Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Clint Eastwood biasa mengawalinya dari latar khas: padang-padang tandus berkaktus, hilir-mudik kereta kuda, judi di rumah minum yang menjadi satu dengan rumah bordil, dan pertarungan tak seimbang di jalan-jalan utama, di antara kantor sheriff, bank, bar, atau toko kelontong.
Film masih jadi bagian ritualnya. Tapi kini ia menyutradarai film-film yang memiliki kedalaman, seperti Unforgiven, Mystic River, atau terakhir, Million Dollar Baby. Majalah ini mencoba memberi gambaran tentang asal-muasal dan perkembangan Clint Eastwood sebelum ia meraih salah satu pucuk pencapaian di dunia film.
High Plains Drifter (1973) Sutradara: Clint Eastwood Pemain: Clint Eastwood, Verna Bloom, Mitch Ryan
Pengelana dari Bukit Tandus
Clint Eastwood adalah koboi yang muncul dari balik bukit tandus. Menunggang kuda, ia menuruni bukit, berjalan melintasi padang kering kerontang. Ia tengah menuju kota Lago. Kamera tampaknya sengaja bergerak lambat. Seperti tak hendak buru-buru mencapai tujuan, kamera bergerak perlahan menyorot Danau Mono yang berpendar-pendar nun di latar belakang. Kamera bergerak naik menumbuk arakan awan, lantas kembali menyorot sang koboi.
Sebuah babak pembuka yang eksotis. Sepuluh menit berselang, tokoh kita tiba di Lago yang tak nyaman. Puluhan sorot mata curiga menyambutnya, tapi sang koboi itu bergeming. Penuh percaya diri, ia memasuki bar.
High Plains Drifter menghadirkan Eastwood yang dingin. Eastwood sudah menghadirkan film: hanya dengan berdiri, matanya menatap dingin para pencoleng. Bayangan sosok seakan sudah bicara banyak kepada penonton. Wajahnya yang lonjong memancarkan sikapnya yang keras. Apalagi kalau dahi sudah berkerut, seolah-olah dunia pun ingin ”diterkamnya”.
Dikisahkan, dalam 20 menit pertama di kota itu, sang koboi misterius berhasil menyingkirkan tiga pengacau. ”Keberhasilannya” itu membuat warga Lago menyewanya untuk melindungi kotanya dari ancaman tiga penjahat dan satu pemerkosa yang baru kabur dari penjara. Koboi misterius itu lantas mengecat seluruh penjuru kota itu dengan warna merah menyala. Hasil karyanya itu dinamainya ”Neraka” bagi mereka para penjahat yang ingin beraksi di kota itu.
High Plains Drifter, yang dirilis pada 1973, boleh dibilang film koboi yang cukup bagus. Film ini juga tampil di luar pakem. Film ini lebih dari sekadar film koboi yang biasanya sangat sarat dengan adegan dar-der-dor, suasana bar, dan berkuda di atas hamparan rumput nan luas. Di sini Eastwood pemeran utama sekaligus sutradara. Dan sang sutradara cukup berhasil mengembangkan bahasa visualnya.
Joe Kidd (1972) Sutradara: John Sturges Pemain: Clint Eastwood, John Saxon, Robert Duvall
Bung Joe dan Tuan Tanah
Alur cerita film Joe Kidd lebih mirip film tentang sebuah revolusi ketimbang film koboi. Berlatar kehidupan petani di New Mexico, Amerika, pada penghujung 1890, film ini berkisah tentang sebuah perjuangan kaum tertindas. Perjuangan kaum petani Meksiko-Amerika yang ingin mendapatkan kembali tanah mereka yang dirampas para baron nan congkak. Eastwood tampil dalam sebuah perjuangan kelas: si kaya melawan si papa.
Ia memerankan Joe Kidd, judul sekaligus tokoh utama film itu. Joe Kidd dibuka dengan adegan di sebuah penjara. Joe membebaskan seorang tuan tanah yang ingin menyewa pembunuh bayaran. Si tuan tanah merasa terancam oleh aktivitas Louis Chama, pemimpin kaum papa yang disegani, dan mengajak Joe memburu Chama. Joe menolak. Tapi setelah menyaksikan aksi Chama yang memorak-porandakan rumah dan peternakan, menyandera saudaranya, ia setuju.
Film pun kemudian bergulir di seputar pengejaran Louis Chama. Sepanjang ”perburuan” itu, kelompok Joe dan Chama saling berebut simpati kaum petani yang tanahnya dirampas. Setelah melihat aksi kelompoknya yang membabi buta, Joe memilih jalan sendiri: bergabung dengan Chama. Seperti pada umumnya film-film Hollywood, ujungnya mudah ditebak: Joe Kidd adalah hero, dewa penolong petani tertindas.
Pale Rider (1985) Sutradara: Clint Eastwood Pemain: Clint Eastwood, Sydney Penny, Richard Dysart
Hero Berselimut Misteri
Sekelompok lelaki berkuda nongol dari balik bukit. Sekonyong-konyong, suasana damai di pertambangan tradisional berubah. Irama godam menghantam cadas berganti dengan letusan senjata, dan lelaki, perempuan, serta anak-anak berlari menyelamatkan diri. Namun, kelompok berkuda lebih cepat. Tenda-tenda roboh dan tubuh penghuni pertambangan bergulingan.
Ya, film koboi ini mengawali kisahnya dari sebuah titik yang sangat biasa: kesewenang-wenangan yang membutuhkan uluran tangan seorang jago tembak. Pale Rider mencoba mengawalinya dengan liris, tapi langsung. Seorang gadis menatap anjing kecilnya yang berdarah, lalu menanam binatang kesayangannya sambil berdoa agar Tuhan mengirim seseorang yang mampu membebaskan kampungnya dari para perusuh.
Eastwood pun muncul, seolah-olah untuk menjawab doa itu. Di antara sepak terjang kejam seorang pengusaha, Coy Lahood dan sejumlah jago tembak bayarannya, ia muncul. Mula-mula sebagai pendeta, kemudian melepas atribut kependetaannya, menjadi seorang gunfighter penumpas tokoh-tokoh jahat.
Menyimak perkembangan plotnya, Pale Rider sangat dipengaruhi Shane, film klasik George Stevens yang sukses pada 1950-an. Keduanya sama-sama bercerita tentang seorang jago tembak penuh misteri. Tak diketahui dari mana datangnya, ke mana perginya.
The Good, The Bad and The Ugly (1966) Sutradara: Sergio Leone Pemain: Clint Eastwood, Eli Wallach, Lee Van Cleef
Bukan Dunia Hitam-Putih
Dalam film ini, Clint Eastwood satu di antara tiga serangkai pemburu harta. Namanya Blondie. Tampan, agak baik hati, cerdas, sangat lihai bermain senjata. Tuco, mitranya, seorang Meksiko yang gila harta, tidak setampan-sehebat dia, tapi seolah punya nyawa cadangan. Di tiang gantungan, di bawah tudingan pistol terkokang saat mandi berendam, dan dipukuli sampai bonyok, ia selalu luput dari maut.
Mereka saling mengkhianati dan menyakiti, tapi selalu dipersatukan hasrat yang sama: uang dan harta benda. Mitra ketiga mereka, si Angel Eyes, adalah representasi The Bad, si Buruk, sangat oportunistis, dan memiliki reputasi suka menyiksa pesaingnya. Mereka bergerak, mengambil keuntungan dari latar Perang Saudara di Amerika Serikat, memburu uang emas US$ 200 ribu yang tersembunyi di sebuah kuburan.
Semua berawal dari bisikan seorang serdadu konfederasi yang sekarat tentang harta itu. Eastwood alias Blondie mendengar, tapi ia membutuhkan informasi yang didapat Tuco. Mereka bergabung, mengenakan seragam tentara konfederasi yang gugur—sesuatu yang membuat mereka jadi bulan-bulanan tentara federal. The Good, The Bad, and The Ugly menyimpan semangat antiperang. Hero dalam film adalah pemburu harta, bukan mereka yang menegakkan keadilan.
Melalui film ini, bagian dari trilogi Man with No Name, sutradara Sergio Leone mengirim pesan: perang tak membawa apa pun kecuali kebinasaan. The Good, The Bad, and The Ugly adalah film antiperang produk era pasca-Perang Dunia II. Pada ujung film, ketiganya bertemu, masing-masing dengan pistol di tangan. Blondie dan Tuco mendapat bagian dari harta itu, sedangkan Angel Eyes pulang ke akhirat. Sutradara Sergio Leone memilih menyingkirkan tokoh terjahat di antara mereka yang jahat.
Mystic River (2003) Sutradara: Clint Eastwood
Pemain: Sean Penn, Tim Robbins, Kevin Bacon, Laura Linney
Sebuah Hutan dalam Trauma
Dalam Mystic River, Eastwood menunjukkan sensitivitasnya pada orang-orang yang tak beruntung. Alkisah, dua lelaki dewasa mencabuli seorang bocah tak berdaya. Dave, si bocah, berhasil lolos, tapi luka dalam telah tersayat di batinnya.
Dua puluh tahun kemudian, ia jadi pria dewasa berjiwa ringkih dan hidup dalam dunianya sendiri. Ya, Mystic River film yang cukup kaya dengan karakter tokoh-tokohnya: Jimmy, mantan narapidana yang berusaha tobat, Sean, detektif polisi andal namun gagal membina keluarga. Mereka adalah kawan di masa kecil, yang kembali bertemu setelah ditemukannya mayat putri Jimmy di tengah hutan.
Mereka teringat masa lalu yang tak mengenakkan. Lalu thriller psikologi ini mengalir, tidak hanya menuntun penonton ke sebuah pertanyaan klasik tentang siapa pembunuh Katie, tapi juga memberi ruang lapang bagi beradunya kekuatan karakter para pemain. Markum, lelaki yang mencoba hidup baik-baik, akhirnya sadar bahwa pada saatnya ia akan kembali memasuki masa lalu, menjadikan kekerasan sebagai jalan memecahkan persoalan.
Darmawan Sepriyossa, Nurdin Kalim, Evieta Fadjar, Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo