Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

6 Catatan ICEL terhadap Perpres Penertiban Kawasan Hutan

ICEL menilai Perpres 5/2025 sebagai langkah mendesak, tetapi setidaknya terdapat enam catatan terhadap kebijakan tersebut.

11 Februari 2025 | 15.18 WIB

Ilustrasi hutan tropis. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi hutan tropis. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Center for Environmental Law (ICEL) memberikan catatan terhadap langkah pemerintah yang telah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan pada 21 Januari 2025 sebagai respons mengatasi ketidakefektifan mekanisme penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan. Perpres ini mengubah mekanisme penyelesaian, serta membentuk satuan tugas untuk percepatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo G. Sembiring menilai upaya penyelesaian ini sebagai langkah mendesak, tetapi setidaknya terdapat enam catatan terhadap kebijakan tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pertama, Perpres 5/2025 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu UU 18/2013 dan PP 24/2021 yang telah mengatur mekanisme penyelesaian kegiatan usaha yang telah terbangun di kawasan hutan. 

Menurut Raynaldo, Perpres 5/2025 memperkenalkan tipologi penyelesiaan yang berbeda dengan UU 18/2013 serta mekanisme ”penguasaan kembali” yang berbeda dengan mekanisme penyelesaian pada PP 24/2021. Padahal, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang dan peraturan pemerintah lebih tinggi dibandingkan perpres. 

"Apabila dinilai tidak efektif, seharusnya pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap pilihan kebijakan yang dituangkan di tingkat undang-undang dan peraturan pemerintah," kata Raynaldo, dalam pesan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 10 Februari 2025..

Kedua, implementasi Perpres 5/2025 harus dipastikan tetap memperhatikan ketentuan pidana. ICEL menjelaskan pengenalan tipologi penyelesaian baru yang tidak secara tegas membedakan waktu terbangunnya kegiatan usaha, membuka kesempatan bagi kegiatan usaha yang terbangun 
setelah 2 November 2020 hanya dikenakan sanksi administratif. 

Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa tipologi kegiatan usaha tanpa perizinan di bidang kehutanan, walaupun telah memiliki perizinan berusaha atau kegiatan usaha yang tidak dilengkapi salah satu komponen perizinan berusaha, harus tetap dikenakan sanksi pidana sesuai pengaturan dalam UU 18/2013 sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja. 

Ketiga, evaluasi perizinan bermasalah sebagai momentum perbaikan tata kelola. Perhatian khusus terhadap kegiatan usaha yang memiliki perizinan berusaha, namun diperoleh secara melawan hukum dalam Perpres 5/2025 merupakan kesempatan untuk perbaikan tata kelola.

Raynaldo mengatakan setidaknya terdapat tiga indikator yang dapat digunakan oleh Satgas untuk melihat apakah suatu perizinan berusaha diperoleh secara melawan hukum atau tidak. Indikatornya adalah keterkaitan penerbitan perizinan berusaha dengan kasus tindak pidana yang putusan 
pengadilannya telah berkekuatan hukum tetap; keterkaitan penerbitan perizinan berusaha dengan tindak pidana yang proses pemeriksaan perkaranya sedang berjalan; dan penelusuran lebih lanjut atas dugaan pelanggaran terhadap perizinan berusaha yang tidak dilengkapi komponen tertentu dan/atau tidak sesuai dengan prosedur dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hasil review perizinan ICEL pada tahun 2015-2018, kata Raynaldo, salah satu tipologi pelanggaran perizinan perkebunan kelapa sawit adalah pelanggaran administratif dalam 
penerbitan perizinan yang mengindikasikan dugaan tindak pidana korupsi.

Catatan keempat, kata Raynaldo, perlunya audit ulang atas kegiatan usaha di kawasan hutan. Menurut dia, sebagai upaya perbaikan tata kelola yang komprehensif, penting bagi Satgas untuk melakukan review atau audit ulang terhadap kegiatan usaha di kawasan hutan yang telah selesai atau sedang dalam proses penyelesaian, utamanya untuk melakukan penapisan terhadap perizinan berusaha yang terindikasi diterbitkan secara melawan hukum. 

“Dengan kedudukan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus sebagai Ketua Tim Pelaksana dalam Satgas, implementasi Perpres ini diharapkan dapat mendukung proses audit ulang demi mengintervensi proses penyelesaian terhadap perizinan berusaha yang diperoleh secara melawan hukum dan menindaklanjuti indikasi praktik-praktik korupsi perizinan,” kata dia.

Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL Difa Shafira mengatakan indikator kelima, yakni mekanisme penertiban kawasan hutan dalam Perpres 5/2025 tidak memperhatikan aspek penyelesaian konflik dan pengembalian fungsi kawasan hutan, walaupun Perpres 5/2025 berpotensi efektif menyasar dan mendorong penegakan hukum untuk korporasi yang beroperasi di kawasan hutan.

Menurut Difa, mekanisme penguasaan kembali yang ditawarkan oleh Perpres 5/2025 ditambah dengan komponen instansi yang ditugaskan untuk penyelesaian berpotensi memperpanjang rentetan konflik dan kekerasan. 

Pemulihan dan pengembalian fungsi kawasan hutan pun tidak menjadi fokus dalam Perpres 5/2025. Padahal, kata dia, pemulihan dan pengembalian fungsi kawasan hutan menjadi komponen penting untuk memastikan bahwa proses penguasaan kembali oleh negara diikuti dengan upaya restorasi lingkungan hidup. 

Indikator keenam, yakni implementasi Perpres 5/2025 harus mengedepankan keterbukaan informasi dan membuka ruang partisipasi masyarakat. Menurut Difa, pemerintah perlu transparan dan membuka data berkaitan dengan areal kawasan hutan yang ditertibkan, subjek yang melakukan pelanggaran, sanksi administratif dan pidana yang dikenakan, serta kepatuhan pelaku usaha.

”Dengan demikian, masyarakat dapat berperan dalam mengawasi proses implementasi kebijakan, menyajikan data pembanding untuk memastikan penyelesaian dilakukan melalui tipologi yang tepat, hingga mengawasi proses penegakan hukum dan kepatuhan pelaku usaha,” kata Difa.

ICEL, kata dia, menegaskan bahwa penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada peningkatan pendapatan negara melalui denda administratif, tetapi juga harus memastikan perbaikan tata kelola, pemulihan fungsi kawasan hutan, dan penyelesaian konflik secara menyeluruh.

Irsyan Hasyim

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus