Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ramainya tagar All Eyes on Papua menggambarkan dukungan publik untuk masyarakat adat Suku Awyu dan Suku Moi dari Papua yang sedang berjuang menolak pembangunan perkebunan sawit di wilayah mereka. Slogan itu sudah dibagikan lebih tiga juta kali di media sosial,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat adat yang masing-masing berasal dari Boven Digoel, Papua Selatan, serta Sorong, Papua Barat Daya, mengajukan gugatan hukum, demi mempertahankan hutan adat yang terletak di antara Sungai Mappi dan Singai Digul. Gugatan itu sudah sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hendrikus Woro adalah sosok terdepan dalam perjuangan suku Awyu. Pria berusia 40 tahun yang menghuni Kampung Yare, Distrik Fofi, itu juga takjub saat mengetahui perjuangan masyarakatnya belakangan menjadi viral.
Saat diwawancarai melalui sambungan telepon oleh Agoeng Wijaya dan Irsyan Hasyim dari Tempo, Kamis malam, 6 Juni 2024, Hendrikus hanya bisa mengucapkan terima kasih atas dukungan publik terhadap gerakan solidaritas All Eyes on Papua. Dia berharap pemerintah membela warga negara, termasuk masyarakat adat.
"Mendengarkan kami, anak-anak itik yang selama ini seperti kehilangan induknya," ujar pria yang akrab disapa Franky itu.
Masyarakat adat suku Awyu menggugat keputusan pemerintah yang menerbitkan izin kelayakan lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL), satu dari tujuh perusahaan yang mencaplok wilayah adat suku Awyu, ke Pengadilan Tata Uaha Negara (PTUN). Sebelum sampai di MA, gugatan itu sempat mental di pengadilan tingkat pertama dan kedua.
Dalam obrolan selama dua jam, Hendrikus sempat menceritakan soal kelompok swadaya yang dibangunnya untuk memperjuangkan hutan adat suku Awyu. Lengkap dengan tim paralegal, komunitas bernama Gerakan Cinta Tanah Adat Awyu Bersatu ini yang kemudian menyokong perjuangan Hendrikus dan rekan-rekannya.
“Tim yang kami bentuk tidak disertai dengan gaji dan upah, relawan saja. Jadi ada yang aktif, ada juga yang tidak,” kata dia. “Tidak apa-apa. Sekarang ada teman-teman yang juga membantu kami.”
Pada 27 Mei 2024, perwakilan suku Awyu dan suku Moi menggelar doa di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat. Mereka memakai busana adat masing-masing dalam ritual tersebut. Tahun ini, kata Hendrikus, menandai satu dekade perjuangan Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat.
Wawancara khusus Tempo itu bisa dibaca lebih lengkap dalam Laporan Premium Tempo 'Hendrikus Woro, Toko Adat Suku Awyu: Kami Hanya Ingin Didengar'
Pilihan Editor: Tagar All Eyes On Papua, Memahami Ekosida yang Dialami Papua