PARA pecandu gaya hidup "wah" di Jakarta, sejak Sabtu dua pekan lalu, mendapat satu lagi tempat nongkrong. Namanya Dynasty -- klub malam paling megah dan luas di Asia yang mampu menampung tiga ribu tamu sekaligus. Jadi, jangan khawatir tak kebagian kursi. Bahkan pramuria selalu tersedia, dengan tari Rp 9 ribu per jam, plus 300 pelayan yang selalu siap melayani tamu. Kemewahan yang hadir di klub malam kawasan Glodok ini seperti dongeng 1001 Malam. Seluruh lantai diselimuti karpet merah, kecuali lantai dansa yang berlapis marmer. Dindingnya yang berwarna merah berlapis kaca berhias ribuan lampu Natal yang sinarnya memantul pada sekat-sekat tembaga dan ornamen-ornamen berwarna perak. Puluhan lampu disko menyorot liar panggung yang didesain seperti layaknya balairung di istana khayal. Untuk memenuhi selera para tetamu, makanan dimasak oleh 7 koki yang khusus diimpor dari Hong Kong. Koki asing ini dibantu oleh 70 koki lokal. Supaya kelezatan hidangan terjamin, para koki itu dibebaskan untuk memilih bahan baku kelas satu, tanpa perlu memikirkan berapa harga yang harus dibayar. Hanya saja, di sana cuma disajikan masakan Tionghoa. Dari sini jelaslah, tamu berkantung tebal kelas apa yang mau dijala. Yakni, pengusaha dan kaum berduit yang selama ini suka keluyuran di Hong Kong atau Singapura. Dan mereka itu yang umumnya suka lagu pop Mandarin tidak akan kecewa. Di Dynasty penyanyi dan penari pengiringnya juga datang dari Hong Kong, menyajikan lagu-lagu Mandarin mutakhir. Kalau diminta mereka juga sanggup menyanyikan lagu-lagu Barat sampai dangdut dalam bahasa Mandarin. Misalnya Madu dan Racun, yang hampir setiap malam mendapat sambutan hangat dari para tamu. Segala kemewahan itu hadir dari idealisme Suawarno Chandra, manajer operasi Dynasty yang doyan bertandang ke klub malam papan atas di mancanegara. "Kenapa Indonesia tidak punya seperti itu," kata Chandra. Nah, kemudian dia bergerak untuk mengumpulkan para pemilik modal. Maka, lahirlah Dynasty, yang untuk dekorasi dan perlengkapan ruangannya saja menghabiskan Rp 5 milyar. Dalam perhitungan Chandra, modal itu bisa kembali 5 tahun. Di atas kertas, dengan harga tiket Rp 20 ribu, setiap tamu diperkirakan bisa menghabiskan Rp 50 ribu sekali datang. Maka, meski setiap malam hanya terisi separuh, atau 1.500 tamu, berarti Rp 75 juta disedot. Lagi pula, ada pemasukan lain. Klub malam seluas 5 ribu meter persegi itu juga disediakan bagi mereka yang berminat menyelenggarakan pesta atau pameran. Gebrakan pertama dilakukan dengan menggelar pertunjukan akrobatik kondang dari RRC, China Shenyang Acrobatic Troupe selama sebulan. Chandra yakin betul, klub malamnya akan mampu menyedot para jutawan lokal bahkan mendatangkan turis dari negara-negara tetangga. Sebab, dalam soal kemegahan, Dynasty jelas tak ada saingan di Asia. "Dan kami selalu berusaha memberi pelayanan memuaskan, makanan lezat, dan pertunjukan-pertunjukan menarik," ujar Chandra kepada reporter TEMPO Liston Siregar. Kemewahan dan pelayanan memang nomor satu bagi pengusaha hiburan malam. Belakangan ini, teknologi canggih bahkan makin dilibatkan. Sinar laser atau layar monitor video raksasa tak lagi jadi barang aneh. Tapi toh segala kehebatan itu tak selalu menjamin datangnya rezeki. Diskotek Ebony, yang kondang di kalangan kelas atas di Jakarta, dalam dua tahun 4 kali menurunkan tarif lantaran kekurangan pengunjung. Maka, investasi US$ 1,8 juta, yang semula diperhitungkan bisa kembali dalam waktu 3 tahun, terpaksa diulur lagi. "Mungkin baru bisa terwujud tiga tahun", ujar Soerjanto Boedihardjo, presiden direktur PT Citra Mas Sarimas Mulia, pengelola Ebony. Walau begitu, bisnis hiburan malam tak dijauhi para pemilik duit. Terutama di Jakarta, tempat-tempat hiburan malam yang mengandalkan kemewahan berkembang makin subur. Dan pemiliknya selalu merasa mampu mengembalikan modal kurang dari 5 tahun, seperti Dynasty juga. Sejumlah artis kondang direkrut sebagai manajer. Misalnya, roker Ikang Eawzi di Superstar atau Broery Pesolima di Vigaro -- yang baru diresmikan pekan lalu. "Sebenarnya orang bukan mencari kemewahan, tapi kesenangan," kata Fahmi, pemilik Tanamur. Diskotek yang sudah 1 tahun selalu sarat pengunjung ini tak sediki pun berkesan mewah. Tapi tak bisa disangkal, mayoritas pengunjung disko tertua di Jakarta itu berasal dari lapisan menengah ke atas atau orang-orang asing yang berduit. Pernah didatangi Ratna Sari Dewi dan Michael Kennedy -- putra mendiang Senator Bob Kennedy. Rahasia Fahmi, karena dia tak membuat diskonya "resmi", sehingga setiap orang bisa bersukaria sepuas-puasnya. Selain itu, bagi kaum lelaki yang ngebet ingin "jajan", daya tarik Tanamur tentu saja tak bisa dilepaskan dari puluhan wanita malam -- baik profesional atau amatir -- yang mangkal di sana. Kalau mau mantap di kancah bisnis hiburan malam, daya tarik kaum hawa memang tak bisa diabaikan. "Orang-orang di kota besar masih butuh hiburan khas klub malam yang menyediakan pramuria untuk teman ngobrol dan dansa, serta pertunjukan-pertunjukan khusus," kata Sami Ransun manajer umum klub malam LCC-KOCA di Surabaya. Memang bukan rahasia lagi, hampir setiap klub malam menyajikan tarian strip tease atau paling rendah penyanyi berpakaian seronok yang mengundang gairah kaum lelaki. Maka, kemegahan dan suasana resmi yang dipadu dengan daya tarik kaum hawa seperti sosok Dynasty masih perlu diuji. Apakah mengundang orang untuk bersantai atau sebaliknya. Praginanto dan Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini