Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Reichel yang tak biasa reichel yang tak biasa

Gitaris jazz dari jerman barat, hans reichel mengadakan pagelaran di teater tertutup di tim. (ms)

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GITARIS jazz Hans Reichel terkadang memang aneh. Suatu saat ia bisa saja tak tahu yang dimainkannya Jazz atau bukan: begitu saja ia mengumbar dorongan liar untuk memetik gitarnya, mengalunkan musik entah apa. Itulah yang terjadi di Teater Tertutup TIM, Jumat malam pekan lalu. Satu jam lebih, petikan gitarnya sepenuhnya hanya terasa sebagai suara gitar listrik yang digarap tangan terampil -- sama sekali tak terdengar melodi. Si Jerman berusia 31 tahun itu mula-mula melemparkan suara-suara mirip suara samisen (alat musik petik khas Jepang). Ada sepi di situ, satu per satu terlempar memenuhi ruangan. Dan sebelum komposisi pertama ini dirasa lengkap betul, tiba-tiba usai begitu saja. Itu, menurut sejumlah pengamat musik Eropa, memang kegemaran si Reichel. Komposisi-komposisi yang seperti tak selesai itu, yang di sana disebut seni minimal (minimal art) strukturnya sering kali dimanfaatkannya. Iebas, terbuka untuk segala Icemungkinan, dan wajar-wajar saja. Artinya, memang sulit untuk menyebut nada-nada yang dilemparkan gitar Reichel sebagai istimewa. Dan kewajaran itulah agaknya yang mengundang simpati bagi Reichel. Meski ia menggunakan gitar listrik yang sesekali mengeluarkan suara dengung, sesekali ada nada menggebrak, jauh dari suara bising musik elektronik. Betapa pun, pemetik gitar dari negara industri ini menyuguhkan komposisi yang lebih berasosiasi kepada alam daripada satu dunia mesin-mesin. Bukan Yang Biasa Dalam komposisinya yang terakhir malam itu ada terdengar semacam doa. Ada suara sengau gitar India. Ada kegelisahan yang ditampilkan lewat suara yang mirip suara genta bertalu-talu. Dan kemudian, dengung yang panjang itu yang bisa tampil berkat gitar bikinan Reichel sendiri -- lebih memberi asosiasi kepada alam yang kosong daripada, misalnya, suara sirene mobil ambulans. Dan herannya ia tak mengaku dipengaruhi musik tradisi Jepang dan India. "Saya belajar black music" -- musik orang-orang negro. Di panggung ia tampil dengan santai, bahkan ada kesan dia ini pemalu. Ia agak heran atas reaksi penonton Jakarta. Teater Tertutup yang dipenuhi penonton malam itu, terkadang memperdengarkan suara tawa. "Saya heran, mereka merasa lucu dengan musik saya," katanya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. Mungkin dia tak menyadari, bukan musiknya yang lucu, tapi cara dia main. Tak sesederhana musik yang disuguhkan, juga tak sesederhana penampilannya di panggung -- hanya dengan kemeja pendek, celana putih sudah agak kumal -- adalah permainannya. Seringkali yang dipetik bukan di bagian yang biasanya dipetik, tapi di bagian yang lain. Dan yang membuat orang tertawa adalah ketika Reichel memetik senar di atas bagian yang ditekan. Ini memang upaya mencari suara yang lain, agaknya. Dan karena itu pula ia mendapat nama sebagai salah seorang pemetik gitar orisinal di Eropa. Toh, si Hans Reichel agak kecewa di Jakarta. "Penonton di Bandung reaksinya cepat. Mereka bersiul-siul," ceritanya. (Sebelum bermain di Jakarta terlebih dulu ia manggung di Surabaya, lalu Bandung). Rupanya dia berharap pergelaran resitalnya ditonton orang dengan sikap santai -- seperti nonton wayang kulit. Tak hanya pemain yang boleh berekspresi, tapi respon penonton pun diharap -- dan itu baginya punya nilai tersendiri. Ia mendapat nama sejak tahun 1974 -- memenangkan hadiah dari satu lembaga kesenian di Munster. Dan akhir tahun lalu, ia ikut ambil bagian dalam festival musik Amerika-Eropa di New York. Sambutan para pengamat musik di sana, membuat nama Hans Reichel makin menanjak. Reichel pernah menjadi buruh kasar, karyawan percetakan, pelukis dan pengatur interior ruang pameran. Hidupnya barangkali tak mudah. Meski telah sempat merekam permainannya dalam 5 piringan hitam, salah satu alasan mengapa ia membuat gitar sendiri, karena "biayanya murah, hanya AS$ 100 " -- kurang dari Rp 65 ribu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus