TERORIS merah misterius kini mengancam Jawa Barat. Sasaran utamanya: lumbung beras yang terbentang dari Cirebon hingga Bekasi. Teror ini membuat petani dan petugas hama sama-sama bingung. Gejala serangan yang mereka jumpai sungguh asing: bercak-bercak merah pada daun padi, yang kemudian melebar dan membuat helaian daun itu kering dan mati. Penyakit ini sama sekali baru di Indonesia. Bahkan, "Diduga, yang pertama kali di dunia," ujar Thamrin Bastari, Direktur Bina Produksi Departemen Pertanian. Penyebab penyakit bercak merah ini, menurut Thamrin, yang kini merangkap sebagai Direktur Perlindungan Tanaman, adalah bakteri dari marga Pseudomonas. Nama spesiesnya belum diketahui. Lantaran gejala serangannya yang khas -- dengan bercak-bercak memanjang warna merah -- para ahli sepakat menamainya Bacterial Red Strips (BRS). Bakteri itu, tutur Thamrin, pcrtama muncul di Subang, Jawa Barat, setahun lalu. Tapi masih malu-malu. Intensitas serangannya pun ringan. Berikutnya, muncul pula di Jember dan Malang, Jawa Timur. Menjelang tutup tahun, bakteri ini menyerbu Sumatera Utara dan Bali. Pada musim tanam 1988 ini, "BRS telah menyebar ke seluruh Jawa," ujar pejabat Departemen Pertanian ini. Di Jawa Barat, menurut catatan Dr. Entang Ruchijat, Kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan (BPTP) Ja-Bar dan DKI, BRS itu telah meneror tak kurang dari 5.000 ha sawah. Yang menjengkelkan, BSR itu doyan menjarah padi IR-64, yang kini sedang menjadi primadona. Padahal, IR-64 ini sedang ramai-ramainya dipromosikan lantaran memberikan hasil tinggi, di samping tahan menghadapi hama wereng generasi mutakhir, biotipe III. Selain IR-64, varietas Cisadane, Krueng Aceh, dan IR-46 pun diserbu pula. Penyakit setrip merah itu, "Bisa mengurangi produksi padi hingga 30 persen," kata Entang Ruchijat kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Pada beberapa kasus, akibatnya bisa lebih buruk. "Bisa menyebabkan puso," kata Hidir Sastraatmaja, ahli hama-penyakit dari IPB. Jika terjadi puso, kerusakan panen lebih dari 75 persen. Namun, pada kasus puso itu, BSR datang bersama dengan jenis patogen lain, seperti penyakit kresek. Asal-usul bakteri ini memang belum jelas. Berbagai jurnal pertanian dari mancanegara, menurut Dr. Sumardiyono, ahli penyakit tanaman dari UGM, "Tak pernah menyebut-nyebut bakteri Red Strips itu. Boleh jadi, bakteri itu bukannya imigran yang datang dari negeri asing." Dr. Kasumbogo Untung, rekan Sumardiyono di UGM, menduga BRS itu berasal dari sini-sini saja. Maksudnya, dari dulu sudah ada. "Entah dulu ngumpet di mana," ujarnya. Bakteri itu muncul sebagai penyakit, tutur Kasumbogo, setelah keseimbangan populasi dengan inangnya terguncang dan dia mengalami mutasi. Penyakit ini agaknya termasuk jenis yang mudah menular. Tempat tinggalnya yang ada dalam pembuluh padi, kata Sumardiyono, memungkinkan dia terbawa sampai ke malai. Lantas, dia muncul sebagai penyakit manakala butir padi itu ditanam. Kemungkinan lain, bakteri yang ada dalam jaringan tanaman itu terbawa hanyut oleh aliran irigasi. "Penyebaran lewat udara rasanya tak mungkin," kata ahli virus ini. Penyebaran lewat benih, kata Entang Ruchijat, bisa dicegah dengan seleksi. Caranya mudah, dengan larutan air-garam yang massa jenisnya diatur sampai 1,13. Lantas, benih yang bernas dimasukkan ke dalamnya. Butiran gabah yang mengapung pertanda benih tak sehat. Yang membuat pusing: belum ada bakterisida di pasaran yang teruji ampuh untuk melumpuhkan gerakan kuman penyakit itu. Ada Agrorhycine, yang, kata Antang, cukup mustajab untuk melindungi padi dari BSR. Problemnya, "Agromycine, di samping mahal harganya, juga tak terdaftar sebagai bakterisida untuk padi," kata Entang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini