Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Soal ilham dari seberang

Isu penjiplakan arus film keras dan film novel pop mewarnai produksi satu tahun terakhir ini. dewan juri mementingkan orisinalitas cerita. (fl)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIALA Citra sudah dibagi-bagi. Dengan pukulan gong, Menpen Ali Murtopo menutup Festival Film Indonesia 1982 di Jakarta, Sabtu malam berselang. Glamurnya tidak berlebihan, atmosfirnya lebih sederhana. Kali ini, untuk menghargai orisinalitas cerita, disediakan pula sebuah Citra dimenangkan oleh Serangan Fajar. Dewan Juri sementara itu, dalam satu uraian singkat, merumuskan adanya peningkatan di segi teknik sinematografik dan kedalaman penggarapan isi cerita. Sampai di sini segala sesuatu nampak hampir memenuhi harapan. Padahal ada sebuah isu, dan tidak seorang pun yang berminat membicarakannya. Sutradara Nico Pelamonia misalnya kepada TEMPO berkata: "Itu 'kan kawan kita, orang flim sendiri. Jadi ya . . . bagaimana." Kawan kita yang dimaksud Nico tak lain dari Ismail Soebardjo, sutradara pemenang Citra 1981 dengan film Perempuan Dalam Pasungan (PDP). Tahun ini filmnya terbaru, Bercanda Dalam Duka (BDD), tercatat untuk beberapa unggulan. Tapi justru akhir Juli lalu BDD dituduh sebagai hasil jiplakan -- dari Homicide, produksi Hongkong 1973. Isu jiplak ini dilontarkan oleh sebuah harian di Ibukota. Akibatnya timbul heboh. PWI Seksi Film lantas memutarkan BDD dan Homicide di hadapan wartawan. Hal yang sama kemudian dilakukan KFT organisasi karyawan film, dalam forum lebih terbatas. Para penonton, agaknya, pada kesempatan itu memang sampai pada kesimpulan bahwa telah terjadi penjiplakan total. Habis tema dan penokohan mirip sekali. Juga beberapa adegan seperti pergumulan karena soal telur, penembakan oleh si bisu, dan obor-obor di pebukitan. Benar, BDD, yang waktu putarnya hampir dua jam, menampilkan tokoh sentral: Lurah Dirun. Tapi, di samping penggarapan tokoh ini lemah, persamaan alur cerita kedua film bagaikan benang merah yang tidak terbantah. Tentang ini apa kata Ismail? Di rumahnya di kawasan Jelambar, Jakarta, Ismail Soebardjo, 39 tahun, mengakui BDD memang dipengaruhi Homicide. Tapi untuk film yang sama ia juga meramu gagasan dan bahan dari film dan buku lain -- tanpa menyebut judul-judulnya. Dikatakannya, dia memang terilhami oleh tokoh si bisu dalam Homicide. Tapi entah dengan maksud apa disebutkannya bahwa BDD merupakan pengembangan dari PDP, filmnya sendiri. Tuduhan menjiplak baginya terasa pahit. "Masyarakatlah yang akan menilai," ucapnya tertahan. Toh penjiplakan dinilai Ismail sebagai hal yang wajar. "Tidak ada yang murni, kecuali Allah," katanya. Dia tidak menyinggung soal persamaan adegan. Sebaliknya malah menegaskan: "Sepanjang yang lahir itu berbeda, itu adalah kreativitas." Tapi tidak hanya Ismail. Tuduhan menjiplak, meski tidak begitu gencar, juga ditujukan kepada M.T. Risyaf untuk filmnya Bawalah Aku Pergi (BAP). Diduga mengambil sesuatu dari film Jepang Take Me Away, BAP yang belum beredar itu paling tidak memang mcnjiplak nama. Tapi Risyaf tandas menolak tuduhan. Sejak mula ia memang sudah jatuh senang pada judul itu yang disodorkan produser satu paket dengan tiga "keharusan" lain. Yakni: pemeran utama harus Roy Marten. Harus ada shooting di luar negeri. Dan harus ada beberapa nyanyian. Dengan paket itu, Asrul Sani mengolah sebuah skenario yang kemudian memenangkan Citra sebagai skenario terbaik tahun ini. BICARA tentang tuduhan, Risyaf berpendapat bahwa sebuah karya baru bisa disebut menjiplak bila mencakup keseluruhan: fisik dan tema. Kalau yang ada sekedar pengaruh, itu bukan jiplakan. Menarik juga komentarnya: "Yang saya akui adalah, saya membeli celana Levi's, tapi saya tetap orang Indonesia. Karena itu saya harus mensiasati film BAP." Mensiasati? Tidak jelas maksudnya, memang. Tapi ayah dua anak ini kemudian berkata: "Kalau film saya itu saya sebut hasil jiplakan, berarti saya tidak jujur." Dari awal sampai akhir, masalah penciptaan memang meliputi soal kejujuran. Terasa kurang bertanggung jawab jika Nico Pelamonia mengatakan: "Berulangnya penjiplakan tidak bisa diatasi, tidak pula bisa dihukum. Masalahnya tidak ada satu badan untuk menghukumnya." Risyaf berpendapat sama "Bergantung kesadaran orangnya, karena tidak ada yang menghukum." Dan Ismail Soebardjo menyayangkan tiadanya sanksi hukum, seraya menyesalkan FFI yang tidak punya konsep untuk mengatasi kasus penjiplakan. Ia pun mengingatkan perlunya rumus tentang 'penjiplakan' itu sendiri. Terasa ada kecenderungan untuk mencari jalan berputar. Pada saat perfilman Indonesia semakin maju di segi teknis, ia juga makin kedodoran dalam penulisan skenario. Kasus penjiplakan itu buktinya. Kelemahan di bidang itu mencemaskan, terutama karena tidak mudah diatasi. Bukan saja karena lembaga pendidikan yang ada tidak bisa menjamin tercetaknya penulis skenario yang baik. Tapi juga, seperti kata Edward Pesta Sirait, "Iklim penciptaan belum merangsang ke arah sana. Apalagi semua menulis berdasar pesanan," tandasnya. Sjuman dan Nya Abbas mensinyalir banyaknya faktor penghambat kreativitas bagi penulis skenario. Mulai dari Deppen yang nyinyir, BSF yang gawat, produser sampai 'booker.' Ada kecenderungan kedua, yang juga menyangkut skenario. Yakni makin banyaknya novel pop yang difilmkan. Ini memang tidak langsung membuktikan keterbatasan daya cipta penulis skenario. Lagi pula, meski trend itu juga mencerminkan kelatahan (hal yang dibantah Fritz Schadt, mengingat Usmar Ismail pun dulu memfilmkan Anak Perawan Di Sarang Penyamun dan Liburan Seniman), seperti kata Nya Abbas Akup novel bisa memberi landasan kerja yang baik bagi penulis skenario. Arifin. C. Noer memperinci sumbangan positif novel pop pada film antara lain pada bahasa, komposisi cerita, plot dan pcrwatakan yang semuanya lebih baik dan lebih rapi. Perhitungan komersialnya bukan tidak ada. "Di Amerika bahkan ada semacam ketentuan harus memfilmkan novel yang sudah dicetak 100-200 ribu eksemplar, karena produser dan sutradara berpendapat secara hitung dagang hal itu lebih aman," ujar Fritz, diiringi senyum lebar. Perhitungan dagang itu pula yang memacu kecenderungan ketiga: menderasnya film-film keras, horor atau action satu tahun belakangan ini. Meski seorang staf BSF yakin, demam horor itu segera mencapai titik jenuh, tak urung banyak yang waswas. Apa tidak berpengaruh buruk, bisa memacu jumlah kejahatan Kecemasan itu diredakan Sarlito Wirawan, psikolog: "Jangan terlalu melebih-lebihkan. Pengaruh film keras terhadap tindakan kriminal hanya 5%. Dia memang belum meneliti khusus, tapi dia mengajukan tolok ukur: dalam 100 orang pasti ada 3 penjahat. Dipastikannya 3 orang inilah yang akan terpengaruh. Menurut Sarlito, film seks lebih besar pengaruhnya karena "bisa langsung ditiru." Hendrick Gozali, direktur PT Garuda Film, memperhitungkan selama 1 tahun terakhir ini di Indonesia diproduksi 50% film horor, 30% drama, 10% komedi, 10% action. Apa yang dicari penonton pada film horor? Dikatakan Hendrick: penonton sering kagum pada trik-trik seperti film Barat. TAPI itu pun belum menjamin pasar. Kata Hendrick, selera masyarakat berbeda -- dari golongan ke golongan, dari dacrah ke daerah. Sumatera Barat dan Inlon sia Tirlur biasanya tidak suka film horor. Apa sebabnya, dia pun kurang tahu. Gope Samtani dari Rapi Film, yang memproduksi Jaka Sembung, yakin tren film keras sekarang mengikuti arus yang sama di luar negeri. Tapi selera penonton di sini cenderung pada film mistik (maksudnya: kepercayaan) yang diangkat dari legenda. Sundel Bolong umpamanya. Adapun Ratno Timur sama sekali tidak memperhitungkan trend, karena sejak mula ia memproduksi film keras. Ada 25 judul semua. "Orang tak betah mendengar dialog bertele-tele. Mereka ingin menonton action yang bagus," kata sutradara merangkap aktor yang kini sedang menggarap film Jin Galunggung itu. "Saya senang membuat film seperti ini. Baru judulnya saja sudah mendatangkan uang. Film belum selesai, booker sudah membayar," katanya terus terang. Sebaliknya Teguh Karya menegaskan: "Saya kurang suka film keras yang mempermudah kejahatan sambil mendangkalkan agama." Pada prinsipnya sutradara ini tidak antikekerasan dalam film. Apalagi di antaranya memang ada yang baik. Hanya ia berpendapat, "film yang bergelimang darah dan kekejaman tidak bisa ditingkatkan nilai artistiknya. Karena itu sebaiknya dilarang saja." Dan syukurlah, film macam itu tak menjadi pemenang Citra tahun ini: Serangan Fajar, 6 Citra untuk penyutradaraan (Arifin C. Noer), tata musik (Embi C. Noer), tata artistik (Fred Wetik & Farraz Effendy), peran pembantu wanita (Suparmi), serta untuk film terbaik dan keaslian cerita. Dalam film ini juga, Dani Mursani mendapat penghargaan khusus untuk peran anak-anak. Citra lainnya berbagi: Asrul Sani (penulis skenario. Bawalah Aku Pergi), Akin (sinefotografi, Jangan Ambil Nyawaku), Norman Benny (penyuntingan gambar/ editing, Bukan Istri Pilihannya), Zaenal Abidin (peran utama, Putri Seorang Jenderal), Maruli Sitompul (peran pembantu pria, Bawalah Aku Pergi), Yenny Rachman (peran utama wanita, Gadis Marathon). Sedang film komedi Pintar-pintar Bodoh, mendapat piala Antemas untuk film terlaris berdasar jumlah penonton di kota besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus