Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ancaman Rimba Suara

Pengaruh polusi suara dari jalan raya dibicarakan dalam "seminar akustik dan microwave" di bandung. 3 jalan raya di jakarta diteliti karena memproduksi kebisingan suara yang hebat. bisa mengakibatkan tuli.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLUSI suara dari rimba jalan raya. Inilah ancaman lain yang diremehkan, padahal tidak mustahil mempercepat telinga budek, terutama untuk mereka yang di kota. Di Jakarta, misalnya, blsing yang bikin senewen itu semakin subur dibandingkan dengan kota besar lain di Indonesia. Contoh dari Jakarta ini lalu turut dibahas di tengah peserta Indonesia dan Jepang dalam Seminar Akustik dan Microwave. Acara pada medio bulan lalu di Gedung Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung itu disponsori oleh Departemen Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung. Pada penelitian ulang Dr. Soegijanto tahun lalu di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, kebisingan itu meningkat. Katanya, "Karena jumlah kendaraan terus bertambah, polusi suara juga hebat." Awalnya, Kepala Laboratorium Fisika Bangunan ITB itu juga sudah memantau pencemaran suara di empat jalan yang sibuk. Selain jalan tadi, pada pertengahan 1985 yang diselidikinya adalah kebisingan di Jalan Gatot Subroto dan Jagorawi. Sebagal sampel, ketiga jalan itu dianggap mewakili kesibukan Jakarta, yang padat penduduk dan ramai lalu lintasnya. Di Bandung, tingkat bising itu diteliti Soegijanto di Jalan Padalarang. Suara lalu lalang kendaraan direkam dan diproses di gearbox, alat mengukur suara, yang dipasang pada radius 10 meter dari jalan. Rekaman dilakukan selama 10 menit, tiap jam, dengan jumlah pengukuran 24 jam. Kemudian ia simpulkan: di empat jalan tadi tingkat kebisingannya melampaui ambang batas menurut ketentuan standar internasional. Pengukurannya dengan metode Traffic Noise Index (TNI), Equivalent Energy Level (Leq), Noise Pollution Level (LNP). Ketiganya sekaligus dipakai karena Indonesia belum menganut salah satu di antara metode itu. Lain di Inggris dan Jepang. Mereka menggunakan TNI. Tetapi negara di Eropa memakai LNP dan Amerika mengukur dengan Leq. Kata Soegijanto, yang paling berisik terjadi di Jalan Gatot Subroto. Dilihat ukuran TNI-nya, suara itu sudah 91,5 desibel atau dBA, yaitu tingkat kebisingan yang disesuaikan dengan karakteristik pendengaran manusia. Standar internasional hanya menoleransikannya sampai 74 dBA. Artinya, kebisingan di Jalan Gatot Subroto itu 17,5 point melewati ambang. Itu juga sudah jauh di atas hasil yang direkam Soegijanto di kawasan lapangan udara Husein Sastranegara, Bandung. Meskipun terbatas pada lepas landas maupun mendaratnya pesawat Foker 28, dalam radius 300 meter, frekuensi suara itu mencapai 32,3 dBA. Dengan standar pengukuran NEF (Noise Exposure Forecast), hasil itu juga sudah di atas ambang yang direkomendasikan II CAO (International Civil Aviation Organisation). Itu pada 1985. Kalau alat yang dipakai Soegjianto itu diletakkan pada radius 20 meter dari jalan, hasil ukur seperti di Jalan Gatot Subroto cuma berkurang 3 dBA. Karena itu dalam rencana tata kota, jarak antara rumah dan tepi jalan perlu diperhitungkan, menyangkut faktor bising itu. Dan cara meredam polusi suara itu sebaiknya dipasang pagar penyerap yang tingginya sekitar 2,5 meter. Ini seperti di Jepang. Tapi pagar itu masih kurang efektif melindungi suara yang menempa gedung bertingkat. "Membuat konstruksi jalan yang lebih rendah dari ketinggian tanah sekelilingnya juga bisa meredam suara yang terpancar dari kendaraan. Contoh ini banyak di Amerika Serikat dan Eropa," tutur Soegijanto. Yang agak meringankan tingkat kebisingan itu adalah kelancaran arus lalu lintas, laju kendaraan tak terlalu pesat, dan bobot angkutannya. Ini tampak dari pengukuran di tol Jagorawi, yang jumlah kendaraan melintas paling tinggi dibanding di tiga jalan lain yang sudah sama-sama diteliti: 7.768 buah per jam. Hasil pengukuran TNI-nya rendah (83,8 dBA) walau masih tetap di atas ambang. Dan menyusur kembali ke Jalan Gatot Subroto, kawasan Pancoran hingga sekitar Cawang, kini intensitas arus lalu lintas makin berlapis padat. Ini setelah ada tambahan lintas jalan layang. Begitu juga nanti di kawasan Slipi dan yang sedang disiapkan menuju Tanjungpriok. Lalu pengaruhnya pada penduduk sekitar? Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, pekan lalu mengatakan pada TEMPO, dampak kebisingan dari kendaraan itu belum dikaji benar. Ini karena prioritas penelitian masih berkutat pada polusi air dan udara. Senyawa kimia di situ, katanya, bahkan lebih berbahaya daripada polusi suara. Sementara itu, kebisingan yang bersumber dari kendaraan yang melintasi di jalan layang sulit dicegah, karena suara itu menggelombang bebas ke mana-mana. "Jalannya di tempat yang tinggi. Polusi suara dari kendaraan yang lewat di atasnya akan cepat menyebar. Begitu juga dikawasan permukiman yang dekat dengan lapangan terbang," begitu uraian J. Soegiyo, Kepala Pusat Riset Dirgantara Lapan, kepada Hedy Susanto dari TEMPO. Justru itu di negara yang rapi aturan mainnya, mereka berkeras mengurangi kebisingan. Misalnya di Osaka, Jepang. Lewat pukul 21.00 waktu setempat tak ada lagi pesawat terbang yang mendarat maupun lepas landas. Warganya boleh tidur nyenyak. "Kalau orang Indonesia toleransinya malah kelewat tinggi," kata Dr. Benyamin Soenarko, Ketua Jurusan Teknik Fisika ITB. Maka, apa gunanya heran bila masih ada orang yang tak merasa terteror dengan kebisingan di jalan padat. Setelah kebisingan mencapai ukuran 120 dBA, barulah telinganya kesakitan. Dan kalau lebih tinggi lagi, 140 dBA, gendang itu langsung rusak dan secara bertahap ia tuli. Tapi siapa yang kemudian peduli?. Suhardjo Hs.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus