Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Air Kita Makin Berkurang

Dengan adanya pertambahan penduduk & perkembangan industri, akan menambah kesulitan orang dalam memperoleh air. dalam konperensi ke-ii asia-amerika di jakarta tentang perlindungan lingkungan masalah air. (ling)

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM permulaan musim kemarau sumur penduduk di Kabupaten Gunung Kidul dekat Yogyakarta masih mengandung air, meski terkadang pada kedalaman 30 m. Tapi makin lanjut musim kemarau itu, bertambah kering sumur itu dan akhirnya air itu pun lenyap. Terpaksa penduduk wilayah itu bersusah payah mencari sumber air sampai berkilometer jauh jaraknya. Ketika musim hujan, air turun dengan derasnya, tapi mengalir dari permukaan bukit dan batu karang, menghanyutkan tanah subur ke laut. Karena tak cukup lagi tersedia pohon-pohonan yang berguna untuk menahan dan menyerap air, agar melepaskannya sedikit demi sedikit di kala hujan tidak turun di musim kemarau. Hal ini bukan hanya di Gunung Kidul, tapi berlaku juga di banyak daerah Indonesia lainnya, terutama sebagai akibat makin meluasnya pembabatan hutan. Pertambahan penduduk, peningkatan kebutuhan pangan dan perkembangan industri -- semua itu menambah kesulitan orang Indonesia memperoleh air. Para ahli sedunia sudah sering membantu membahas persoalan ini dalam berbagai seminar (lihat Ada Air Sesudah Seminar). Dua pekan lalu di Jakarta, misalnya konperensi ke-2 Asia-Amerika tentang perlindungan lingkungan membahas lagi masalah air secara serius. Ini adalah lanjutan konperensi di Sapporo, Jepang, pada tahun 1978. Tema konperensi sekali ini sangat relevan dengan keadaan Indonesia, pada saat masalah air merupakan prioritas dalam Repelita III untuk ditanggulangi. Di Pulau Jawa sasaran utama adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo yang memang sangat parah keadaannya. Juga DAS Brantas dan DAS Cimanuk di samping puluhan DAS lain di seluruh Indonesia menjadi persoalan. Menyambut hari lingkungan tahw 1980, Menteri Negara PPLH, Emil Salim, pernah menyatakan bahwa penyediaan air cenderung semakin langka, pemerataannya semakin timpang dan mutunya semakin turun. Banyak kegiatan manusia, selain menghabiskan persediaan air yang ada, menghasilkan bahan buangan, yang umumnya masuk ke dalam perairan tanpa pengolahan lebih dulu, hingga terjadi pencemaran. Kasus pencemaran yang disebabkan buangan industri dan penduduk terutama memprihatinkan di daerah Jabotabek dengan aliran sungai Cisadane, Ciliwung, sungai Citarum di Bandung. Kali Carang di Semarang, Kali Code di Yogyakarta dan Kali Surabaya di Surabaya. Konperensi itu berkesimpulan bahwa memang pengendalikan sumber air merupakan kebutuhan paling mendesak di dunia dewasa ini. Juga dianggapnya pencemaran air suatu problem paling gawat. Meski di kebanyakan negara sudah terdapat berbagai bentuk undang-undang pelestarian dan perlindungan sumber air, pelaksanaan dan penerapannya masih jauh dari memuaskan. Pemakaian air di Indonesia tahun 2000 diperkirakan meningkat hampir 3 kali hingga menjadi 165 milyar m3 setahun. Dengan jumlah penduduk waktu itu yang diperkirakan sebanyak 210 juta, ini menjadi 785 m3 per kapita setahun. Di antaranya hampir 94% terpakai untuk keperluan irigasi dan pertanian, dan hanya 0,5% untuk industri. Sisanya 5,5% untuk pemakaian domestik, yang berarti hanya 42 m3 per kapita setahun, atau 115 liter per kapita dalam satu hari. Tapi angka itu belum tentu tersedia merata. Sebagai perbandingan tersedia untuk pemakaian domestik di negeri maju 180-400 liter sehari per orang. Lenyap Ke Laut Menurut perhitungan, tahun 1976, angka rata-rata persediaan air di Indonesia dalam setahun hampir 19.000 m3 per kapita. Untuk tahun 2000 angka ini diperkirakan berkurang menjadi sekitar 11.000 m3 per kapita. Tapi dari jumlah ini hanya sekitar 25-35% atau 2.691 m3 per kapita setahun yang bisa dimanfaatkan Selebihnya, antara lain aliran tidak tetap dalam bentuk banjir, lenyap ke laut. Namun jumlah terbatas itu mungkin mencukupi untuk memenuhi pemakaian rata-rata tahun 2000 yang diperkirakan sebanyak 785 m3 per kapita setahun. Tapi bila perhitungan ini diterapkan pada kondisi di Pulau Jawa, masalahnya menjadi lain. Persediaan air di Pulau Jawa tahun 2000 diperkirakan hanya sebesar 436 m3 per kapita dalam satu tahun Ini hanya bisa memenuhi 55% dari perkiraan rata-rata Indonesia sebesar 785 m3 itu. Hal ini untuk daerah seperti Madura, Bali dan Nusa Tenggara tidak banyak berbeda. Semua angka itu mencanangkan keadaan kritis. Tapi menjelang tahun 2000, kini di berbagai daerah Indonesia orang sudah merana. Di Bali berpuluh hektar tanaman padi rusak akibat langka air. Di daerah Pati, Jawa Tengah, air PAM sudah dijual dengan harga Rp 150-200 per pikul. Dan air yang berasal dari jomblang (penampungan air hujan) dikhawatirkan tak akan mencukupi bila musim kemarau masih berlanjut di sana. Daerah Probolinggo dan Lumajang, Jawa Timur, mengalami juga kesulitan persediaan air. Sebagian penduduk terpaksa menempuh jarak 5 sampai 10 km untuk mendapatkan air. Bahkan sudah ada bisnis pengiriman air dengan tanki kereta api untuk dijual kepada penduduk. Memang tidak mengherankan. Air itu sumber kehidupan utama. Tanpa air tidak ada kehidupan. Tigaperempat tUbuh manusia terdiri dari air. Bila dalam satu hari saja ia kehilangan 2 liter akibatnya sudah cukup parah. Bahkan kehilangan 4 liter sudah bisa mengakibatkan kematian. Konsumsi air seseorang dalam satu hari karenanya di daerah tropis bisa mencapai 4 sampai 5 liter untuk menggantikan cairan yang terbuang melalui kencing dan keringat. Di Gunung Kidul, bila sumur dan jomblang sudah mulai kering, penduduk mencari air ke tempat yang jauh dan sukar ditempuh. Salah satu sumber airnya terdapat di perbatasan Kecamatan Semanu dan Ponjong, di Gua Bribin. Dalam gua itu -- hampir 400 m dari mulutnya dan puluhan meter menurun ke bawah -- terdapat sebuah sungai bawah tanah. Penduduk desa terdekat, Desa Dayaan menempuh jarak 1,5 km ke mulut gua itu. Tapi penduduk berbagai desa lain sekitarnya terpaksa menempuh jarak sampai 10 km. UNICEF, suatu badan PBB, telah membantu membangun suatu sistem pipa dan pompa yang menyedot air sungai dari gua itu dan dimasukkan ke dalam menara. Penderitaan penduduk setempat berkurang dengan adanya pompa air itu. Tapi proyek pipa dan pompa air masih sedikit menjangkau penduduk Indonesia, baik di pedesaan maupun perkotaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus