Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ancaman Merkuri di Pesisir Banyuwangi

Sungai dan Pantai Lampon tercemar merkuri akibat pertambangan emas. Kadarnya sudah melewati batas aman.

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH sudah berapa kali Mariyono, 35 tahun, melempar kail pancing ke Sungai Lampon di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Tak banyak ikan yang ia dapat. "Cuma dua ekor," katanya Selasa siang dua pekan lalu. Padahal dulu paling sedikit ia bisa membawa pulang satu kilogram ikan terapon atau kerong-kerong setiap kali memancing. Ikan berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa itu biasa ia sebut terongan.

Sejak 2009, populasi ikan terongan di Sungai Lampon terus menyusut. Warga setempat tak tahu pasti penyebabnya. Air sungai yang bermuara ke laut Banyuwangi di selatan Jawa itu tampak normal dan bening. Pasir hitamnya menjorok hingga ke pantai, mengkilat diterpa sinar mentari. Pohon mangrove berjajar rimbun di sepanjang aliran sungai membuat teduh kawasan muara dan pantai di Desa Pesanggaran itu.

Namun kondisi sungai tersebut tak seindah yang terlihat. Pertengahan Mei lalu, Susintowati, peneliti dari Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, merilis hasil penelitian yang cukup mengejutkan. Menurut dia, Sungai Lampon tercemar merkuri dan jumlahnya sudah melebihi batas ambang aman. Logam berat ini menyebar hingga ke pantai dan laut. "Merkuri merupakan pencemar lingkungan yang berbahaya," ujarnya.

Penelitian itu menunjukkan akumulasi merkuri—dikenal sebagai air raksa—dalam sedimen tempat tumbuh mangrove mencapai 0,45 bagian per juta (ppm). Bibir muara yang berbatasan dengan Laut Selatan mengandung 1,17 ppm merkuri. Padahal, menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004, batas aman merkuri di alam hanya 0,1 ppm dan dalam air sungai sebesar 0,07 miligram per liter.

Pencemaran tak hanya dijumpai di sekitar sungai lokasi Mariyono memancing. Logam berat itu juga terdeteksi di badan sungai hingga dua kilometer ke arah hulu. Yang membuat khawatir, merkuri telah merasuk ke tubuh hewan yang hidup di sungai itu, seperti kerang dan siput. Tubuh siput mangrove (Terebralia sulcata) terpapar merkuri hingga 3,1 ppm, siput pantai (Nerita argus) 3,03 ppm, dan siput batu (Patella intermedia) 0,44 ppm. Akibatnya, sel-sel saraf ketiga jenis moluska itu rusak.

Pada manusia, dampak merkuri tak kalah fatal. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan paparan merkuri, meski dalam jumlah kecil, dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf, pencernaan, pernapasan, ginjal, kulit, mata, dan kekebalan tubuh. Merkuri dalam bentuk senyawa organik—metilmerkuri—mudah masuk ke tubuh manusia saat menyantap ikan atau kerang yang hidup di perairan tercemar.

Di Lampon, merkuri berasal dari aktivitas pemisahan bijih emas. Penambang tradisional bermunculan sejak 2008, setahun setelah perusahaan emas PT Indo Multi Niaga mengantongi kuasa eksplorasi di kawasan hutan Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran. Hampir 7.000 penambang tradisional lokal dan luar daerah berdatangan. Mereka mencari emas di hutan konsesi seluas lebih dari 11 ribu hektare milik Indo Multi.

Lima tahun lalu, salah satu tempat pemisahan bijih emas terbesar—warga setempat menyebutnya penggelondongan—didirikan 100 meter dari Sungai Lampon. Bangunan berdinding batako itu memiliki 20 bak berukuran 1 x 2 meter sebagai wadah mesin gelondong. Bagian bawahnya dilengkapi empat kolam sedalam satu meter untuk menampung limbah, yang kemudian dialirkan ke sungai.

Tempat itu beroperasi 24 jam dan didatangi ratusan penambang dari berbagai daerah. Tiga tahun mengais emas, tempat ini akhirnya ditutup polisi karena dianggap ilegal. Sang pemilik, Paino, dan puluhan penambang yang berada di lokasi ditangkap. Entah sudah berapa ton limbah mengandung merkuri digelontorkan ke Sungai Lampon.

Kini dinding bangunan itu masih berdiri kokoh. Beberapa perkakas terlihat berserakan. Tempo menjumpai sisa-sisa limbah berupa lumpur berwarna kekuningan mengering di tanah. Bekas limbah ini terserak di dalam dan luar bangunan. Menurut Susintowati, kadar merkuri di tempat ini 65,52 ppm. Bahkan kadar merkuri di bekas saluran pembuangan limbah di belakang bangunan mencapai 634,19 ppm. "Ini sangat tinggi," ucapnya.

Lantaran merasa kehilangan mata pencarian sejak bisnis Paino ditutup, penduduk setempat lantas mendirikan tempat penggelondongan sendiri di rumah-rumah. Kini ada sekitar 70 tempat penggelondongan milik pribadi dan 20 tempat yang disewakan. Salah satunya dimiliki Suparjiono, 50 tahun, yang menyewakan tempat penggelondongan berkapasitas 10 mesin.

Di tempat Suparjiono, tak kurang dari lima kilogram merkuri dihabiskan tiap bulan untuk 20 kali proses pemisahan bijih emas. Satu mesin menghabiskan 20 liter air dan 0,3 kilogram merkuri untuk memilah emas dari material tanah dan batuan. Sekitar 200 liter limbah dihasilkan dalam sekali proses.

Tempo menghitung, bila terdapat 20 mesin dengan waktu proses dua jam per mesin, setiap hari ada 240 kali proses penggelondongan. Dengan 20 liter air yang dipakai, berarti setiap hari dihasilkan 4.800 liter limbah mengandung merkuri yang dibuang ke Sungai Lampon. Sekali proses, limbah terbuang mencapai 360 kilogram setiap hari.

Bisnis emas yang mendatangkan penghasilan Rp 10 juta per bulan memang menggiurkan. Jumlah itu jauh lebih besar dibanding saat Suparjiono menjadi juragan ikan selama 10 tahun. "Saat cuaca tak menentu, ikan jarang didapat," ujarnya. Kondisi inilah yang menyebabkan ia dan hampir semua nelayan di wilayah Pesanggaran beralih profesi. Adapun merkuri yang digunakan dipasok dari Jember dan Surabaya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur Ony Mahardika mengatakan limbah pertambangan rakyat sebenarnya tak seberapa dibanding skala limbah perusahaan penambangan di sana, yang bisa mencapai 2.361 ton per tahun. "Tapi pencemaran selalu disalahkan ke pertambangan rakyat," katanya.

Anehnya, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi belum mengetahui adanya pencemaran merkuri di Lampon. Sungai dan pantai Lampon baru akan diteliti pada 2014. "Saya belum bisa berkomentar karena belum tahu hasil penelitiannya," ujar Husnul Chotimah, Pelaksana Tugas Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi.

Meski belum meneliti seberapa banyak kandungan merkuri dalam tubuh ikan di Lampon, Susintowati mengimbau warga tidak memakan ikan dari sungai itu. Sebab, beberapa tahun lalu banyak ikan yang mati ketika penggelondongan marak beroperasi. Tidak mustahil ikan-ikan yang ada di Sungai Lampon saat ini juga telah terpapar merkuri. "Banyak warga mengandalkan mangrove untuk cari ikan belanak dan bandeng," katanya.

Mariyono tak menyadari ancaman merkuri yang mengintainya. Begitu pula Eko, nelayan setempat. Mereka memilih berburu kerang pantai jika sulit mendapatkan ikan di Lampon. "Saya belum dengar kalau ada pencemaran di sini" ujar Eko dan Mariyono kompak.

Mahardika Satria Hadi, Ika Ningtyas (Banyuwangi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus