Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM) asal Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil, membuat empat seruan terhadap kelanjutan 'proyek hijau' pengembangan karet alam oleh perusahaan milik Michelin Group di Tebo. Proyek yang didapati tak steril dari deforestasi dan konflik dengan masyarakat di sekitarnya, karenanya dicurigai hanya praktik greenwashing itu, diangkat dalam pemberitaan Majalah Tempo rubrik lingkungan terbit Senin, 24 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Organisasi masyarakat sipil yang bergabung dalam seruan itu adalah WALHI Jambi, WALHI Eksekutif Nasional, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Forest Watch Indonesia (FWI), KKI WARSI, Perkumpulan Hijau, dan Lembaga Tiga Beradik. Dalam butir pertamanya, mereka menyerukan PT. Lestari Asri Jaya sebagai anak perusahaan PT. Royal Lestari Utama, perusahaan milik Michelin Group, benar-benar menerapkan No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Termasuk mendesak perusahaan untuk melakukan uji tuntas Hak Asasi Manusia dan Lingkungan sebagai bentuk 'The corporate responsibility to respect human rights' yang diberikan United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs)," bunyi seruan itu seperti dikutip dari laman WALHI Jambi.
NDPE adalah komitmen awal pendirian perusahaan pengembangan karet alam tersebut oleh Michelin pada 2015. Saat itu, bersama Barito Pacific Group, produsen ban dunia berbasis di Prancis itu berambisi dengan proyek kepemilikan saham hijau pertama di Asia Tenggara. Per Juni lalu, Michelin telah menjadi pemilik tunggal perusahaan.
Dalam seruan kedua, koalisi meminta PT. LAJ sebagai anak perusahaan PT. RLU (Michelin Group) juga menghormati keinginan masyarakat tentang skema pengelolaan lahan dan menghentikan segala bentuk tindakan intimidatif dan represif kepada masyarakat terkait konflik lahan. PT LAJ juga diserukan menindak internal perusahaan yang melakukan atau terlibat dalam intimidasi dan represif terhadap masyarakat.
Peta Kabupaten Tebo, Jambi. forumtataruangjambi.blogspot.com
Ketiga, mendesak Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk mengevaluasi, mengawasi dan menertibkan perizinan perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam di Jambi. "Dan menindak perusahaan pelaku kejahatan lingkungan dan hak asasi manusia."
Lalu, seruan keempat, meminta Komnas HAM dan Special Rapporteur Komisi Tinggi HAM PBB bidang Environment, Climate Change, Human Rights Defenders, dan Indigenous Peoples untuk melakukan investigasi independen mendorong penyelesaian konflik-konflik agraria dan memulihkan kerusakan lingkungan dan hak-hak masyarakat korban.
Koalisi memaparkan bahwa PT LAJ termasuk di antara perusahaan pemegang konsesi di hutan di Jambi. Seluruhnya ada 18 izin Hutan Tanaman Industri di sana saat ini, yang 4 di antaranya tidak aktif. Namun, ketimpangan penguasaan ruang kelola, tertutupnya data dan dokumen terkait pengelolaan sumber daya alam, pelanggaran prosedur dan lemahnya penegakan hukum, serta tidak adanya pelibatan masyarakat, dinilai menjadi pemicu izin-izin itu selalu disertai konflik dengan masyarakat di Jambi.
PT. LAJ disebutkan memiliki izin konsesi seluas 61.495 hektare di Pemayungan, Sumay, Kabupaten Tebo. Tepatnya, di antara kawasan penyanggah untuk hutan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Ketimpangan penguasaan lahan di sini dituding mengakibatkan kebrutalan perusahaan menggusur kebun masyarakat yang telah melakukan aktivitas pertanian jauh sebelum hadirnya perusahaan pada 2015.
Koalisi merinci masyarakat mengalami intimidasi untuk menyerahkan lahan yang dikelola; banyak masyarakat yang mendapatkan surat pemanggilan polisi dengan alasan wawancara alias kriminalisasi; dan tanaman yang dirusak oleh perusahaan.
Belum cukup, masyarakat juga dijerumuskan hingga berkonflik dengan satwa liar Gajah Sumatera. Koalisi merujuk kepada pembukaan lahan (deforestasi) yang dilakukan secara massif, berskala besar dan kebijakan perusahaan yang membuat Wildlife Conservation Area (WCA) atau Wilayah Cinta Alam di sekitar kebun masyarakat.
"Masyarakat dihadapkan dengan fenomena dimana pagi hari harus berhadapan dengan penggusuran dari perusahaan, dan malam hari harus berjibaku menghalau masuknya kelompok gajah ke kebun mereka."
Seorang mahout (pawang) bermain dengan dua gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) jinak di Pusat Informasi Konservasi Gajah (PIKG) Tebo, Muara Sekalo, Sumay, Jambi, Sabtu 6 Agustus 2022. PIKG yang berada di Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Bentang Alam Bukit Tigapuluh saat ini memiliki lima gajah Sumatera jinak yang didatangkan dari Lampung dan Sumatera Selatan guna pencegahan konflik dan medium edukasi di kawasan itu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Disebutkan pula bahwa melalui Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM), masyarakat telah melakukan beberapa kali perundingan dengan PT. LAJ. Pada tiap perundingan, masyarakat tetap berpendirian untuk secara mandiri mengelola tanah tanpa adanya campur tangan perusahaan, memiliki secara penuh wilayah kelola dengan skema yang adil.
Sedangkan ambisi dan klaim perusahaan karet alam berkelanjutan dari PT LAJ atau Michelin Group dianggap berbanding terbalik dengan praktik di lapangan. Adanya deforestasi, konflik dan kriminalisasi terhadap masyarakat membuat obligasi ‘hijau’ berkelanjutan senilai US$95 juta yang diterbitkan PT RLU pada 2018 lalu dianggap tidak sehijau kenyataannya.
Dalam pemberitaan Majalah Tempo, PT RLU menyatakan deforestasi di area konsesinya adalah tuduhan tak berdasar. Sedangkan persoalan konflik dengan masyarakat diakui diselesaikan dengan mengedepankan proses dialog. Tak ada respons soal dugaan greenwashing.