Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 bakal menjadi instrumen baru untuk melindungi aktivis lingkungan. Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring, menyatakan beleid itu melengkapi mekanisme penghentian perkara sedini mungkin yang sudah ada dalam Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2023 dan Pedoman Jaksa Agung (JA) Nomor 8 Tahun 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Permen LHK 10/2024 sebaiknya dioperasionalkan sebagai satu kesatuan dengan Pedoman JA 8/2022 dan Perma 1/2023,” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis, 12 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mekanisme penghentian perkara selama ini diatur lewat Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan, serta Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebelumnya ada juga Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang kemudian dicabut karena munculnya Perma Nomor 1 Tahun 2023.
Peraturan yang diteken pada 30 Agustus lalu merupakan aturan pelaksana Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 atau UU Lingkungan Hidup. Dengan hadirnya beleid anyar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), para pejuang lingkungan lebih terlindungi.
Merujuk Pasal 2 ayat 1 Permen LHK Nomor 1 Tahun 2024, ‘Orang yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup’ tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Pejuang lingkungan hidup, dalam hal ini, meliputi korban atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Menurut Raynaldo, penetapan kasus sebagai tindakan pembalasan—substansi Pasal 8 huruf a Permen LHK Nomor 10 tahun 2024—dikonstruksikan sebagai pelanggaran hak pejuang lingkungan. “Tindakan ini juga seharusnya sejalan dengan asas keperluan dan asas proporsionalitas bagi pejuang lingkungan yang diancam pidana,” katanya.
Asas keperluan dan asas proporsionalitas menekankan proporsi kepentingan publik yang dibela dengan ancaman ketentuan pidana. Kedua asas tersebut dianggap sebagai solusi atas pasal-pasal karet yang kerap digunakan untuk menekan pejuang lingkungan.
Dengan terbitnya Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024, ujar Raynaldo, satu-satunya institusi yang belum memiliki kebijakan perlindungan bagi pejuang lingkungan hanya Kepolisian RI (Polri). Para pegiat lingkungan menanti komitmen dan kebijakan sejenis dari Polri.
“Upaya penyerangan hukum dan pelanggaran hak bagi pejuang lingkungan sering berasal dari upaya paksa dalam penyidikan,” tutur dia.