GITARIS jazz Hans Reichel terkadang memang aneh. Suatu saat ia
bisa saja tak tahu yang dimainkannya Jazz atau bukan: begitu
saja ia mengumbar dorongan liar untuk memetik gitarnya,
mengalunkan musik entah apa.
Itulah yang terjadi di Teater Tertutup TIM, Jumat malam pekan
lalu. Satu jam lebih, petikan gitarnya sepenuhnya hanya terasa
sebagai suara gitar listrik yang digarap tangan terampil -- sama
sekali tak terdengar melodi.
Si Jerman berusia 31 tahun itu mula-mula melemparkan suara-suara
mirip suara samisen (alat musik petik khas Jepang). Ada sepi di
situ, satu per satu terlempar memenuhi ruangan. Dan sebelum
komposisi pertama ini dirasa lengkap betul, tiba-tiba usai
begitu saja.
Itu, menurut sejumlah pengamat musik Eropa, memang kegemaran si
Reichel. Komposisi-komposisi yang seperti tak selesai itu, yang
di sana disebut seni minimal (minimal art) strukturnya sering
kali dimanfaatkannya. Iebas, terbuka untuk segala Icemungkinan,
dan wajar-wajar saja. Artinya, memang sulit untuk menyebut
nada-nada yang dilemparkan gitar Reichel sebagai istimewa.
Dan kewajaran itulah agaknya yang mengundang simpati bagi
Reichel. Meski ia menggunakan gitar listrik yang sesekali
mengeluarkan suara dengung, sesekali ada nada menggebrak, jauh
dari suara bising musik elektronik. Betapa pun, pemetik gitar
dari negara industri ini menyuguhkan komposisi yang lebih
berasosiasi kepada alam daripada satu dunia mesin-mesin.
Bukan Yang Biasa
Dalam komposisinya yang terakhir malam itu ada terdengar semacam
doa. Ada suara sengau gitar India. Ada kegelisahan yang
ditampilkan lewat suara yang mirip suara genta bertalu-talu. Dan
kemudian, dengung yang panjang itu yang bisa tampil berkat gitar
bikinan Reichel sendiri -- lebih memberi asosiasi kepada alam
yang kosong daripada, misalnya, suara sirene mobil ambulans. Dan
herannya ia tak mengaku dipengaruhi musik tradisi Jepang dan
India. "Saya belajar black music" -- musik orang-orang negro.
Di panggung ia tampil dengan santai, bahkan ada kesan dia ini
pemalu. Ia agak heran atas reaksi penonton Jakarta. Teater
Tertutup yang dipenuhi penonton malam itu, terkadang
memperdengarkan suara tawa. "Saya heran, mereka merasa lucu
dengan musik saya," katanya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO.
Mungkin dia tak menyadari, bukan musiknya yang lucu, tapi cara
dia main. Tak sesederhana musik yang disuguhkan, juga tak
sesederhana penampilannya di panggung -- hanya dengan kemeja
pendek, celana putih sudah agak kumal -- adalah permainannya.
Seringkali yang dipetik bukan di bagian yang biasanya dipetik,
tapi di bagian yang lain. Dan yang membuat orang tertawa adalah
ketika Reichel memetik senar di atas bagian yang ditekan. Ini
memang upaya mencari suara yang lain, agaknya. Dan karena itu
pula ia mendapat nama sebagai salah seorang pemetik gitar
orisinal di Eropa.
Toh, si Hans Reichel agak kecewa di Jakarta. "Penonton di
Bandung reaksinya cepat. Mereka bersiul-siul," ceritanya.
(Sebelum bermain di Jakarta terlebih dulu ia manggung di
Surabaya, lalu Bandung). Rupanya dia berharap pergelaran
resitalnya ditonton orang dengan sikap santai -- seperti nonton
wayang kulit. Tak hanya pemain yang boleh berekspresi, tapi
respon penonton pun diharap -- dan itu baginya punya nilai
tersendiri.
Ia mendapat nama sejak tahun 1974 -- memenangkan hadiah dari
satu lembaga kesenian di Munster. Dan akhir tahun lalu, ia ikut
ambil bagian dalam festival musik Amerika-Eropa di New York.
Sambutan para pengamat musik di sana, membuat nama Hans Reichel
makin menanjak.
Reichel pernah menjadi buruh kasar, karyawan percetakan, pelukis
dan pengatur interior ruang pameran. Hidupnya barangkali tak
mudah. Meski telah sempat merekam permainannya dalam 5 piringan
hitam, salah satu alasan mengapa ia membuat gitar sendiri,
karena "biayanya murah, hanya AS$ 100 " -- kurang dari Rp 65
ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini