Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tuyul-tuyul di klaten

Yayasan parapsikologi semesta mengadakan seminar tuyul, dihadiri ratusan ahli, & diakhiri dengan kunjungan ke kelurahan palar, klaten, yang disebut sebagai kerajaan tuyul, tuyul bisa berperan dalam pembangunan.(eb)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAS! Kalau Anda berjalan di kegelapan, atau di sela-sela pohon besar, jika menemukan bocah gundul yang hanya mengenakan celana dalam, pasti itu tuyul. Tidak percaya? Sebaiknya, memang begitu. Tetapi yang ini, dengan hormat, harap dipercaya: ada seminar tuyul di Semarang selama dua hari, Kamis dan Jumat pekan lalu. Seperti seminar yang membicarakan manusia - seminar pertuyulan juga menyaiikan makalah dari para ahli: ada Sejarawan Dr. Onghokham, ada Drs. Jacobus Mulyadi dari Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, dan tentu saja, para "ahli" dari Yayasan Parapsikologi Semesta (YPS) yang punya prakarsa. Peserta seminar dipungut biaya Rp 3.000 per orang - nah, ini 'kan serius? - dan yang hadir lebih dari 500 orang, berjejal di aula yang punya daya tampung cuma 200 tempat duduk itu. "Para jin yang ada di sekitar masjid Baiturahman di seberang tempat seminar ikut berpartisipasi," kata Amen Budiman, Ketua YPS Cabang Semarang. Amen tak bisa menghitung jumlah jin dan tuyul yang hadir. "Sebagian tuyul bergantungan di pagar luar gedung ini," ujar Amen. Karena ia menjadi Ketua Panitia Seminar, ucapannya kita kutip saja: "Ketika manusia asyik bertanya jawab, tuyul itu tertawa dan sempat mengumpat: manusia itu goblok." Amen tidak menjelaskan, di mana bangsa tuyul belajar bahasa Indonesia. Onghokham agak ragu tentang keberadaan bangsa tuyul. Maklum, ia ahli sejarah manusia, bukan sejarah tuyul. Tapi Mulyadi, sebaliknya. "Saya yakin tuyul itu ada," katanya. Sebagai fakta, ia menyebut rubrik Jagading Lelembut (dunia mahkluk halus) di majalah Jokolodang, Yogyakarta, yang selalu berisi pengalaman orang-orang yang berurusan dengan roh halus itu. Toh, Mulyadi sama saja dengan Ong, tak pernah melihat tuyul. Banyak pengunjung seminar yang penasaran betul ingin melihat tuyul. Han Giok, Sekretaris YPS Cabang Semarang, sampai perlu menyulut hio di ruang seminar, agar bisa melihat makhluk ajaib itu. Setelah asap mengepul dan matanya dibelalakkan, hasilnya, "Saya toh belum bisa juga melihat tuyul" Kasihan, matanya sampai perih. Amen menjelaskan, kita kutip lagi: "Untuk bisa melihat tuyul, diperlukan jiwa raga yang bersih, dan kesiapan mental." Tak dijelaskan, bersih kayak apa dan mental yang bagaimana. Tapi, Rauf Wiranatakusumah, parapsikolog dari Bandung, sempat praktek menangkap tuyul di ruang seminar, yang dihadiri sejumlah wartawan. Ia mengheningkan cipta. Lalu telunjuk dan ibu jarinya merapat. "Cepat, cepat, Mas, dipotret saja, saya lagi nggandeng tuyul, cepat dipotret, hampir lepas nih." Wartawan semua bingung. Apanya yang dipotret, tak ada apa-apa. Tuan Tuyul, yang tak "berkenan" muncul di ruang seminar, oleh ahli-ahli YPS, ingin "ditingkatkan peran sertanya untuk menunjang pembangunan nasional", seperti dikatakan Amen. Akan halnya profesi tuyul sebagai pencuri uang, "Ah, itu 'kan cuma oknum tuyul saja," bela Rauf. Artinya, seperti Hansip, kalau ada yang berbuat onar, itu cuma oknum, sementara banyak Hansip yang baik. Maka, Hansip, eh, tuyul, "Bisa dimanfaatkan untuk maksud positif." Misalnya? Permadi.S.H., beliau ini Sekretaris YPS Pusat, menyebutkan bidang inteligen dan keamanan jika perlu, "Tuyul diperintahkan mencuri dokumen di lemari besi untuk kepentingan negara," kata Permadi. Hebat nggak, tuh? Tapi ada benarnya tuyul bisa mendatangkan uang. Ahad lalu, di Pedukuhan Padangan, Kelurahan Palar, Klaten, warga desa setempat kecripatan rezeki. Desa ini bagai diserbu lautan-lnanusia. Mereka tiba dengan kendaraan carteran, menumpang Colt omprengan, naik sepeda, sepeda motor, mobil pribadi, dan jalan kaki. Warung-warung darurat berdiri di pinggir jalan. Beberapa penduduk membuka tempat penitipan sepeda dan sepeda motor. Tarifnya Rp 100 per sepeda dan Rp 200 per sepeda motor, sama dengan parkir liar di Jakarta. "Sering-sering ada begini, lumayan," cerita seorang penduduk. Semua ini gara-gara tuyul. Setelah disimak dan dikaji - tapi belum diseminarkan - istilah tuyul ternyata membuat pejabat setempat tersinggung. "Saya tak rela wilayah saya disebut kerajaan tuyul," kata Ronosoegito, 68, Carik Desa Palar yang kini menjabat kepala desa. "Jika disebut kerajaan tuyul, berarti semua orang di sini adalah tuyul," kata Camat Trucuk, Wagiyono. Maka, dicari alasan untuk membubarkan massa, yang lebih dari 5.000 orang. "Pihak penyelenggara yang mengerahkan massa ini tidak minta izin atau minimal memberi tahu pejabat setempat," kata Wagiyono. "Semua kegiatan yang dilakukan oleh lebih dari sepuluh orang harus ada izin." Camat ini akhirnya berbicara lewat pengeras suara, membubarkan massa. Di Dukuh Padangan itu, memang ada sebuah pohon ketos bergaris tengah sekitar satu meter cukup rimbun dan tua. "Pohon itu sudah ada sejak saya lahir," kata Ronosoegito. Di bawahnya seonggok batu hitam tempat menaruh sesajen dan membakar kemenyan. Pelataran sekitarnya disemen dan areal pohon ini diberi pagar keliling, 8 x 8 meter. Ada pintu masuk berbentuk gapura. Menurut pembantu juru kunci di situ, penghuni pohon adalah Kiai Bondo dan istrinya, Nyai Bondo. Dikenal pula dengan sebutan Kiai Gletek dan Nyai Gletek. Memang, banyak orang yang minta ini dan itu di sana, dan jika terkabul membayar nadar. "Masa Kiai Bondo dikatakan tuyul?" ujar Mulyodikromo, pembantu juru kunci itu, dengan sedikit berang. Semakin siang, penduduk setempat ikut-ikutan tersinggung. Maka, begitu rombongan seminar tuyul YPS datang, langsung digiring ke Balai Desa. Setelah usut sana, usut sini, Amen Budiman lalu membantah telah mengerahkan massa. Rombongannya gagal meneliti tuyul. Yang terjadi barangkali kesalahpahaman, belum ada istilah baku mengenai apa itu tuyul secara nasional - dan internasional. Penduduk Dukuh Padangan menyebut kiai untuk penghuni pohon ketos di wilayahnya, sementara YPS main pukul rata, segala makhluk halus disebut tuyul. Padahal, di Bali tak dikenal tuyul, baik nama maupun profesi jenis itu. Yang ada: memedi, samar, leak, banaspati. Di Sumatera ada puntianak. Lalu di Jawa dan di tempat lain yang banyak orang Jawanya, dikenal: dedemit, gendruwo, wewe, sundel bolong. Mungkin tahun depan, perlu seminar lagi dengan topik: "Perbandingan Tuyul Antar Daerah Dalam Rangka Lepas Landas." Sekian. Putu Setia Laporan Biro Ja-Teng & DIY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus