanya, The Monkey Look, dimuat di ZYZZYVA, majalah sastra kecil. Cerita ini menarik perhatian penerbit besar dan mereka meminta Toole menulis cerita-cerita yang lainnya. Rope Burns dikerjakannya di sela-sela pekerjaan tetapnya.

Keunikan posisi Toole membuatnya terhindar dari romantisasi yang berlebihan. Dalam gaya bahasa ala Los Angeles Timur (yang sering kali mengabaikan kata kerja bantu), ia berhasil dengan mulus menyuguhkan detail-detail yang menarik kepada pembaca. Misalnya, betapa halusnya tangan petinju karena nyaris setiap hari berkeringat dalam bungkus sarung tinju kulit, dan betapa kecilnya tangan mereka dibandingkan dengan atlet lain; campuran adrenalin klorida penghenti perdarahan, when it’s fresh, it’s clear like water and has a strong chemical smell; bunyi kantong tinju yang sedang dijadikan sasaran kena, ”bip-bip-bip, bip-bip-bip”; atau promotor culas yang tega memberikan ransum murahan bagi petinju yang datang sebagai lawan alias diharapkan kalah di ring.

Rope adalah cerita tentang dunia para seniman dan penipu, pembunuh dan santo, dan segala bipolaritas lain dengan menggunakan tinju sebagai metafora kehidupan. Seperti jab telak, cerita Toole langsung mengena. Dalam cerita pertama, The Monkey Look, Toole mengawali dengan kalimat ”I stop blood”. Dari sini ia langsung menggiring pembaca mengenal profesi cut man dan tujuan kehadirannya dalam pertarungan. Pernyataan sederhana itu tidak lantas membuat sang tokoh menjadi simpel dan gampang ditebak. Sebaliknya, cut man tua tanpa nama yang mahir berbahasa Spanyol, bersimpati pada pelacur Thai yang ringsek, dan tergila-gila pada kue pie, ini punya akal teramat licin.

Dari enam cerita dalam Rope, yang paling kuat adalah Million $$$ Baby, baik dari segi cerita maupun sastranya. Untuk menyatakan betapa udiknya tempat tinggal Maggie Fitzgerald di Ozark, Missouri, Toole menggambarkan tempat itu somewhere between nowhere and goodbye. Dalam buku, digambarkan lebih jelas mengapa Frankie Dunn menolak melatih perempuan. Bagi Dunn, mengurus perempuan petinju itu repot benar. Pertama, ia tidak bisa memaki di depan petinjunya. Belum lagi ada kerepotan bagaimana mesti mengatur jadwal pertarungan di sela-sela masa haid. Yang paling pokok, Dunn tak bisa melihat wanita kena hantam, sekalipun oleh wanita lain. Namun, kegigihan Maggie akhirnya menggerakkan hatinya. Bahkan ia sampai memberi nama julukan dalam bahasa Gaelic, mo cuishle: kekasihku, darahku. Namun, alih-alih menjadi wanita pertama yang mendapat bayaran satu juta dolar, Maggie justru tertimpa tragedi ganda.

Plot yang serupa dengan Million juga dipakai Toole dalam cerita yang menjadi judul kumpulan cerpen ini, Rope Burns. Tokoh utama dalam Rope adalah Henry ”Puddin” Pye, petinju muda yang diproyeksikan sang pelatih Mac untuk mendapat medali emas Olimpiade dan kemudian merajai tinju profesional. Namun, seperti halnya Maggie, Puddin juga tak bisa meraih impiannya. Tidak semua cerita Toole bernuansa muram. The Monkey Look dan Black Jew sangat kocak.

Setelah Rope, Toole belum mengeluarkan buku lain kecuali satu cerpennya berjudul Midnight Emissions, yang muncul bersama cerpen penulis-penulis lain dalam buku Murder on the Ropes. Artinya, masih perlu beberapa ”ronde” lagi untuk mengukuhkan tempat Toole sebagai penulis hebat. Mestinya ini bukan hal yang sulit, karena dalam usia senjanya Toole justru diberkahi killer punch. Ya, bertinju itu seperti menulis.

Yusi Avianto Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus