IRSAD, 45 tahun, hari itu sebagaimana biasa berangkat pagi-pagi
dari desa Muara Cilamaya, Kabupaten Karawang. Menyeberangi
sungai Cilamaya (batas Kabupaten Karawang dengan Kabupaten
Subang) ayah dari 5 anak itu tiba di tanah garapan yang
disewanya dari Sarta. Baru setahun dia jadi petani penggarap.
Sebelumnya nguli saja. Maklum, tanah sendiri dia ak punya.
Sebab Irsad sudah miskin sejak nenek moyangnya.
Tapi ayunan cangkulnya yang pertama, tak disadarinya bakal
merubah jalan hidupnya. Bukan karena terantuk peti harta karun.
Malah sebaliknya. Air dan lumpur sawah terpercik ke mata
kirinya. "Aduh," erangnya. Dikira cuma kotor saja, makanya dia
mengusap-usap matanya. "Tapi kok terasa perih," tuturnya
kemudian pada wartawan TEMPO Said Muchsin yang mencarinya di
Cilamaya. Karena bekas percikan lumpur sawah itu terasa makin
perih, pekerjaan terpaksa ditinggalkan.
Hari-hari berikutnya, penglihatannya semakin gelap. Ia tak
segera pergi berobat, lantaran "tak punya duit." Dan juga,
isteri dan anak-anaknya pun sedang sakit mata dan perut sejak 4
bulam tanpa dibawa ke dokter. Tambahan lagi, untuk pergi berobat
harus pergi ke Cikampek, ibukota kecamatan yang 5 Km jauhnya
dari kampung Irsad. Akhirnya, setengah bulan setelah kejadian
itu baru dia pergi ke Balai Pengobatan Mata Cikampek, akhir Juni
lalu.
Sayang sudah terlambat. Rongga di depan lensa mata (camera oculi
antenor)nya sudah penuh nanah. Malah akhirnya, lensa mata yang
sebesar biji kacang itu menggulir keluar dengan sendirinya dari
bola matanya. Maka kelopak mata Irsad yang kiri itu pun menyipit
karena buta dan tak terpakai lagi.
Hampir berbarengan dengan Irsad, insiden serupa menimpa Nartiwan
35 tahun. Petani dari desa Rawagempol, juga di bilangan Cilamaya
mata kanannya kecipratan lumpur ketika sedang membersihkan
sawahnya dari jerami, dengan menggunakan parang panjang. Dia
juga terlambat berobat ke Cikampek.
"Mereka ke mari dengan mata sudah jadi luka besar yang memborok
putih campur nanah," tutur Rada Hadikusumo, Kepala Balai
Pengobatan Mata Cikampek, yang Agustus lalu sebenarnya sudah
pensiun. Dia masih mengharapkan mereka kembali lagi setelah
pengobatan pertama. Tapi buat Irsad yang nganggur sebulan
lamanya, ongkos sekali berobat mata yang Rp 600 pun dirasakan
terlalu berat.
lada Hadikusumo tak begitu pasti apa penyebab radang mata kcdua
petani Cilamaya itu. Dugaannya - seperti yang pertama kalinya
diekspos oleh Her Suganda dari Kompas -- mungkin karena "baksil,
atau pupuk dan pestisida yang selama ini banyak digunakan untuk
mengolah sawah." Rada, yang hanva mantri dan bukan dokter
spesialis rnata atau ahli ekologi, tampaknya menyadari bahwa
bahaya pestisida tidak dapat dianggap enteng. Katanya pada Said
Muchsin dari TEMPO. "Tahun 1974, ada tetangga saya yang mati
karena merokok dan makan sehabis pegang Diazinon, sebelum cuci
tangan."
Sinyalemen Hadikusumo kontan disambut oleh Dr Goeswono Soepardi
4 tahun. Ahli tanah dari IPB itu dikenal sebagai orang yang
banyak memperingatkan kelemahan pengawasan penyaluran pupuk.
Kini, sasarannya bergeser pula ke pestisida. Kebutaan ke dua
petani Cilamaya itu "jelas lantaran pengaruh obat pembasmi hama
yang tercampur dengan lumpur sawah itu." Lebih khusus lagi.
katanya kepada Klarawijaya dari TEMPO, "karena pestisida itu
mengandung logam berat seperti mercurl (air raksa)." Logam
berat itu, kata Goeswono dapat mengganggu saraf, dan pada
tingkat lanjutan bisa menimbulkan kebutaan.
Rekonstruksi Goeswono secara teoritis - dia sendiri belum
menyelidiki sampel tanah Cilamaya -- begini. Sampai terjadinya
gangguan penglihatan, prosesnya "makan waktu." Pada mulanya si
petani mungkin menggosok-gosok matanya dengan tangannya. Tak
disadari tangan itu kotor. Terjadi berulang-ulang kali, sampai
akhirnya saraf pun jadi rusak. Terakhir mata jadi buta. Tapi
perlu dicatat pula, bahwa kebutaan bukan satu-satunya musibah
yang bisa timbul karena polusi air raksa. Kalau termakan ada
akibat: dapat melahirkan bayi cacad.
Dugaan Goeswono dibantah oleh Soenardi, Ketua Komisi Pestisida
yang juga Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Deptan.
"Pemasukan pestisida yang mengandung air raksa, sudah dihentikan
sejak 1973," katanya pada Eddy Herwanto dari TEMPO. Waktu itu,
keluarlah Penpres No. 7/1973, yang menetapkan pengawasan
peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida oleh Komisi
Pestisida. "Dulu, sebelum keluar Penpres No.7/1973, arus
insektisida yang masuk Indonesia sulit dikontrol. Tapi kini,
dengan peraturan itu -- dibantu kerjasama Departemen
Perdagangan, Komisi Pestisida bisa mengontroh1ya,' ujar
Soenardi. Makanya dia berani memastikan, bahwa "insektisida yang
digunakan sekarang seluruhnya tak lagi mengandun logam berat."
Namun dengan atau tanpa logam berat, pestisida jenis CHP
(chlorinated hidrocarbon pesticides) yang terkenal sangat awet
bertahall dalam alam, maupun jenis OPP (organo-phosphates
pestisides) yang terkenal sangat cepat kerja racunnya, tak ayal
berbahaya juga bagi manusia. Atau bagi ternak. Soenardi sendiri
berpendapat bahwa yang paling berbahaya bukanlall pestisida yang
digunakan dalam pertanian padi seperti Diainon, Sevin,
Folithion atau pil anti hama Furadan 3 G. Melainkan "insektisida
jenis PCP. yang banyak digunakan para kontraktor hutan untuk
menyemprot logs (kayu tebangan)," tuturnya.
Kayu gelondongan itu disemprot PCP untuk mengusir serangga yang
dapat menghancurkan keutuhan kayu. Kurang lebih 1« tahun yang
lalu, penggunaan PCP di Kalimantan Barat dan Timur sulit
dikontrol. Sehingga apa yang dikhawatirkan kalangan Departemen
Pertanian musnahnya beberapa jenis ikan di Sungai Kapuas
Bohang-jadi kenyataan. Akibat penghamburan PCP itu, produksi
udang galah di perairan muara Kapuas Bohang merosot dengan
tajam. Sementara itu, kesehatan kaum penebang kayu yang bergelut
dengan PCP, tak memperoleh kontrol kesehatan yang ketat. Malah
menurut orang Deptan itu, "dikabarkan sudah ada beberapa pekerja
kayu yang sudah sempat tewas."
Tutur Soenardi pula: "PCP itu mengendap dalam tubuh, lewat
kulit, pernafasan atau mulut, yang kian hari kian banyak.
Berkali-kali Komisi Pestisida memperingatkan para pengusaha
kayu akan bahaya jangka panjang itu. Tapi baru 11/tahun yang
lalu para kontraktor kayu mau beralih ke insektisida BHC teknis
(gama) yang dinilai lebih aman dan efektif. Itupun hanya untuk
transisi, sebelum beralih ke Sumibak dan Difloatan yang lebih
ringan.
Endrin - yang menurut Soenardi 30 x lebih berbahaya daripada
Diazinon yang populer sekarang - sudah lama dilarang beredar di
Indonesia. Phosvel sejak setahun lalu juga sudah distop impornya
dan dilarang beredar oleh Komisi Pestisida.
Kenapa tiba-tiba dihentikan? Kata Soenardi: "Ternyata Phosvel
dan Velsieol dapat merusak sistim saraf pada tubuh sapi, yang
resistensinya lebih kuat dari manusia. Akibat Sampingan itu baru
kita ketahui setelah mendapat laporan dari Amerika." Mengingat
Phosvel dan Velsicol dulu banyak dipakai untuk Bimas mungkinkah
sudah jatuh banyak korban? "Sulit mentrasirnya," sahut Soenardi,
"sebab sampai kini belum ada laporan kelainan pada binatang yang
masuk."
Sekarang ini, ada 140 lebih jenis pestisida yang boleh masuk
Indonesia, dan telah mendapat sertifikat Komisi Pestisida.
"Pengontrolan kita lakukan bekerjasa dengan fihak BATAN, ketat
sekali. Sampai yang konposisinya kita tahu, meski agennya ingin
membohongi," kata sang ketua komisi.
Lebih dari separo pestisida tadi dipergunakan di sektor
pertaniam Testing lapangan pun kadang-kadang dilakukan, juga
dengan bantuan BATAN. Kendati demikian, Soehardi mengakui bahwa
meski pun sudah dipilih insektisida yang toxity (daya racun)nya
pada tikus percobaan tergolong ringan? "kalau disalahgunakan
cukup berbahaya.
Daya bunuh Diazinon 60 EC (konsertrat yang dapat diencerkan)
misalnya adalah 350 mg per kg berat tubuh manusia. Berarti,
orang yang punya berat badan 60 kilo tinggal mempunyai kans
hidup 50% apabila terminum 3,5 cc saja. Lebih dari itu, dia
akan terkirim ke alam baka. Makanya, pada brosur pelbagai jenis
pestisida itu, PT Pertani sebagai penyalur utama selalu
mencantumkan petunjuk bahaya dan pertolongan pertama pada
keracunan pestisida (lihat Box). Sederhana memang. Paling tidak,
di atas kertas.
Namun dalam prakteknya, masih banyak petani di Cikampek yang
dipergoki wartawan TEMPO. Sedang mengisi tanki sprayernya tanpa
kacamata. Atau tanpa topeng penangkis uap obat semprot. Juga di
Cikampek tampaknya jumlah orang buta rada menonjol. Menurut
catatan di Balai Pengobatan Mata Cikampek, bulan Mei saja
tercatat 1586 penderita baru, dan 649 penderita lama. Di
antaranya, 434 orang penderita radang pada selaput mata
(conjunctivitas) dan 432 penderita radang pada kornea (kerati
tis) . Lebih dari 30% penderita sakit mata itu begitu Rada
Hadikusumo dikutip Kompas disebabkan karena "percikan lumpur
sawah."
Di Cilamaya sendiri, yang letaknya dekat ke pantai dan banyak
tanahnya terus terendam air gara-gara pembangunan pelabuhan
proyek pipa gas Cilamaya-Cilegon, dikabarkan memang banyak
orang mengidap sakit mata. "Trachoom," begitulah jawaban yang
sering terdengar. Namun tak adakah kemungkinan bahwa sakit mata
itu juga akibat keteledoran menyemprot melawan angin tanpa
penutup mata?
Mungkin saja itu gejala sawah kratitis. Yakni peradangan pada
kornea mata akibat cipratan lumpur sawah yang secara alamiah
mengandung mineral tertentu. Khususnya logam. Di zaman
Belanda penyakit mata itu banyak ditemukan di Karawang. Tapi
para ahli mata tentunya lebih tahu," tutur dr Karton Mohamad,
pemimpin redaksi Medika yang juga menulis buku penuntun
Pertolongan Pertama.
Tambahnya pula pada TEMPO: "Insektisida, bukan barang aneh lagi
di Indonesia. Bahkan sudah dikenal sampai ke kampung-kampung.
Makanya kasus keracunan insektisida bukan lagi hal yang jarang
terjadi di rumahsakit atau puskesmas." Dan meskipun sudah
banyak petunjuk pantangan dan larangan dibeberkan oleh
produsen maupun penyalurnya dalam brosur-brosur mereka 'toh tak
jarang keracunan pestisida terjadi.
Untung, obat penangkal pestisida yang bernama Atropine sudah
diprodusir secara besar-besaran oleh Kimia Farma dan harganya
cukup murah. Rp 30, satu ampul yang 0,5 mg. Begitu pula obat
tetes mata Homatropine, juga buatan Kimia Farma. "Tapi betulkah
obat-obat itu sampai ke pelosok desadesa yang dirasuki
pestisida?" tanya Kartono lebih lanjut.
Tapi selain itu, diharapkan PT Pertani sebagai importir dan
distributor utama pestisida Bimas dan Inmas, ikut mencari jalan
keluar menghadapi ekses penggunaan pestisida. Selama ini,
prinsip PT Pertani, seperti yang ditegaskan dalarn brosur-brosur
pestisida adalah: "Karena kami tidak dapat ikut mengawasi
pemakaiannya, maka risiko yang timbul akibat pemakaian yang
menyimpang adalah tanggungan pemakai sendiri." Titik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini