Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Penurunan tanah merupakan suatu proses menurunnya muka tanah pada suatu kawasan yang cukup luas. Penurunan tanah di kawasan pesisir berdampak pada makin parahnya rob.Penurunan tersebut bisa terjadi karena berbagai sebab, antara lain faktor alami proses tektonik, patahan tumbuh di kawasan endapan delta, dan terdapat rongga (goa) di bawah tanah.
Faktor pemicu lainnya bisa berupa masifnya pengambilan air tanah, penambangan minyak dan gas bumi bawah permukaan, pengambilan air garam, serta beban bangunan. Hasil pengukuran penurunan tanah di Jakarta rata-rata tercatat 5,17 cm per tahun. Di beberapa kota besar juga telah terjadi penurunan tanah seperti Jakarta, antara lain Semarang, Bangkok, Shanghai dan Tokyo.
Masalah-masalah tersebut mengemuka dalam webinar bertema ‘Antisipasi Penurunan Tanah dan Banjir Rob’ yang diselenggarakan oleh Departemen Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember atau ITS, Sabtu petang, 21 Desember 2024.
Pakar kebencanaan ITS sekaligus dosen senior Departemen Teknik Geofisikan Amien Widodo pada pengantar diskusi menyampaikan bahwa penurunan tanah di kawasan pantai berdampak ganda. Sebab secara alami kawasan pantai selalu mengalami pasang surut air laut setiap bulan, bahkan pasang besar setiap periode dan mengakibatkan rob.
“Beberapa tahun terkahir terjadi pemanasan global yang diikuti oleh perubahan iklim dan cuaca ekstrim. Konsekuensinya muka air laut naik, kecepatan angin menjadi ekstrim, diikuti ombak dan arus laut semakin tinggi,” tuturnya.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pusat S.T.J. Budi Santoso mengatakan fenomena penurunan tanah di kota-kota besar kawasan pantai umumnya terjadi secara vertikal atau ambles. Adapun pergerakan horisontalnya relatif sedikit. “(Amblesan) ini bisa terjadi tiba-tiba atau berlangsung pelan-pelan,” kata Budi.
Ia mencontohkan kejadian beberapa tahun lalu di Jepang ada sebuah kota yang tanahnya tiba-tiba ambles. Di satu sisi di Indonesia, penurunan tanah di Jakarta dan Surabaya sangat pelan. Meski demikian, walau pun penurunannya pelan namun pasti. Sehingga turunnya permukaan tanah itu, kata dia, kian mengancam masyarakat pesisir lantaran rob juga makin besar.
Budi menyinggung soal gagasan membangun giant sea wall yang merupakan program pemerintah untuk mengantisipasi rob. IAGI, kata dia, pernah diundang oleh Menteri Pertahanan saat itu, Prabowo Subianto, agar turut berkontribusi membahas hal-hal bagaimana giant sea wall Jakarta menjadi acuan penting sebelum bicara soal desain dan lain-lainnya.
Menurut Budi antisipasi ancaman penurunan tanah dan rob harus kombinasi antara regulasi, planning, bentuk atau model bangunan di kawasan pantai, dan monitoring. Sedangkan untuk area yang selama ini sudah menjadi langganan rob, harus ada deteksi dini serta adanya manajemen kebencanaan yang berkelanjutan.
“Mestinya antisipasi-antisipasi itu menjadi kunci untuk meminimalkan (bencana) karena tak mungkin kita sebagai manusia tidak terlibat langsung maupun tak langsung di dalamnya dalam hal kerusakan lingkungan ini,” ujar Budi.
Kepala Balai Koservasi Air Tanah Taat Setiawan menuturkan isu Jakarta akan tenggalam sebenarnya sudah sering dibicarakan. Isu tersebut kian ramai karena pada Juni 2021 yang lalu Presiden Amerika Joe Biden menyebutkan ada salah satu kota di Indonesia yang tenggelam sepuluh tahun mendatang.
Meski pun sebetulnya konteks pernyataan Biden itu mengenai perubahan iklim, namun isu Jakarta akan tenggelam juga menyasar soal amblesan tanah. “Air tanah ditengarai menjadi faktor dominan terhadap fenomena amblesnya tanah,” kata Taat.
Taat berujar isu Jakarta tenggelam secara kasat mata sudah sering diperbincangkan. Fenomena itu bisa dilihat dari amblesnya tanah di Muarabaru. Di sana muka air laut lebih tinggi daripada daratan. Ditambah fenomena lain berupa tenggelamnya sebuah masjid di Penjaringan, Jakarta Utara, dan salah satu bangunan di Kota Tua yang menurun sekitar 90 cm sejak pembangunannya pada 1921 hingga pengukuran ulang pada 2015.
Sejak dibentuk oleh Badan Geologi pada 2014, kata Taat, Balai Konservasi Air Tanah bertugas memantau air tanah dan penurunan tanah di cekungan air tanah Jakarta. Amblesan tanah, kata Taat, tak lepas dari konteks geologi. Secara geologi, kata dia, Jakarta bagian utara dan sekitarnya tersusun atas endapan alluvium yang didominasi lempung di antara pasir dan kerikil.
Di endapan alluvium tersebut terdapat endapan pematang pantai menyempit dan memanjang relatif sejajar dengan garis pantai. “Hal ini berkaitan dengan perkembangan garis pantai masa lalu dan berhubungan dengan konteks hidrogeologi yang nantinya akan memberikan warna tersendiri terhadap kualitas air tanah di bagian utara Jakarta,” ujar Taat.
Badan Geologi, menurut Taat, pernah melakukan pengeboran di tiga lokasi sedalam 300 meter. Dari kegiatan itu Pusat Survei Geologi mengidentifikasi adanya endapan batuan variasi litologi di tiga lokasi tersebut. Diperkirakan endapan batuan itu berumur quater dengan lingkungan pengedapan yang berubah-ubah, baik lingkungan pluvial, cekungan banjir, limpasan banjir, dan lingkungan darat. “Belum kami batuan dasar atas pengeboran sedalam 300 meter itu,” kata Taat.
Berdasarkan investigasi itu, kata dia, kedalaman badan dasar atau basement wilayah Jakarta diperkirakan antara 700 hingga 800 meter. Dari identifikasi itu para ahli tektonik menyebutkan bahwa faktor tektonik menunjukkan penurunan tanah sekitar 0,1 cm per tahun. “Relatif kecil dibandingkan total penurunan tanah di Jakarta,” katanya.
Sementara itu Kepala Pusat Meteorologi Maritim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Eko Prasetyo mengatakan rob di wilayah pesisir Indonesia, terutama pantai utara Jawa, telah disampakan peringatan dini untuk meminimalisir dampaknya. Peringatan awal ini penting karena pantai yang cenderung landai dan padat penduduk, dampaknya tentu lebih besar dibandingkan yang tidak berpenghuni.
Sejak awal Desember hingga minggu terakhir Desember ini, menurut Eko, dampak banjir pantai banyak dirasakan di wilayah Jawa Barat sisi utara, Jakarta Utara, dan Jawa Timur pesisir utara. Adapun di luar Jawa antara lain terjadi di Banjarmasin, Pontianak dan beberapa wilayah Sumetera. “Di Jawa Timur ada daerah yang dulunya tidak pernah tergenang rob, sekarang banjir,” kata Eko.
Berdasarkan analisis BMKG, tutur Eko, penyebab utama pasang maksimum air laut menyangkut astronomis. Paling tidak satu bulan sekali daerah yang tidak pernah terkena rob akhirnya ikut terdampak banjir pesisir tersebut. Bila ditandai waktunya, biasanya fenomena pasang maksimum itu terjadi pada awal bulan Hijriah dan akhir bulan Hijriah. “Sehingga tiga hari sebelumnya mestinya sudah bisa diantisipasi,” kata Eko.
Pilihan Editor: BMKG Prediksi La Nina Aktif Hingga April 2025, Curah Hujan Jawa Barat Bakal Melambung Akhir 2024
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini