Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bung Besar di Rak Penjualan Anyar

7 Juli 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juni, bulan Bung Karno, baru berlalu. Baliho yang memampangkan sang Proklamator diturunkan. Panggung gembira dan gerak jalan berlalu sudah. Namun wajah Sukarno—lahir 6 Juni 1901 dan wafat 21 Juni 1970—masih berta­han di toko-toko buku, tepatnya di rak penjualan buku anyar. Berikut ini bebe­rapa judul buku yang mengulas jejak Bung Besar.

Ketika Mandela Kehilangan Sukarno

Sisi Sejarah yang Hilang: Memoar Sidarto Danusubroto, Ajudan Bung Karno
Penulis: Asvi Warman Adam
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Terbit: Juni 2013
Tebal: 318 halaman

Sidarto Danusubroto masih mengingat betul kejadian 23 tahun lalu itu. Sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, dia masuk rombongan yang mendampingi Nelson Mandela saat mengunjungi Museum Asia-Afrika, Oktober 1990.

Pejuang kesetaraan ras asal Afrika Selatan itu memandang satu per satu foto yang terpampang di bangunan yang dulu bernama Gedung Merdeka tersebut. Ada Ali Sastroamidjojo, Soenario, dan Roeslan Abdulgani, semuanya pejabat yang mengurus Konferensi Asia-Afrika. "Where is the pic­ture of Sukarno?" kata Mandela.

Anggota Musyawarah Pimpinan Daerah Jawa Barat, termasuk Sidarto, kelimpungan. Tak ada jawaban yang terlontar. Mandela nyerocos. Menurut Presiden Afrika Selatan 1994-1999 itu, semua pemimpin di Asia dan Afrika berkumpul di Bandung pada April 1955 karena Sukarno. "Sekarang, mana foto dia?" ujarnya, kecewa.

Sindiran dari peraih Nobel Perdamaian itu menyadarkan Sidarto bahwa terjadi penghilangan atau pengurangan peran sejarah Sukarno di Indonesia atau de-Sukarnoisasi.

Sidarto, kini 77 tahun, adalah ajudan Presiden Sukarno pada 1967 dan 1968. Selama 13 bulan mendampingi Bung Besar, dia memiliki banyak waktu mendengarkan wejangan dan curahan hati Pemimpin Besar Revolusi tersebut. Dia menjadi saksi saat sang Presiden—yang secara de-facto sudah tidak aktif—harus meminta izin ke Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi untuk keluar dari Istana Batutulis, Bogor, dan Kodam Jaya buat masuk Jakarta guna berobat di Rumah Sakit Carolus. Memoar berjudul Sisi Sejarah yang Hilang ini bertujuan melawan de-Sukarnoisasi itu.

Cikini dan Terorisme Pertama di Indonesia

Tragedi Cikini: Percobaan Pembunuhan Presiden Sukarno
Penulis: Arifin Suryo Nugroho
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Terbit: April 2013
Tebal: 148 halaman

Pelemparan empat granat ke arah Presiden Sukarno di Cikini pada 30 November 1957 malam merupakan tindak terorisme pertama di negara ini. Kata "teror" diucapkan Bung Karno di Radio Republik Indonesia sekitar lima jam setelah ia lolos dari serangan yang menewaskan 11 orang tersebut.

Lewat Tragedi Cikini: Percobaan Pembunuhan Presiden Sukarno, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, Arifin Suryo Nugroho, membedah aksi gagal itu. Kekuatan utama buku ini adalah dukungan data yang lengkap.

Militer bergerak dan menangkap pelakunya dalam 24 jam. Tiga hari setelah kejadian, Komandan Militer Jakarta Mayor Dachyar menuding mantan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Zulkifli Lubis sebagai otak kelompok itu. Militer menangkap, kemudian menghukum mati Saadon bin Mohammad, Jusuf Ismail, dan Tasrif bin Husein.

Ketiga pemuda asal Bima, Nusa Tenggara Barat, itu adalah anggota Gerakan Anti Komunis, yang oleh pengadilan militer disebut bentukan Zulkifli Lubis. Pengadilan juga menemukan hubungan kelompok itu dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Sekarmadji Kartosoewirjo.

Bung Karno dalam Blog

Total Bung Karno: Serpihan Sejarah yang Tercecer
Penulis: Roso Daras
Penerbit: Imania, Depok
Terbit: Mei 2013
Tebal: 444 halaman

SEMENTARA kebanyakan buku tentang Sukarno bertutur menurut deret waktu, Total Bung Karno: Serpihan Sejarah yang Tercecer bercerita dengan, ya itu tadi, berceceran. Berbekal kelihaian menulis yang didapat dari pengalaman sebagai jurnalis, Roso Daras, penulis buku itu, menampilkan 80 cerita singkat tentang Sukarno yang belum banyak diketahui publik. Dari cicak yang jadi teman Bung Karno di penjara sampai peran lulusan Institut Teknologi Bandung itu dalam pembangunan Jembatan Semanggi di Jakarta Pusat.

Ada juga alasan Sukarno tak pernah mengenakan pakaian adat. "Itu sebabnya aku selalu berpakaian rapi dan memakai peci hitam, yang aku harapkan menjadi ciri bangsa Indonesia," katanya.

Sebagian isi buku ini diambil Roso dari blognya, rosodaras.wordpress, yang dia unggah pertama kali pada Februari 2009.

Reza Maulana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus