Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Penyair dan Hidup yang tak Padam

Roberto Benigni sekali lagi menyuguhkan humor getir tentang perang. Kisah penyair di kecamuk Perang Irak.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Tiger and the Snow Pemain: Roberto Benigni, Jean Reno, Nicoletta Braschi, Tom Waits, Emilia Fox Skenario: Roberto Benigni, Vincenzo Cerami Sutradara: Roberto Benigni Produksi: Focus Features (2005)

Ia seorang pesulap kata. Di ta­ngannya setiap kata berubah menjadi sebuah semesta. Saat bercengkerama dengan dua anaknya, ia men­jadikan kata ”burung” sebagai se­­buah kisah kebahagiaan—burung yang hinggap di bahu, lalu berkicau, dan kemudian terbang, sebuah peristiwa sesaat yang begitu membahagiakan ­masa kecilnya dulu.

Di ruang kelas, ia juga menghidup­kan­ kata ”bintang” menjadi cerita­ roman­ yang menyihir murid-murid­nya. Rekan mengajarnya, Nancy Brow­ning (Emilia Fox), yang senantiasa terpukau, bahkan seketika telentang di ruang kelas, siap menyediakan tubuhnya untuk sang pujangga.

Ya, Attilio de Giovanni (Roberto Benigni) adalah seorang penyair. Ia ­meng­ajar puisi di sebuah universitas di Roma, Italia. Ia pengarang kumpulan puisi The Tiger and the Snow. Dengan puisi itu ia senantiasa menanamkan harapan pada orang di seke­lilingnya.

Tapi kebahagiaan Attilio sendiri belum­lah genap. Setiap malam ia ber­mim­pi menikah dengan Vittoria (Nico­letta Braschi). Vittoria bergaun pe­ngantin putih yang indah, sementara­ ia cuma memakai kaus dan celana­ ko­lor­ putih. Pernikahan ganjil, tapi yang se­lalu ia impikan itu tak pernah sampai.­

Harapan, seperti kata-katanya yang se­nantiasa berbunga, tumbuh ketika­ Vit­toria betul-betul muncul di hadap­an­nya. Ia muncul bersama sahabatnya, Fuad (Jean Reno), seorang penyair dari Bagdad, Irak. Tapi secepat ia datang, secepat itu pula Vittoria menghilang dan kemudian diketahui tengah meregang nyawa di Bagdad dalam pekan-pekan awal invasi Amerika ke Irak pada 2003.

Dari sini sesungguhnya film baru di­mulai. Seperti film terdahulu yang melambungkan tiga Piala Oscar, Life is Beautiful (1997), Benigni membawa­ kekuatan keajaiban kata dan cinta da­lam kecamuk perang. Dalam Life is Beautiful, misalnya, Benigni berpe­ran­­ sebagai seorang ayah yang meng­hi­bur anaknya habis-habisan saat bera­da dalam kamp tawanan Nazi. Ia tak ingin anaknya tahu bahwa perang ada­lah kekejaman terburuk terhadap kemanusiaan. Ia ingin memberikan ­ke­­­san­ pada anaknya bahwa perang sa­ma saja dengan sebuah permainan anak­-anak. Sebuah humor yang getir.

Di film ini, Benigni meniupkan roh yang sama. Sang penyair nekat mene­ro­bos Bagdad dengan jalan apa saja untuk me­ngembuskan harapan di telinga Vittoria yang tengah sekarat. Ia menyamar se­bagai dokter Palang Me­rah Internasio­nal, berjalan kaki di gurun pasir, atau me­nunggang unta agar bisa bertemu Vit­toria. Ia menolak ucap­an ”tak ada harapan” dari seorang dokter. Tak ada yang tak mungkin ba­gi Attilio. Dan hidup, ­ba­gi sang penya­ir, tak pernah benar-benar bisa dipa­damkan.

Ia menemui siapa saja penduduk Bag­dad yang bisa membuat ramuan obat-obatan untuk membantu Vittoria,­ membeli tabung oksigen dari para pen­jarah perang kendati oksigen hanya cukup untuk beberapa saat, dan mencari kantong infus hingga ke luar Kota Bagdad. Ia juga terus menghibur de­ngan benda-benda apa adanya yang ada di samping pembaringan Vittoria, pun dengan puisi-puisi yang menderas dari mulutnya.

The Tiger and the Snow yang mene­lan biaya US$ 35 juta adalah sebuah drama komedi yang punya daya se­ngat yang sama dengan Life is Beautiful. Menggugah sekalipun pahit. Lucu sekalipun pedih. Hanya, film dalam ba­hasa asli Italia ini tampak seperti sebuah repetisi dari tema yang sama dalam Life is Beautiful yang telah ­meraup untung US$ 224 juta.

Sutradara 54 tahun asal Italia ini terhitung berhasil menggarap komedi getir tentang perang ketimbang film-film komedi biasa yang pernah ia garap, seperti Pinocchio (2002), Il Mostro (1994), dan Johny Toothpick (1991) yang jeblok di pasar. Lewat The Tiger and the Snow dan Life is Beautiful, Be­nigni juga bisa leluasa menunjukkan ”sikap politiknya” terhadap perang.

Lewat sosok Attilio sang penyair itu, Benigni seperti hendak berkata, ”Bagaimanapun hidup tak pernah bisa dikalahkan oleh perang.”

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus