Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Petani Buta Dari Calamaya

Beberapa petani buta matanya akibat kecipratan lumpur. para ahli menafsirkan pestisida mengandung logam berat bercury (air raksa). keracunan pestisida maupun insektisida sering terjadi.

24 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRSAD, 45 tahun, hari itu sebagaimana biasa berangkat pagi-pagi dari desa Muara Cilamaya, Kabupaten Karawang. Menyeberangi sungai Cilamaya (batas Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Subang) ayah dari 5 anak itu tiba di tanah garapan yang disewanya dari Sarta. Baru setahun dia jadi petani penggarap. Sebelumnya nguli saja. Maklum, tanah sendiri dia ak punya. Sebab Irsad sudah miskin sejak nenek moyangnya. Tapi ayunan cangkulnya yang pertama, tak disadarinya bakal merubah jalan hidupnya. Bukan karena terantuk peti harta karun. Malah sebaliknya. Air dan lumpur sawah terpercik ke mata kirinya. "Aduh," erangnya. Dikira cuma kotor saja, makanya dia mengusap-usap matanya. "Tapi kok terasa perih," tuturnya kemudian pada wartawan TEMPO Said Muchsin yang mencarinya di Cilamaya. Karena bekas percikan lumpur sawah itu terasa makin perih, pekerjaan terpaksa ditinggalkan. Hari-hari berikutnya, penglihatannya semakin gelap. Ia tak segera pergi berobat, lantaran "tak punya duit." Dan juga, isteri dan anak-anaknya pun sedang sakit mata dan perut sejak 4 bulam tanpa dibawa ke dokter. Tambahan lagi, untuk pergi berobat harus pergi ke Cikampek, ibukota kecamatan yang 5 Km jauhnya dari kampung Irsad. Akhirnya, setengah bulan setelah kejadian itu baru dia pergi ke Balai Pengobatan Mata Cikampek, akhir Juni lalu. Sayang sudah terlambat. Rongga di depan lensa mata (camera oculi antenor)nya sudah penuh nanah. Malah akhirnya, lensa mata yang sebesar biji kacang itu menggulir keluar dengan sendirinya dari bola matanya. Maka kelopak mata Irsad yang kiri itu pun menyipit karena buta dan tak terpakai lagi. Hampir berbarengan dengan Irsad, insiden serupa menimpa Nartiwan 35 tahun. Petani dari desa Rawagempol, juga di bilangan Cilamaya mata kanannya kecipratan lumpur ketika sedang membersihkan sawahnya dari jerami, dengan menggunakan parang panjang. Dia juga terlambat berobat ke Cikampek. "Mereka ke mari dengan mata sudah jadi luka besar yang memborok putih campur nanah," tutur Rada Hadikusumo, Kepala Balai Pengobatan Mata Cikampek, yang Agustus lalu sebenarnya sudah pensiun. Dia masih mengharapkan mereka kembali lagi setelah pengobatan pertama. Tapi buat Irsad yang nganggur sebulan lamanya, ongkos sekali berobat mata yang Rp 600 pun dirasakan terlalu berat. lada Hadikusumo tak begitu pasti apa penyebab radang mata kcdua petani Cilamaya itu. Dugaannya - seperti yang pertama kalinya diekspos oleh Her Suganda dari Kompas -- mungkin karena "baksil, atau pupuk dan pestisida yang selama ini banyak digunakan untuk mengolah sawah." Rada, yang hanva mantri dan bukan dokter spesialis rnata atau ahli ekologi, tampaknya menyadari bahwa bahaya pestisida tidak dapat dianggap enteng. Katanya pada Said Muchsin dari TEMPO. "Tahun 1974, ada tetangga saya yang mati karena merokok dan makan sehabis pegang Diazinon, sebelum cuci tangan." Sinyalemen Hadikusumo kontan disambut oleh Dr Goeswono Soepardi 4 tahun. Ahli tanah dari IPB itu dikenal sebagai orang yang banyak memperingatkan kelemahan pengawasan penyaluran pupuk. Kini, sasarannya bergeser pula ke pestisida. Kebutaan ke dua petani Cilamaya itu "jelas lantaran pengaruh obat pembasmi hama yang tercampur dengan lumpur sawah itu." Lebih khusus lagi. katanya kepada Klarawijaya dari TEMPO, "karena pestisida itu mengandung logam berat seperti mercurl (air raksa)." Logam berat itu, kata Goeswono dapat mengganggu saraf, dan pada tingkat lanjutan bisa menimbulkan kebutaan. Rekonstruksi Goeswono secara teoritis - dia sendiri belum menyelidiki sampel tanah Cilamaya -- begini. Sampai terjadinya gangguan penglihatan, prosesnya "makan waktu." Pada mulanya si petani mungkin menggosok-gosok matanya dengan tangannya. Tak disadari tangan itu kotor. Terjadi berulang-ulang kali, sampai akhirnya saraf pun jadi rusak. Terakhir mata jadi buta. Tapi perlu dicatat pula, bahwa kebutaan bukan satu-satunya musibah yang bisa timbul karena polusi air raksa. Kalau termakan ada akibat: dapat melahirkan bayi cacad. Dugaan Goeswono dibantah oleh Soenardi, Ketua Komisi Pestisida yang juga Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Deptan. "Pemasukan pestisida yang mengandung air raksa, sudah dihentikan sejak 1973," katanya pada Eddy Herwanto dari TEMPO. Waktu itu, keluarlah Penpres No. 7/1973, yang menetapkan pengawasan peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida oleh Komisi Pestisida. "Dulu, sebelum keluar Penpres No.7/1973, arus insektisida yang masuk Indonesia sulit dikontrol. Tapi kini, dengan peraturan itu -- dibantu kerjasama Departemen Perdagangan, Komisi Pestisida bisa mengontroh1ya,' ujar Soenardi. Makanya dia berani memastikan, bahwa "insektisida yang digunakan sekarang seluruhnya tak lagi mengandun logam berat." Namun dengan atau tanpa logam berat, pestisida jenis CHP (chlorinated hidrocarbon pesticides) yang terkenal sangat awet bertahall dalam alam, maupun jenis OPP (organo-phosphates pestisides) yang terkenal sangat cepat kerja racunnya, tak ayal berbahaya juga bagi manusia. Atau bagi ternak. Soenardi sendiri berpendapat bahwa yang paling berbahaya bukanlall pestisida yang digunakan dalam pertanian padi seperti Diainon, Sevin, Folithion atau pil anti hama Furadan 3 G. Melainkan "insektisida jenis PCP. yang banyak digunakan para kontraktor hutan untuk menyemprot logs (kayu tebangan)," tuturnya. Kayu gelondongan itu disemprot PCP untuk mengusir serangga yang dapat menghancurkan keutuhan kayu. Kurang lebih 1« tahun yang lalu, penggunaan PCP di Kalimantan Barat dan Timur sulit dikontrol. Sehingga apa yang dikhawatirkan kalangan Departemen Pertanian musnahnya beberapa jenis ikan di Sungai Kapuas Bohang-jadi kenyataan. Akibat penghamburan PCP itu, produksi udang galah di perairan muara Kapuas Bohang merosot dengan tajam. Sementara itu, kesehatan kaum penebang kayu yang bergelut dengan PCP, tak memperoleh kontrol kesehatan yang ketat. Malah menurut orang Deptan itu, "dikabarkan sudah ada beberapa pekerja kayu yang sudah sempat tewas." Tutur Soenardi pula: "PCP itu mengendap dalam tubuh, lewat kulit, pernafasan atau mulut, yang kian hari kian banyak. Berkali-kali Komisi Pestisida memperingatkan para pengusaha kayu akan bahaya jangka panjang itu. Tapi baru 11/tahun yang lalu para kontraktor kayu mau beralih ke insektisida BHC teknis (gama) yang dinilai lebih aman dan efektif. Itupun hanya untuk transisi, sebelum beralih ke Sumibak dan Difloatan yang lebih ringan. Endrin - yang menurut Soenardi 30 x lebih berbahaya daripada Diazinon yang populer sekarang - sudah lama dilarang beredar di Indonesia. Phosvel sejak setahun lalu juga sudah distop impornya dan dilarang beredar oleh Komisi Pestisida. Kenapa tiba-tiba dihentikan? Kata Soenardi: "Ternyata Phosvel dan Velsieol dapat merusak sistim saraf pada tubuh sapi, yang resistensinya lebih kuat dari manusia. Akibat Sampingan itu baru kita ketahui setelah mendapat laporan dari Amerika." Mengingat Phosvel dan Velsicol dulu banyak dipakai untuk Bimas mungkinkah sudah jatuh banyak korban? "Sulit mentrasirnya," sahut Soenardi, "sebab sampai kini belum ada laporan kelainan pada binatang yang masuk." Sekarang ini, ada 140 lebih jenis pestisida yang boleh masuk Indonesia, dan telah mendapat sertifikat Komisi Pestisida. "Pengontrolan kita lakukan bekerjasa dengan fihak BATAN, ketat sekali. Sampai yang konposisinya kita tahu, meski agennya ingin membohongi," kata sang ketua komisi. Lebih dari separo pestisida tadi dipergunakan di sektor pertaniam Testing lapangan pun kadang-kadang dilakukan, juga dengan bantuan BATAN. Kendati demikian, Soehardi mengakui bahwa meski pun sudah dipilih insektisida yang toxity (daya racun)nya pada tikus percobaan tergolong ringan? "kalau disalahgunakan cukup berbahaya. Daya bunuh Diazinon 60 EC (konsertrat yang dapat diencerkan) misalnya adalah 350 mg per kg berat tubuh manusia. Berarti, orang yang punya berat badan 60 kilo tinggal mempunyai kans hidup 50% apabila terminum 3,5 cc saja. Lebih dari itu, dia akan terkirim ke alam baka. Makanya, pada brosur pelbagai jenis pestisida itu, PT Pertani sebagai penyalur utama selalu mencantumkan petunjuk bahaya dan pertolongan pertama pada keracunan pestisida (lihat Box). Sederhana memang. Paling tidak, di atas kertas. Namun dalam prakteknya, masih banyak petani di Cikampek yang dipergoki wartawan TEMPO. Sedang mengisi tanki sprayernya tanpa kacamata. Atau tanpa topeng penangkis uap obat semprot. Juga di Cikampek tampaknya jumlah orang buta rada menonjol. Menurut catatan di Balai Pengobatan Mata Cikampek, bulan Mei saja tercatat 1586 penderita baru, dan 649 penderita lama. Di antaranya, 434 orang penderita radang pada selaput mata (conjunctivitas) dan 432 penderita radang pada kornea (kerati tis) . Lebih dari 30% penderita sakit mata itu begitu Rada Hadikusumo dikutip Kompas disebabkan karena "percikan lumpur sawah." Di Cilamaya sendiri, yang letaknya dekat ke pantai dan banyak tanahnya terus terendam air gara-gara pembangunan pelabuhan proyek pipa gas Cilamaya-Cilegon, dikabarkan memang banyak orang mengidap sakit mata. "Trachoom," begitulah jawaban yang sering terdengar. Namun tak adakah kemungkinan bahwa sakit mata itu juga akibat keteledoran menyemprot melawan angin tanpa penutup mata? Mungkin saja itu gejala sawah kratitis. Yakni peradangan pada kornea mata akibat cipratan lumpur sawah yang secara alamiah mengandung mineral tertentu. Khususnya logam. Di zaman Belanda penyakit mata itu banyak ditemukan di Karawang. Tapi para ahli mata tentunya lebih tahu," tutur dr Karton Mohamad, pemimpin redaksi Medika yang juga menulis buku penuntun Pertolongan Pertama. Tambahnya pula pada TEMPO: "Insektisida, bukan barang aneh lagi di Indonesia. Bahkan sudah dikenal sampai ke kampung-kampung. Makanya kasus keracunan insektisida bukan lagi hal yang jarang terjadi di rumahsakit atau puskesmas." Dan meskipun sudah banyak petunjuk pantangan dan larangan dibeberkan oleh produsen maupun penyalurnya dalam brosur-brosur mereka 'toh tak jarang keracunan pestisida terjadi. Untung, obat penangkal pestisida yang bernama Atropine sudah diprodusir secara besar-besaran oleh Kimia Farma dan harganya cukup murah. Rp 30, satu ampul yang 0,5 mg. Begitu pula obat tetes mata Homatropine, juga buatan Kimia Farma. "Tapi betulkah obat-obat itu sampai ke pelosok desadesa yang dirasuki pestisida?" tanya Kartono lebih lanjut. Tapi selain itu, diharapkan PT Pertani sebagai importir dan distributor utama pestisida Bimas dan Inmas, ikut mencari jalan keluar menghadapi ekses penggunaan pestisida. Selama ini, prinsip PT Pertani, seperti yang ditegaskan dalarn brosur-brosur pestisida adalah: "Karena kami tidak dapat ikut mengawasi pemakaiannya, maka risiko yang timbul akibat pemakaian yang menyimpang adalah tanggungan pemakai sendiri." Titik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus