Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pergulatan Teks Sang Mantan Biarawati

Sudah lebih dari 20 buku dihasilkan Karen Armstrong. Twelve Steps to a Compassionate Life memunculkan gerakan spiritual yang luas.

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari Charlotte, mitra tutorial Karen Armstrong di Oxford University, mengundang Armstrong makan malam di apartemennya. Charlotte mempertemukan Armstrong dengan June, pekerja penerbitan. Mendengar Armstrong pernah menjadi biarawati, June langsung antusias. "Kamu harus menuliskannya. Itu pasti akan menjadi buku yang menarik."

Armstrong saat itu belum siap membuat buku yang mengungkap apa adanya pengalamannya hidup di biara. Itu seperti "menelanjangi" diri di depan orang tak dikenal. Sampai suatu hari, pada musim panas 1979, teman mengajarnya di sekolah khusus perempuan di Dulwich, Sally, mengundangnya menginap. Sally mendorongnya segera mewujudkan buku itu. "Duduklah sekarang dan tulis dua halaman saja dulu," kata Sally.

"Tak ada salahnya dicoba," Armstrong bergumam. Dan dari dua halaman tersebut, tiba-tiba semua mengalir lancar. Lahirlah buku pertamanya, Through the Narrow Gate, pada 1981. Benar buku itu mengundang respons luas. Seperti air deras, kemudian proses kreatifnya menulis seolah-olah tak terbendung. Buku-buku lain menyusul. Hingga kini, sudah lebih dari 20 buku ia terbitkan. Pada 2010, Twelve Steps to a Compassionate Life keluar. Buku itu kini menjadi pemicu timbulnya gerakan spiritual yang luas, sebuah gerakan yang mengedepankan nilai-nilai welas asih agama. "Saya kini sedang menulis buku tentang konflik dan agama," katanya kepada Tempo. Berikut ini sebagian pergulatan Karen Armstrong.

Tiga buku pencarian

Jalan spiritual Armstrong penuh liku dan luka. Ia pun menggambarkannya pencarian panjangnya dalam seri memoar, Through the Narrow Gate (1981), Beginning the World (1983), dan The Spiral Staircase: My Climb Out of Darkness (2004).

Through the Narrow Gate berkisah tentang pengalaman Armstrong berada di biara Katolik Roma selama tujuh tahun. Pada 1962, saat berusia 17 tahun, ia memasuki kehidupan biara. "Saya ingin menemukan Tuhan," katanya dalam buku itu. Keberatan keluarganya tak digubris.

Tapi biara rupanya bukan seperti yang dia harapkan. Di buku ini, Armstrong memberikan gambaran betapa kaku, keras, serta beratnya aturan di dalam biara. Ia pernah dihukum berlutut dan merangkak di bawah kaki meja dan mencium semua kaki biarawati yang ada di sebuah ruang makan.

Armstrong pun kian banyak menemukan irasionalitas dalam kehidupan biara. Misalnya, dia memprotes soal pengakuan dosa oleh anak-anak. Menurut dia, anak-anak belum mengenal konsep dosa. Namun otoritas biara membungkam kekritisannya. Dalam The Spiral Staircase, Armstrong mengaku masuk biara sebagai remaja yang idealistis. "Tapi keluar tujuh tahun kemudian dengan krisis kecil, sedikit rusak, dan cedera."

Pada 1969, ia meninggalkan kehidupan religiusnya. Tapi di luar pun ia merasa gelisah. "Di luar pun rupanya bukan tempat untuk saya," tuturnya. Kehidupannya di tahap ini ia tuliskan pada buku Beginning the World. Dalam buku itu, Armstrong memaparkan bagaimana ia kembali menjadi "awam". Dia memulai dunia baru.

Belakangan, Armstrong menyesali bukunya tersebut, yang ia anggap tak mencerminkan maksud hatinya karena mengikuti penerbit. Di buku, ia terlihat begitu bersemangat meninggalkan agama. Padahal ia masih "tenggelam". Konflik diri ini menyebabkan ia saat kuliah di Oxford, akhir 1960-an, kerap tak sadarkan diri. Bahkan, pada 1971, ia pernah menelan pil tidur begitu banyak hingga dibawa ke rumah sakit. "Tampaknya, tanpa saya sadari, saya telah menjadi seperti tubuh mati atau tongkat St Ignatius," katanya dalam The Spiral Staircase. Ia merasa Tuhan telah pergi.

Tapi ia kemudian bangkit. Kisah selanjutnya ia torehkan pada The Spiral Staircase. Armstrong tadinya sempat akan kembali ke biara karena tak tahan di luar. Tapi teman-temannya menentangnya. Puisi T.S. Eliot, Rabu Abu, ia jadikan mantra: "Karena aku tak berharap untuk kembali lagi." Kebangkitan ini ditopang pengalamannya mengerjakan program Channel 4 yang membuatnya mengunjungi Yerusalem. Di situ matanya terbuka. Ternyata banyak yang tidak dia ketahui soal agama-agama "Ibrahim" lain, Yahudi dan Islam. Ia juga mulai mempelajari Buddha.

Sampai kini pun ia mengaku masih dalam taraf pemulihan. Pemulihan dari apa? "Dari pengalaman agama yang sulit ketika saya masih muda. Dulu saya membenci agama. Tapi saya kembali dengan mempelajarinya," ujarnya kepada Tempo.

Magnum opus sejarah agama

A History of God (1994) adalah karya Karen Armstrong yang mungkin telah menjadi klasik. Dengan bahasa yang mudah dipahami, Armstrong membawakan tema "berat": evolusi perjalanan agama monoteis sejak Nabi Ibrahim AS hingga dewasa ini. Armstrong, dengan penguasaan sejarahnya yang mengagumkan, menggarisbawahi bahwa sejarah agama-agama ini juga sejarah perjalanan penganutnya. Dengan kata lain, agama-agama itu tidak hanya datang dari langit, tapi juga berkembang di bumi manusia ini.

Dalam A History of God, Armstrong berhasil menyodorkan gambaran jelas mengenai Islam dan Yudaisme kepada para pembaca Kristen. Sebaliknya, ia juga memberikan gambaran cukup komprehensif mengenai agama Kristen dan Yudaisme kepada pembaca muslim.

Buku Muhammad: A Prophet for Our Time (2006) juga mendemonstrasikan pengetahuan sejarah Armstrong yang meyakinkan. Inilah buku yang memberikan gambaran bersahabat mengenai Nabi Muhammad. Di sini Armstrong menyoroti persaingan antara Mekah yang dikuasai orang Quraisy dan Madinah yang telah menjadi dasar kekuatan muslim pada masa Rasulullah. Biografi Muhammad ini memberikan gambaran cukup lengkap mengenai hidup keseharian sang Nabi. Bagi pembaca nonmuslim, buku ini akan menjawab sejumlah pertanyaan skeptis tentang lelaki kelahiran Mekah pada 571 itu.

Lahirnya seorang guru spiritual

Buku Twelve Steps to a Compassionate Life terasa sangat berbeda dengan buku-buku Karen Armstrong terdahulu. Tidak ada penjabaran sejarah dan konflik agama seperti yang ia tulis misalnya dalam A History of God. Dalam paparan lebih dari 200 halaman, Armstrong seperti menanggalkan gelar sejarawan Oxford-nya dan mengedepankan ilmu yang dia peroleh di biara Katolik serta ratusan buku agama yang dia khatamkan. Dia menjelma menjadi guru spiritual.

Compassion berawal dari kegelisahan Armstrong, 68 tahun, saban naik taksi. Para sopir, demikian Armstrong, langsung nyerocos begitu tahu dia merupakan penulis buku soal komparasi agama. Para sopir itu berusaha meyakinkan Armstrong bahwa agama merupakan sumber semua perang besar dalam sejarah—pendapat yang tentu saja ditentang Armstrong.

Buku Compassion berintikan keyakinan Armstrong bahwa hakikat agama adalah sifat welas asih. Armstrong dalam buku itu meminta setiap orang melihat ke dalam hatinya, menemukan apa yang membuatnya tersakiti, dan berjanji tidak melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Dia menjabarkan welas asih itu dalam 12 langkah, dimulai dengan empati, memberi perhatian penuh terhadap sesama, sampai mencintai musuh kita.

Sebelum menulis buku itu, Armstrong menerbitkan Piagam Belas Kasih pada Februari 2009. Bersama pemuka Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dia menyerukan semua umat beragama mengembalikan belas kasih ke titik sentral agama serta menyalahkan semua interpretasi kitab suci yang menyuburkan kekerasan.

Purwani Diyah Prabandari, Idrus F. Sahab, Reza Maulana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus