Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ahli ITB Jelaskan Penyebab Longsor Mematikan di Cipongkor Bandung Barat

Faktor utama pemicu longsor adalah curah hujan yang lebat.

27 Maret 2024 | 14.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas membawa anjing pelacak mencari warga yang hilang saat tanah longsor dari puncak bukit mengubur 10 rumah dan lebih dari 30 rumah terdampak di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 25 Maret 2024. Sementara ini 9 orang dinyatakan masih hilang, lebih dari 30 rumah tertimbun longsor, serta lebih dari 300 jiwa mengungsi di kantor desa dan sekolah. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Banjir bandang dan longsor di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, pada Ahad malam, 24 Maret 2024, merenggut korban jiwa. Ahli tanah longsor dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Imam Achmad Sadisun mengatakan faktor utama pemicu longsor adalah curah hujan yang lebat. “Kalau hujan ringan hingga sedang umumnya tidak menyebabkan longsor,” ujarnya lewat keterangan tertulis, Rabu 27 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Longsor yang terjadi di Kampung Gintung RT 03 RW 04, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, menurut Imam, merupakan longsoran aliran bahan rombakan (debris flow). Material longsorannya berupa tanah, fragmen batuan, juga pepohonan yang terbawa oleh air dan menimpa rumah-rumah warga. Mekanisme longsor berbeda dengan peristiwa longsor sebelumnya di Kampung Cigombong, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, beberapa waktu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejadian longsor itu membuat sepuluh orang warga menghilang. Hingga Selasa, 26 Maret 2024,menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat, sebanyak empat orang warga yang dilaporkan hilang ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Petugas dan masyarakat masih terus melakukan pencarian korban.

Hampir semua bencana, termasuk longsor, menurut Imam, memiliki tanda-tanda awal kejadian. Gejalanya bisa terlihat pada tiga bagian utama dari suatu lereng, yakni bagian kepala, tubuh, dan kaki. Gejala di bagian kepala lereng umumnya ditandai oleh retakan-retakan memanjang pada tanah, yang umumnya melengkung untuk jenis longsoran nendetan (slump).

Sementara pada bagian badan lereng ditandai dengan pepohonan atau tiang-tiang listrik yang mulai miring karena adanya pengaruh pergerakan awal longsoran. Adapun di bagian kaki lereng umumnya muncul sembulan tanah (bulging) dan munculnya mata air. “Bagian ini menahan gaya yang dihasilkan dari pergerakan mulai bagian kepala dan badan lereng,” ujar Imam.

Secara umum, metode mitigasi dapat dilakukan secara struktural maupun nonstruktural. Konsep mendasar dalam upaya mitigasi struktural dilakukan dengan dua cara, yaitu pengurangan gaya-gaya yang menyebabkan longsoran. Kemudian peningkatan gaya-gaya yang dapat mencegah longsor. “Cara kedua ini membuat material pembentuk lereng semakin kuat,” kata dia.

Sementara itu, perbaikan kestabilan lereng secara struktural, menurutnya, bisa dengan melandaikan lereng, perbaikan saluran atau drainase, memperkuat material pembentuk lereng, dan membangun struktur penyangga.

Untuk longsoran aliran bahan rombakan, mitigasi struktural dapat dilakukan dengan metode perlindungan terhadap bahaya aliran bahan rombakan, seperti dengan membangun dinding pengelak (deflection wall), pagar pemecah aliran (debris fences), dan cekungan penampung aliran (debris flow catch basins).

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus