DALAM permulaan musim kemarau sumur penduduk di Kabupaten
Gunung Kidul dekat Yogyakarta masih mengandung air, meski
terkadang pada kedalaman 30 m. Tapi makin lanjut musim kemarau
itu, bertambah kering sumur itu dan akhirnya air itu pun lenyap.
Terpaksa penduduk wilayah itu bersusah payah mencari sumber air
sampai berkilometer jauh jaraknya.
Ketika musim hujan, air turun dengan derasnya, tapi mengalir
dari permukaan bukit dan batu karang, menghanyutkan tanah subur
ke laut. Karena tak cukup lagi tersedia pohon-pohonan yang
berguna untuk menahan dan menyerap air, agar melepaskannya
sedikit demi sedikit di kala hujan tidak turun di musim kemarau.
Hal ini bukan hanya di Gunung Kidul, tapi berlaku juga di banyak
daerah Indonesia lainnya, terutama sebagai akibat makin
meluasnya pembabatan hutan.
Pertambahan penduduk, peningkatan kebutuhan pangan dan
perkembangan industri -- semua itu menambah kesulitan orang
Indonesia memperoleh air. Para ahli sedunia sudah sering
membantu membahas persoalan ini dalam berbagai seminar (lihat
Ada Air Sesudah Seminar). Dua pekan lalu di Jakarta, misalnya
konperensi ke-2 Asia-Amerika tentang perlindungan lingkungan
membahas lagi masalah air secara serius. Ini adalah lanjutan
konperensi di Sapporo, Jepang, pada tahun 1978. Tema konperensi
sekali ini sangat relevan dengan keadaan Indonesia, pada saat
masalah air merupakan prioritas dalam Repelita III untuk
ditanggulangi.
Di Pulau Jawa sasaran utama adalah Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bengawan Solo yang memang sangat parah keadaannya. Juga DAS
Brantas dan DAS Cimanuk di samping puluhan DAS lain di seluruh
Indonesia menjadi persoalan.
Menyambut hari lingkungan tahw 1980, Menteri Negara PPLH, Emil
Salim, pernah menyatakan bahwa penyediaan air cenderung semakin
langka, pemerataannya semakin timpang dan mutunya semakin turun.
Banyak kegiatan manusia, selain menghabiskan persediaan air yang
ada, menghasilkan bahan buangan, yang umumnya masuk ke dalam
perairan tanpa pengolahan lebih dulu, hingga terjadi pencemaran.
Kasus pencemaran yang disebabkan buangan industri dan penduduk
terutama memprihatinkan di daerah Jabotabek dengan aliran sungai
Cisadane, Ciliwung, sungai Citarum di Bandung. Kali Carang
di Semarang, Kali Code di Yogyakarta dan Kali Surabaya di
Surabaya.
Konperensi itu berkesimpulan bahwa memang pengendalikan sumber
air merupakan kebutuhan paling mendesak di dunia dewasa ini.
Juga dianggapnya pencemaran air suatu problem paling gawat.
Meski di kebanyakan negara sudah terdapat berbagai bentuk
undang-undang pelestarian dan perlindungan sumber air,
pelaksanaan dan penerapannya masih jauh dari memuaskan.
Pemakaian air di Indonesia tahun 2000 diperkirakan meningkat
hampir 3 kali hingga menjadi 165 milyar m3 setahun. Dengan
jumlah penduduk waktu itu yang diperkirakan sebanyak 210 juta,
ini menjadi 785 m3 per kapita setahun. Di antaranya hampir 94%
terpakai untuk keperluan irigasi dan pertanian, dan hanya 0,5%
untuk industri. Sisanya 5,5% untuk pemakaian domestik, yang
berarti hanya 42 m3 per kapita setahun, atau 115 liter per
kapita dalam satu hari. Tapi angka itu belum tentu tersedia
merata. Sebagai perbandingan tersedia untuk pemakaian domestik
di negeri maju 180-400 liter sehari per orang.
Lenyap Ke Laut
Menurut perhitungan, tahun 1976, angka rata-rata persediaan air
di Indonesia dalam setahun hampir 19.000 m3 per kapita. Untuk
tahun 2000 angka ini diperkirakan berkurang menjadi sekitar
11.000 m3 per kapita. Tapi dari jumlah ini hanya sekitar 25-35%
atau 2.691 m3 per kapita setahun yang bisa dimanfaatkan
Selebihnya, antara lain aliran tidak tetap dalam bentuk banjir,
lenyap ke laut. Namun jumlah terbatas itu mungkin mencukupi
untuk memenuhi pemakaian rata-rata tahun 2000 yang diperkirakan
sebanyak 785 m3 per kapita setahun.
Tapi bila perhitungan ini diterapkan pada kondisi di Pulau Jawa,
masalahnya menjadi lain. Persediaan air di Pulau Jawa tahun 2000
diperkirakan hanya sebesar 436 m3 per kapita dalam satu tahun
Ini hanya bisa memenuhi 55% dari perkiraan rata-rata Indonesia
sebesar 785 m3 itu. Hal ini untuk daerah seperti Madura, Bali
dan Nusa Tenggara tidak banyak berbeda.
Semua angka itu mencanangkan keadaan kritis. Tapi menjelang
tahun 2000, kini di berbagai daerah Indonesia orang sudah
merana. Di Bali berpuluh hektar tanaman padi rusak akibat langka
air. Di daerah Pati, Jawa Tengah, air PAM sudah dijual dengan
harga Rp 150-200 per pikul. Dan air yang berasal dari jomblang
(penampungan air hujan) dikhawatirkan tak akan mencukupi bila
musim kemarau masih berlanjut di sana.
Daerah Probolinggo dan Lumajang, Jawa Timur, mengalami juga
kesulitan persediaan air. Sebagian penduduk terpaksa menempuh
jarak 5 sampai 10 km untuk mendapatkan air. Bahkan sudah ada
bisnis pengiriman air dengan tanki kereta api untuk dijual
kepada penduduk.
Memang tidak mengherankan. Air itu sumber kehidupan utama. Tanpa
air tidak ada kehidupan. Tigaperempat tUbuh manusia terdiri dari
air. Bila dalam satu hari saja ia kehilangan 2 liter akibatnya
sudah cukup parah. Bahkan kehilangan 4 liter sudah bisa
mengakibatkan kematian. Konsumsi air seseorang dalam satu hari
karenanya di daerah tropis bisa mencapai 4 sampai 5 liter untuk
menggantikan cairan yang terbuang melalui kencing dan keringat.
Di Gunung Kidul, bila sumur dan jomblang sudah mulai kering,
penduduk mencari air ke tempat yang jauh dan sukar ditempuh.
Salah satu sumber airnya terdapat di perbatasan Kecamatan
Semanu dan Ponjong, di Gua Bribin. Dalam gua itu -- hampir 400
m dari mulutnya dan puluhan meter menurun ke bawah -- terdapat
sebuah sungai bawah tanah. Penduduk desa terdekat, Desa Dayaan
menempuh jarak 1,5 km ke mulut gua itu. Tapi penduduk berbagai
desa lain sekitarnya terpaksa menempuh jarak sampai 10 km.
UNICEF, suatu badan PBB, telah membantu membangun suatu sistem
pipa dan pompa yang menyedot air sungai dari gua itu dan
dimasukkan ke dalam menara. Penderitaan penduduk setempat
berkurang dengan adanya pompa air itu. Tapi proyek pipa dan
pompa air masih sedikit menjangkau penduduk Indonesia, baik di
pedesaan maupun perkotaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini