PARA petani ikan mas di sekitar pabrik pengolahan karet PT Uni
Royal Kisaran. Sumatera Utara, sedang marah. Mereka marah
pada pimpinan pabrik itu yang setiap hari mebiarkan cairan
sisa amoniak bekas pengawetan getah latex, mengalir ke Sungai
Bunut. Ternyata cairan berwarna seputih susu itu meracuni
ikan mas penduduk.
Maka melayanglah sepucuk surat protes ke alamat PT Uni Royal
yang ditandatangani 25 petani ikan mas Kisaran. 25 Juli lalu
dengan gugatan: Puluhan ribu ikan mas kami mati karena sirum
dari PT Uni Royal." Hasilnya? "Mereka anggap sepi protes kami,"
ujar P. Tampubolon, pemilik tambak ikan mas paling luas di
kampung itu (sekitar 2 Ha).
Tapi Aris Fadilah, manajer pabrik itu membantah. Katanya pada
Amran Nasution dari TEMPO. "Sirum yang kami buang ke sungai
Bunut itu sudah tidak berbahaya." Pimpinan pabrik sudah
memeriksakannya ke laboralorium, dan ternyata kadar amoniak
(NH3)-nya tinggal 1,7 sampai 1,9% saja. "Jadi tidak berpengaruh
lagi kepada ikan" kesimpulannya. Karena itu setiap hari pabrik
terus saja mengalirkan hampir 100 ton cairan bekas pencucian
tangki pengolahan getah perca ke sungai Bunut melalui parit
selebar 5 meter dan panjang 500 meter.
Lantas, kalau tidak berbahaya, mengapa ikan pada mati? "Saya
kurang jelas," sahut Fadilah sambil angkat bahu.
Ucapan manajer pabrik itu terang saja dibantah keras oleh para
petambak ikan. Menurut Tampubolon yang jadi jurubicara mereka,
bukan saja ikan yang bisa mati. "Tapi juga kambing dan bebek
yang minum air sungai di musim kemarau begini," tamhahnya lagi.
Soalnya, di musim kemarin penyadap karet yang dikerahkan masuk
kebun Uni Royal ditingkatkan jumlahnya. Produksi pabrik pun
melipatganda - begitu pula sirum yang dibuang ke sungai yang
sedang surut airnya.
Sungai yang lebarnya 5 meter dan dalamnya hanya 1 - 2 meter di
musim kemarau begini jadi berwarna seperti susu saking tingginya
konsentrasi sirum. Akibatnya, menurut catatan Tampubolon sudah
20 ribu bangkai ikan mas terkapar di sana. Semuanya itu milik
25 petani di kampung Rawang, serta 7 petani pensinnan tentara di
Proyek Kodam II Bukit Barisam Toh Aris Fadilah mengatakan bahwa
pembuangan sisa amoniak itu sudah berlangsung puluhan tahun
lamanya, sejak pabrik berdiri. Dan "tak ada keheratan penduduk,"
katanya lagi.
Itu betul, tapi dulu. Tahun 1973, atas anjuran pemerintah
daerah kabupaten Asahan penduduk kampung Rawang yang letaknya
10 km dari kota Kisaran mulai bertambak ikan mas. Hasilnya di
kampung Rawang kini sudah terdapat sekitar 25 hektar tambak
milik 25 petani itu. Tetangganya, adalah para pensiunan tentara
tadi di kampung Meranti. Untuk mengairi tamb ak-tarmbak mereka
digunakanlah air Sungai Bunut yang mengalir melintasi kampung
sesudah dikotori oleh pabrik Uni Royal.
Suatu pagi di tahun itu, Tampubolon terperanjat karena semua
ikan mas yang dipeliharanya mengambang dengan perut ke atas.
Teman-temannya yang lain juga menemukan peliharaan mereka mati
terapung seperti kena tuba. Selidik punya selidik, ketahuanlah
bahwa air sungai yang punya gara-gara. Khususnya sirum buangan
dari pabrik karet benllodal asing itu. Waktu itu pun para
pemilik ikan sudah protes keras ke alamat pabrik. Ilasilnya ada
juga. Perusahaan itu berhenti membuang sirum ke sungai. Cairan
itu lahl dibuang di kebun karetnya sendiri.
Namun Juli yang lalu, musibah itu terulang lagi. Seorang
pedagang ikan mas yang tinggal persis di tepi Sungai Bunut,
hanya 1 km dari pabrik, bernasib paling malang. Ujar Djaya
Nasution, 40 tahun pada TEMPO: "Hitung-hitung, 113 kilo ikan
saya mati karena air sirum. Jatuh pailitlah saya dihantam sirum
Uni Royal, bah." Sudah kedua kalinya Nasution harus menelan 'pil
amoniak' macam begini. Sebab tahun 1973 itu, "saya juga rugi
puluhan ribu rupiah," katanya.
Waktu itu Djaya mengadukan nasibnya kepada Kepolisian Komdis
2061 Kisaran. Tapi perkaranya tak pernah digubris polisi.
Diberanikannya dirinya minta ganti rugi pada manajer pabrik.
Juga tak berhasil.
Bukan pedagang kecil itu saja yang mengeluh. Sampai kantor
Bupati Asahan pun kewalahan. Menurut Camat Kisaran, Zulkarnaen
Margolang: "Kantor Bupati sudah berkali-kali melarang perusahaan
itu membuang sirumnya ke sungai karena berbahaya bagi ikan mas
milik penduduk."
Tapi perintah lisan maupun tulisan dari pemda tak pernah
digubris oleh perusahaan Amerika itu. Sang camat sendiri,
khawatir bahwa sirum itu satu waktu juga akan meneelakakan
manusia. Maklumlah, air sungai Bunut sebelum bermuara ke Selat
Malaka, dimanfaatkan oleh penduduk kecamatannya untuk mencuci,
mandi, gosok gigi, hajat kecil maupun besar. Bahkan juga buat
air minum di musim kemarau apabila sumur penduduk pada kering.
Memang, belum pernah terdengar ada orang mati karena minum air
sungai itu. Tapi menurut Tampubolon, itu karena kehati-hatian
penduduk sendiri. Penduduk sekitar sungai sudah maklum kapan air
sungai sedang mengandung sirum - yakni dari warna seputih susu
dan baunya yang menusuk hidung. Ketika air sungai disinyalir
mengandung sirum, penduduk tak mengambil air. Baru kalau diduga
sedang 'bersih' mereka ramai-ramai mengambil air untuk
persediaan di gentong mereka.
Itu bedanya manusia dengan ikan mas, yang tak dapat membedakan
air beracun atau tidak. Dan mereka terjebak dalam tambak. Lagi
pula ikan mas, menurut Anas Lubis dari Dinas Perikanan Kabupaten
Asahan, "tergolong ikan yang manja. Sirum berkadar amoniak 1.9%
saja sudah cukup manjur untuk membunuh ikan itu."
Dr TM Panjaitan, yang mengepalai Dinas Kesehatan Rakyat
Kabupaten Asahan, tak ayal memerintahkan anak buahnya mengambil
contoh air sungai Bunut. Contoh itu diperiksakannya ke
Laboratorium Depkes di Medan. "Baru nanti kita tahu berbahaya
atau tidak bagi manusia," katanya kepada TEMPO, akhir bulan
lalu. Andai kata memang berbahaya, "Pemda harus main sedikit
keras kepada perusahaan itu," tambahnya lagi.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Kisaran juga telah
memerintahkan anak buahnya mengambil satu botol air sirum dari
parit kecil dekat pabrik Bunut, sebagal barang bukti. Jangan
diminum, pak jaksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini