Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Viral perlawanan dan perjuangan Suku Awyu dan Suku Moi lewat tagar All Eyes on Papua bisa menjadi momentum untuk mengurangi deforestasi di Papua. Viral tagar All Eyes on Papua modal kuat untuk mendorong pemerintah dan Mahkamah Agung mencabut izin perkebunan monokultur sawit di hutan alam Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Karena statusnya kasasi di Mahkamah Agung, bagaimana kemudian MA mengeluarkan putusan untuk menerima gugatan masyarakat adat Awyu dan Moi terhadap perizinan lingkungan untuk perusahaan yang diterbitkan Pemerintah Papua dan KLHK," tutur Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, kepada Tempo, Selasa 11 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Uli, hanya dengan putusan MA yang berpihak kepada masyarakat adat, maka viral hashtag All Eyes On Papua bisa bermakna. Uli menyebutkan, kasus Suku Awyu dan Suku Moi hanya satu dari banyak kasus yang dialami rakyat khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal di suatu wilayah. "Permasalahan muncul karena pengurus negara tidak menghormati keberadaan masyarakat adat dan hak yang melekat pada mereka."
Selama ini, Uli menilai, tidak pernah ada percakapan yang intensif antara masyarakat dan pemerintah terkait suatu kebijakan atau program industri ekstraktif yang akan masuk ke wilayah adat mereka. Padahal, masyarakat yang akan menerima dampak utama dan paling besar. "Misalnya perkebunan monokultur sawit ini," kata dia menambahkan.
Perlawanan Suku Awyu dan Moi yang berjuang secara konstitusional dengan menggugat perizinan lingkungan, kata Uli, adalah perjuangan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Perubahan hutan dalam skala besar di Boven Digoel, misalnya, bakal berdampak bukan saja kepada masyarakat Suku Awyu tapi juga bagi seluruh masyarakat.
Uli menjelaskan, perambahan hutan akan melepaskan karbon dalam jumlah besar dan akan bertumpuk di atmosfer lalu menambah krisis iklim. Manifestasinya adalah cuaca ekstrem yang bisa berdampak banjir, tanah longsor, dan bencana ekologi lainnya. Kelompok rentan adalah yang paling mendapatkan dampak krisis yang akan terjadi tersebut.
"Perubahan bentang hutan di Boven Digoel akan berdampak bagi kita semua, karena bencana ekologi itu tidak mengenal batas administasi seperti batas wilayah administasi yang ada sekarang," ucap Uli.
Itu sebabnya, Uli menegaskan, perjuangan masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel dan Suku Moi di Sorong dalam menjaga hutan perlu mendapat dukungan serius. "Sehingga potensi bencana ekologi akibat deforestasi di Papua bisa dihindari."
Mengutip data dari Auriga Nusantara, Uli menerangkan, deforestasi di Papua mencapai 89.881 hektare sepanjang 2015 lalu. Setelahnya, hampir 30 ribu hektare per tahun. Deforestasi di Papua disebutkannya berupa pembukaan lahan di hutan alam. "Hutan alam dengan tutupan hutan yang masih bagus sekali," katanya.