KALI ini cerita soal penyelewengan seks dan denda. Hangat, sih. Tapi itu tidak mengenai dua dari tiga lelaki penduduk Jakarta. Ini soal orang-orang desa. Jadi, harap bersabar. Lelaki itu, sebut saja sembarang nama, Kartiman. Pemuda usia 23 tahun ini masih menganggur di desanya, Desa Kalikudi, Cilacap. Karena malu tak punya pekerjaan, ia berangkat ke Desa Karanggedang, Purbalingga. Di sini ada pamannya, Warso. Di sini pula ia bisa berburuh menggergaji kayu. Kehadiran Kartiman tentu saja disambut gembira. "Kalau saya pergi berdagang dan tidak pulang, istri dan anak-anak saya tidak takut lagi. 'Kan ada keponakan," kata Warso. Pedagang sayur dan buah-buahan ini memang sering ke Pemalang dan Tegal untuk menjajakan dagangannya. Oh ya, bagi pembaca luar Jawa, kota-kota tadi semuanya di Jawa Tengah. Belakangan kehadiran Kartiman menggelisahkan Warso. Ada suara-suara tak sedap tentang keponakannya itu dengan istrinya sendiri. Tetangga-tetangga pada mempergunjingkannya. Kalau Warso tak ada, istrinya, Darsih, kencan dengan Kartiman. Warso tak percaya, seperti halnya banyak istri penduduk Jakarta tak percaya suaminya termasuk dua dari tiga yang menyeleweng itu. Namun, gunjingan tetangga kian santer. Bahkan Pak Wiryoso, tetangga Warso, mengaku sudah pernah melihat adegan Kartiman dengan Darsih yang sepatutnya layak sensor. "Saya benar-benar tidak menyangka bahwa Darsih sampai hati berbuat serong dengan Kartiman. Ini benar-benar pagar makan tanaman," kata Wiryoso. Nah, karena menyangkut pagar dan tanaman, pedagang sayur itu akhirnya mencari kenyataan sendiri. Caranya, khas orang desa, tentu bukan angket. Akhir Juli lalu, Warso minta pamit pada istrinya hendak ke luar kota. Kemungkinan besar dalam beberapa hari ini ia tidak pulang, begitu yang dipesankan pada Darsih. Tentu saja jebakan. Warso tak pergi jauh. Menjelang tengah malam, Warso dan Wiryo mengendap-endap, bagai maling. Dan bukti nyata memang ditemukan. Darsih dan Kartiman sedang bergumul di malam itu. Warso kemudian mendobrak pintu. Tertangkap basahlah kedua insan ini. Dalam keadaan bugil Kartiman diseret ke luar kamar, "Sudah berapa kali kamu berbuat begini dengan bibimu," teriak Warso. "Lima kali," jawab Kartiman polos. "Ingin mati atau hidup? Kalau mau hidup harus membayar Rp 300 ribu," begitu ancaman Warso lagi. Kartiman tak sanggup membayar sebanyak itu. Namun, ia belum ingin mati. "Bagaimana kalau Rp 150 ribu," tanya Warso. Kartiman menyatakan setuju, asalkan "denda" itu bisa diangsur sepuluh kali. Warso ternyata setuju. Maka, dibuatlah perjanjian di atas kertas segel dan disaksikan seorang pamong desa. Dalam perjanjian disebutkan pula Kartiman harus secepatnya angkat kaki dari Desa Karanggedang. "Saya berdosa," kata Kartiman ketika ditemui Slamet Subagyo dari TEMPO. Ia mengaku terangsang ketika diminta memijat tubuh Darsih yang saat itu tak memakai selembar benang pun. "Saya benar-benar menyesal." Darsih pun mengaku khilaf. "Mungkin waktu itu saya sedang kerasukan setan. Saya jadi lupa daratan," kata perempuan berusia 35 tahun ini. Setan kok nakal selalu, ya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini