DR. Achmad Yoenoes, 51 tahum Dekan Fakultas Ilmu Pasti dan
Pengetahuan Alam (FIPPA) Universitas Padjadjaran, Bandung,
tidak setuju bila dikatakan bahwa minat mempelajari ilmu-ilmu
murni kurang. "Dulu kita belum sadar peranan sarjana ilmu murni
-- seperti biologi, kimia, astronomi, matematika -- lantaran
dulu kita belum mengatakan pembangunan seperti sekarang ini,"
ujarnya.
Tetapi, lanjut Yoenoes, "kini pembangunan kita menggebu,
permintaan akan tenaga peneliti dan sarjana-sarjana berhagai
bidang keilmuan naik drastis." Ia menunjuk data-data dari
fakultasnya, bagaimana lonjakan jumlah mahasiswa dari tahun ke
tahun. "Dari sekitar 100 orang pada empat tahun lalu, kini su
dah mencapai 1.600, malahan hampir 2.000 orang mahasiswa. Yang
paling laris biologi, geologi dan statistik," katanya.
Doktor biologi lulusan Jerman ini mengungkapkan juga bahwa
fakultasnya sudah kewalahan menerima pesanan-pesanan dari
berbagai perusahaan swasta. Bahkan sampai terjadi semacam ijon
dalam menyalurkan sarjana lulusan FIPPA Unpad. Mahasiswa masih
belum lulus, tapi tenaganya sudah dicarter.
"Memang sarjana ilmu murni ini ibarat pelaku di belakang layar.
Ia menentukan, tapi tidak populer di masyarakat," kata Dr.
Yoenoes. Karena itu sarjana yang dicetak fakultasnya memang
kurang populer dibandingkan dengan sarjana-sarjana ilmu sosial.
Ilmu murni atau ilmu dasar atau "sains", kata Prof. Dr.
Pringgodigdo, ahli kimia di ITB, sejak zaman kolonial tidak
dikembangkan di negeri ini. "Kita tidak punya histori tentang
itu, sehingga lemah di bidang industri," ujarnya.
Tempe Bongkrek
Menurut pengamatan Pringgodigdo, perkembangan sains di Indonesia
sudah membaik, meskipun masih jauh dari memadai dapat dimaklumi.
Karena industri belum maju sehingga masa depan sarjana ilmu
murni dirasa masih suram. "Dewasa ini pangan lebih perlu, agar
rakyat bisa hidup. Padat karya juga masih diutamakan, artinya
tidak mekanisasi," kata professor yang berusia 56 tahun itu.
Guru besar lulusan FIPPA UI pada 1954 ini merenggut gelar
doktor di Negeri Belanda Kemudian ia riset 3 tahun di
University of Kentucky, Amerika. Di akuinya bahwa namanya lebih
tersohor di luar negeri timbang dalam negeri. Tahun 1978 ia
mendapat piagam sebagai peneliti terbaik dari ITB, sedangkan
istrinya beberapa tahun lebih dulu mendapat piagam yang sama.
Pada 1979 beserta istrinya ia tercantum sebagai penemu obat anti
racun tempe bongkrek. Penemuan ini diumumkannya dalam forum XIth
International Congres of Biochemistry di Toronto, Kanada. Obat
itu disuntikkan kepada penderita yang telah keracunan karena
makan tempe tadi.
Sebagai profesor ilmu murni ia mengaku tidak merasakan duka,
selalu suka. Ia tidak memiliki anak, tapi banyak keponakan yang
diurusnya. "Jadi kalau saya bilang miskin, mungkin ditertawakan
orang, padahal tanggungan saya banyak," katanya. Ia tak mau
menyebut penghasilannya sebagai sarjana ilmu dasar.
"Ilmu dasar cukup populer di Indonesia," katanya membantah
anggapan beberapa orang yang mengatakan ilmu itu kurang populer.
Namun diakuinya Indonesia masih kalah dibandingkan dengan
Singapura, Malaysia dalam bidang sains dan teknologi. Tapi
akhir-akhir ini sudah banyak pemuda Indonesia yang punya bakat
dan berderajat internasional, katanya.
Di samping mengajar di ITB, ia juga menjadi pembimbing program
Pasca Sarjana di Unpad dan UGM. Jadi adviser di Badan Tenaga
Atom. Juga bertugas di bagian penelitian Universitas Groningen
(Holland) dan Kyoto University, Jepang.
Dosen fisika ITB, Dr. Pantur Silaban, 42 tahun, satu-satunya
sarjana fisika yang memperdalam teori relativitas dan teori
quantum di Indonesia. Menurut Silaban dibandingkan dengan
sarjana teknik, sarjana ilmu dasar paling miskin. "Kami hanya
meneliti teori-teori dan filsafat, mana ada orang yang mau
membeli hasil penelitian kami -- seperti misalnya hasil
penelitian cara mencampur aspal," ujarnya. Ruang gerak sarjana
ilmu dasar kata Silaban, juga tidak terlalu luas, terbatas di
perguruan tinggi. Tidak bisa misalnya nyelonong ke PLN atau ke
PJKA. Sedang gaji sebagai dosen, "untuk membeli buku saja harus
perang dulu dengan istri."
Rp 475 Sebulan
Ia kemudian memberi contoh, sebuah buku fisika di Indonesia
paling murah berharga Rp 50 ribu. Sedang gajinya sebagai dosen
hanya Rp 130 ribu. Di rumahnya memang banyak buku -- dibelinya
ketika ia dulu belajar di Amerika. "Memang aneh, ketika belajar
saya mampu membeli buku, tapi sekarang setelah bekerja di sini,
kalau tidak dipaksakan, barangkali sebulan tidak bisa beli
buku," keluhnya.
Penghargaan yang kurang tidak hanya diterimanya dari masyarakat
awam. juga dari sebuah perguruan tinggi di Bandung. Ia pernah
diminta memberi kuliah, tetapi honor diterimanya enam bulan
kemudian. "Hitung-hitung setiap bulan saya cuma menerima Rp
475," ujarnya dengan sedih. Sejak itu ia tak mau lagi mengajar
di perguruan itu.
Kendati ada keluhan, tugas sebagai peneliti tidak pernah
diabaikan Silaban "Ini adalah panggilan jiwa saya, ada atau
tidak ada uangnya," ujarnya. Ia hanya merisaukan apabila hasil
penelitiannya itu tidak ada yang menyalurkan. Akibatnya orang
tidak mengetahui apa hasilnya. "Bila sampai pada keadaan itu,
rasanya saya pingin jadi konsultan rubrik fisika saja di suatu
massa media yang memerlukan," katanya.
Kebanggaan seorang peneliti, bagi Dr. Sutarjo Brotonegoro,
seorang peneliti di Pusat Penelitian Botani Lembaga Biologi
Nasional (LBN) Bogor, adalah bila hasil penelitiannya dikutip
oleh kalangan ilmuwan internasional. Sutarjo yang mempunyai
keahlian di bidang mikrobiologi tanah meraih gelar doktor dengan
menampilkan hasil penelitiannya tentang azoto bakteri. Dengan
penelitian itu ia berhasil membuktikan bahwa dalam keadaan
hidup, azoto bakteri dapat menghasilan H2 -- dan tidak
sebaliknya seperti tercantum dalam textbook sebelumnya. "Sejak
itu nama saya sering disitir peneliti internasional," kata
Sutarjo, 45 tahun.
Peneliti kelahiran Yogyakarta ini memang melihat hanya sedikit
saja pemuda kita yang menjadi peneliti secara sungguh-sungguh.
"Ya, hanya 10% saja dari peneliti-peneliti muda yang punya
idealisme sebagai peneliti," ujarnya. Ia mengakui sebabnya,
"penghasilan memang tidak menggiurkan" -- meskipun di samping
gaji, para peneliti masih menerima tunjangan sebagai peneliti.
Sebagai peneliti senior Sutarjo mendapat tunjangan peneliti Rp
60.000 tiap bulan. Ditambah gajinya sebagai pegawai negeri
golongan III D dan pendapatan dari berbagai proyek penelitian
lain sebulan ia berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 200.000.
"Kalau seorang peneliti bisa kaya, itu tentu karena kebetulan
--atau karena orangnya sangat lihai," tambah Sutarjo.
Kekurangan alat dan bahan serta penelitian yang berakhir dengan
kegagalan, adalah sebagian dari duka yang lazim dialami para
peneliti. "Tapi kalau berhasil dan dipublikasikan, si peneliti
akan diundang ke berbagai pertemuan ilmiah di luar negeri,"
Sutarjo bertutur. Ia misalnya pernah gagal melakukan penelitian:
bagaimana menaikkan protein tape dengan menambah amonium sulfat.
"Setelah dicoba, proteinnya memang baik, tapi tape jadi berbau
tak sedap," katanya.
Peneliti yang senang puisi ini -- "karena puisi dan hasil
penelitian sama-sama hasil kristalisasi," katanya -- kini
bersama stafnya sedang menguji kebenaran teori bahwa hutan
tropika mengandung humus tipis karena pembusukan yang cepat.
"Tapi teori ini tanpa data yang cukup," katanya. Karena itu
bersama beberapa peneliti muda sejak setahun lalu mereka
meneliti hutan-hutan di Kalimantan Timur.
Kalau penelitian dipandang sebagai pekerjaan, akan membosankan
dan tak menarik. Karenanya harus dirasakan sebagai hobi. Itu
kata Dr. M. Ridwan, ahli kimia nuklir dari Pusat Aplikasi Isotop
& Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) di Jakarta. Apalagi
di laboratoriumnya, Ridwan selalu bergelut dengan ancaman
radiasi yang dapat mengundang bahaya kanker.
Bersedia Dari Jauh
Bagi Ridwan kesenangan seorang peneliti adalah bila hasil
penelitiannya dipakai oleh masyarakat. Ia mengungkapkan
penelitian yang akhir-akhir ini banyak dilakukan di Batan
bagaimana menggunakan radiasi untuk meningkatkan hasil industri.
Misalnya untuk memperbaiki produk-produk lateks, karet dan kayu
"Dan sekarang hampir 40 perusahaan telah memakai teknik radiasi
untuk menguji hasil las, cor dan produk metalurgi lainnya," kata
Ridwan.
Peneliti kelahiran Madura ini bercerita tentang kunjungan Komisi
X DPR belum lama ini ke laboratoriumnya. "Kami ajak mereka
melihat-lihat ruangan persediaan bahan," tuturnya, "tapi para
anggota yang terhormat itu hanya bersedia melihat dari jauh,
karena takut bahaya radiasi." Jadi, berbahayakah kerja di situ?
"Semuanya sudah kami perhitungkan," jawab Ridwan dengan senyum,
"buangan zat kami jaga baik-baik, bahkan ruang laboratorium
mengalami pergantian udara 20 kali tiap jam."
Meskipun ia tak begitu mengeluh soal penghasilannya tiap bulan,
Ridwan agaknya mulai mengkhawatirkan masa pensiunnya kelak.
"Peneliti yang sungguhan tidak punya waktu untuk ngobyek,"
ucapnya, "kalau sudah pensiun berbagai tunjangan sebagai
peneliti dengan sendirinya hapus." Itulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini