Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hobi, Tapi Belum Menggiurkan

Suka duka (pengalaman) para peneliti ilmu-ilmu murni di perguruan tinggi, minat mempelajari bidang ini masih berkurang. (sd)

18 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DR. Achmad Yoenoes, 51 tahum Dekan Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam (FIPPA) Universitas Padjadjaran, Bandung, tidak setuju bila dikatakan bahwa minat mempelajari ilmu-ilmu murni kurang. "Dulu kita belum sadar peranan sarjana ilmu murni -- seperti biologi, kimia, astronomi, matematika -- lantaran dulu kita belum mengatakan pembangunan seperti sekarang ini," ujarnya. Tetapi, lanjut Yoenoes, "kini pembangunan kita menggebu, permintaan akan tenaga peneliti dan sarjana-sarjana berhagai bidang keilmuan naik drastis." Ia menunjuk data-data dari fakultasnya, bagaimana lonjakan jumlah mahasiswa dari tahun ke tahun. "Dari sekitar 100 orang pada empat tahun lalu, kini su dah mencapai 1.600, malahan hampir 2.000 orang mahasiswa. Yang paling laris biologi, geologi dan statistik," katanya. Doktor biologi lulusan Jerman ini mengungkapkan juga bahwa fakultasnya sudah kewalahan menerima pesanan-pesanan dari berbagai perusahaan swasta. Bahkan sampai terjadi semacam ijon dalam menyalurkan sarjana lulusan FIPPA Unpad. Mahasiswa masih belum lulus, tapi tenaganya sudah dicarter. "Memang sarjana ilmu murni ini ibarat pelaku di belakang layar. Ia menentukan, tapi tidak populer di masyarakat," kata Dr. Yoenoes. Karena itu sarjana yang dicetak fakultasnya memang kurang populer dibandingkan dengan sarjana-sarjana ilmu sosial. Ilmu murni atau ilmu dasar atau "sains", kata Prof. Dr. Pringgodigdo, ahli kimia di ITB, sejak zaman kolonial tidak dikembangkan di negeri ini. "Kita tidak punya histori tentang itu, sehingga lemah di bidang industri," ujarnya. Tempe Bongkrek Menurut pengamatan Pringgodigdo, perkembangan sains di Indonesia sudah membaik, meskipun masih jauh dari memadai dapat dimaklumi. Karena industri belum maju sehingga masa depan sarjana ilmu murni dirasa masih suram. "Dewasa ini pangan lebih perlu, agar rakyat bisa hidup. Padat karya juga masih diutamakan, artinya tidak mekanisasi," kata professor yang berusia 56 tahun itu. Guru besar lulusan FIPPA UI pada 1954 ini merenggut gelar doktor di Negeri Belanda Kemudian ia riset 3 tahun di University of Kentucky, Amerika. Di akuinya bahwa namanya lebih tersohor di luar negeri timbang dalam negeri. Tahun 1978 ia mendapat piagam sebagai peneliti terbaik dari ITB, sedangkan istrinya beberapa tahun lebih dulu mendapat piagam yang sama. Pada 1979 beserta istrinya ia tercantum sebagai penemu obat anti racun tempe bongkrek. Penemuan ini diumumkannya dalam forum XIth International Congres of Biochemistry di Toronto, Kanada. Obat itu disuntikkan kepada penderita yang telah keracunan karena makan tempe tadi. Sebagai profesor ilmu murni ia mengaku tidak merasakan duka, selalu suka. Ia tidak memiliki anak, tapi banyak keponakan yang diurusnya. "Jadi kalau saya bilang miskin, mungkin ditertawakan orang, padahal tanggungan saya banyak," katanya. Ia tak mau menyebut penghasilannya sebagai sarjana ilmu dasar. "Ilmu dasar cukup populer di Indonesia," katanya membantah anggapan beberapa orang yang mengatakan ilmu itu kurang populer. Namun diakuinya Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dalam bidang sains dan teknologi. Tapi akhir-akhir ini sudah banyak pemuda Indonesia yang punya bakat dan berderajat internasional, katanya. Di samping mengajar di ITB, ia juga menjadi pembimbing program Pasca Sarjana di Unpad dan UGM. Jadi adviser di Badan Tenaga Atom. Juga bertugas di bagian penelitian Universitas Groningen (Holland) dan Kyoto University, Jepang. Dosen fisika ITB, Dr. Pantur Silaban, 42 tahun, satu-satunya sarjana fisika yang memperdalam teori relativitas dan teori quantum di Indonesia. Menurut Silaban dibandingkan dengan sarjana teknik, sarjana ilmu dasar paling miskin. "Kami hanya meneliti teori-teori dan filsafat, mana ada orang yang mau membeli hasil penelitian kami -- seperti misalnya hasil penelitian cara mencampur aspal," ujarnya. Ruang gerak sarjana ilmu dasar kata Silaban, juga tidak terlalu luas, terbatas di perguruan tinggi. Tidak bisa misalnya nyelonong ke PLN atau ke PJKA. Sedang gaji sebagai dosen, "untuk membeli buku saja harus perang dulu dengan istri." Rp 475 Sebulan Ia kemudian memberi contoh, sebuah buku fisika di Indonesia paling murah berharga Rp 50 ribu. Sedang gajinya sebagai dosen hanya Rp 130 ribu. Di rumahnya memang banyak buku -- dibelinya ketika ia dulu belajar di Amerika. "Memang aneh, ketika belajar saya mampu membeli buku, tapi sekarang setelah bekerja di sini, kalau tidak dipaksakan, barangkali sebulan tidak bisa beli buku," keluhnya. Penghargaan yang kurang tidak hanya diterimanya dari masyarakat awam. juga dari sebuah perguruan tinggi di Bandung. Ia pernah diminta memberi kuliah, tetapi honor diterimanya enam bulan kemudian. "Hitung-hitung setiap bulan saya cuma menerima Rp 475," ujarnya dengan sedih. Sejak itu ia tak mau lagi mengajar di perguruan itu. Kendati ada keluhan, tugas sebagai peneliti tidak pernah diabaikan Silaban "Ini adalah panggilan jiwa saya, ada atau tidak ada uangnya," ujarnya. Ia hanya merisaukan apabila hasil penelitiannya itu tidak ada yang menyalurkan. Akibatnya orang tidak mengetahui apa hasilnya. "Bila sampai pada keadaan itu, rasanya saya pingin jadi konsultan rubrik fisika saja di suatu massa media yang memerlukan," katanya. Kebanggaan seorang peneliti, bagi Dr. Sutarjo Brotonegoro, seorang peneliti di Pusat Penelitian Botani Lembaga Biologi Nasional (LBN) Bogor, adalah bila hasil penelitiannya dikutip oleh kalangan ilmuwan internasional. Sutarjo yang mempunyai keahlian di bidang mikrobiologi tanah meraih gelar doktor dengan menampilkan hasil penelitiannya tentang azoto bakteri. Dengan penelitian itu ia berhasil membuktikan bahwa dalam keadaan hidup, azoto bakteri dapat menghasilan H2 -- dan tidak sebaliknya seperti tercantum dalam textbook sebelumnya. "Sejak itu nama saya sering disitir peneliti internasional," kata Sutarjo, 45 tahun. Peneliti kelahiran Yogyakarta ini memang melihat hanya sedikit saja pemuda kita yang menjadi peneliti secara sungguh-sungguh. "Ya, hanya 10% saja dari peneliti-peneliti muda yang punya idealisme sebagai peneliti," ujarnya. Ia mengakui sebabnya, "penghasilan memang tidak menggiurkan" -- meskipun di samping gaji, para peneliti masih menerima tunjangan sebagai peneliti. Sebagai peneliti senior Sutarjo mendapat tunjangan peneliti Rp 60.000 tiap bulan. Ditambah gajinya sebagai pegawai negeri golongan III D dan pendapatan dari berbagai proyek penelitian lain sebulan ia berhasil mengumpulkan uang sekitar Rp 200.000. "Kalau seorang peneliti bisa kaya, itu tentu karena kebetulan --atau karena orangnya sangat lihai," tambah Sutarjo. Kekurangan alat dan bahan serta penelitian yang berakhir dengan kegagalan, adalah sebagian dari duka yang lazim dialami para peneliti. "Tapi kalau berhasil dan dipublikasikan, si peneliti akan diundang ke berbagai pertemuan ilmiah di luar negeri," Sutarjo bertutur. Ia misalnya pernah gagal melakukan penelitian: bagaimana menaikkan protein tape dengan menambah amonium sulfat. "Setelah dicoba, proteinnya memang baik, tapi tape jadi berbau tak sedap," katanya. Peneliti yang senang puisi ini -- "karena puisi dan hasil penelitian sama-sama hasil kristalisasi," katanya -- kini bersama stafnya sedang menguji kebenaran teori bahwa hutan tropika mengandung humus tipis karena pembusukan yang cepat. "Tapi teori ini tanpa data yang cukup," katanya. Karena itu bersama beberapa peneliti muda sejak setahun lalu mereka meneliti hutan-hutan di Kalimantan Timur. Kalau penelitian dipandang sebagai pekerjaan, akan membosankan dan tak menarik. Karenanya harus dirasakan sebagai hobi. Itu kata Dr. M. Ridwan, ahli kimia nuklir dari Pusat Aplikasi Isotop & Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) di Jakarta. Apalagi di laboratoriumnya, Ridwan selalu bergelut dengan ancaman radiasi yang dapat mengundang bahaya kanker. Bersedia Dari Jauh Bagi Ridwan kesenangan seorang peneliti adalah bila hasil penelitiannya dipakai oleh masyarakat. Ia mengungkapkan penelitian yang akhir-akhir ini banyak dilakukan di Batan bagaimana menggunakan radiasi untuk meningkatkan hasil industri. Misalnya untuk memperbaiki produk-produk lateks, karet dan kayu "Dan sekarang hampir 40 perusahaan telah memakai teknik radiasi untuk menguji hasil las, cor dan produk metalurgi lainnya," kata Ridwan. Peneliti kelahiran Madura ini bercerita tentang kunjungan Komisi X DPR belum lama ini ke laboratoriumnya. "Kami ajak mereka melihat-lihat ruangan persediaan bahan," tuturnya, "tapi para anggota yang terhormat itu hanya bersedia melihat dari jauh, karena takut bahaya radiasi." Jadi, berbahayakah kerja di situ? "Semuanya sudah kami perhitungkan," jawab Ridwan dengan senyum, "buangan zat kami jaga baik-baik, bahkan ruang laboratorium mengalami pergantian udara 20 kali tiap jam." Meskipun ia tak begitu mengeluh soal penghasilannya tiap bulan, Ridwan agaknya mulai mengkhawatirkan masa pensiunnya kelak. "Peneliti yang sungguhan tidak punya waktu untuk ngobyek," ucapnya, "kalau sudah pensiun berbagai tunjangan sebagai peneliti dengan sendirinya hapus." Itulah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus