Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sang budha tegak kembali borobudur untuk apa

Sepuluh tahun dipugar untuk hidup 1000 tahun lagi, satu keajaiban dunia yang diselamatkan dari kemusnahan. pekan ini upacara peresmian purna pugar dilakukan. (ling)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA buah derek raksasa, yang tahunan mengungguli tinggi candi, telah disingkirkan. Peti-peti kayu, yang tadinya berserakan, juga tak tampak lagi. Sejak awal 1983, pekerjaan di seputar candi Borobudur tinggal mematut-matuti lingkungan agar tampak rapi dan bersih. Kantor proyek dibersihkan dan dicat kembali. Juga pendapa besar dibenahi untuk pameran. Pekan lalu, menjelang candi memasuki upacara purna pugar 23 Februari sebuah Stasiun Bumi Kecil dipasang di dekat kantor proyek. Sebuah prasasti peresmian mendapat elusan tangan terakhir, sementara pohon hias mulai ditata di sekelilingnya. Secara keseluruhan, candi tampak bersih. Dinding-dindingnya telah tegak kembali. Tubuh sang Budha yang tadinya penuh panu (lichen) kini tampak lebih berseri. Ada 4.814 batu pengganti baru (replacing stones) yang membantu memperkokoh candi. Semuanya diberi tanda putih untuk membedakan batu asli lama. Batu pengganti ini cuma sekitar 4% dari seluruh jumlah batu candi yang dibongkar: 29.000 m3. Tetapi relief atau pancuran berukir yang tidak bisa diselamatkan lagi terpaksa harus ditambal dengan batu polos bersegi demi kokohnya bangunan. Di beberapa sela-sela batu, tampak timah hitam lempengan menyembul sebagai landasan penyaring air. Setelah dipugar, cantikkah Borobudur kini? Dr. Soekmono yang empunya kera tertegun. Lebih dari 10 tahun dia "bergaul" dengan candi ini. Ahli purbakala yang biasa mempunyai motto ngawula watu (mengabdi kepada batu) ini menarik napas panjang. Ketika peresmian purna pugar tinggal 7 hari lagi, keluar perasaannya. "Saya kaget. Saya agak kecewa," katanya pada TEMPO. Dia berpendapat bahwa jenggreng (postur) Borobudur kini berbeda. "Romantiknya kini tak ada lagi. Warnanya berubah." Sebelum dipugar, warna Borobudur hitam, bercampur abu-abu keputihan karena dia berpanu. "Kini jadi polycolour," kata Dr. Soekmono lagi. Ada kuning, ada warna pucat lainnya. Mungkin ini akibat kerja beberapa peneliti lain. Sebab untuk memperjelas pemotretan, dipakai bahan pewarna, oker kuning. Sejak pertama kali Borobudur ditemukan, niat untuk memugarnya telah tercetus. Tetapi selalu tertunda dan terputus. Di samping itu, Borobudur banyak mengundang ahli-ahli purbakala dan mereka selalu berusaha mendokumentasikan candi agung ini. Terutama reliefnya yang indah. Tahun 1885, J.W. Ijzerman berhasil mengungkapkan 200 relief yang selama ini tertutup di kaki candi terbawah. Hal-hal yang baik dan buruk, masalah hukum akibat perbuatan manusia, semua tertera dengan apiknya dalam Karmawibhanggo. Lima tahun berikutnya, pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan Borobudur. Mulai 1907-1911, Theodore van Erp mengadakan pemugaran. Pertama kali yang terbesar dalan sejarah hidupnya candi itu kembali. Pemugaran berikutnya, 1926-1940, tetap tertunda-tunda. Ada maleise, ada perang. Tahun 1960, pemerintah Indonesia mencanangkan bahwa candi berada dalam keadaan yang sangat kritis. Saat itu telah dipikirkan bagaimana caranya menghidupkan Borobudur 1000 tahun lagi. Karya van Erp dilakukan secara tambal sulam saja. Kemudian keluar SK pemerintah berikut penyediaan anggaran khusus, di tahun 1963. Pemugaran juga tidak jalan karena laju inflasi yang menderas dari peristiwa G30S di tahun 1965. Tahun 1966, pemugaran yang baru dalam tahap penelitian dihentikan sama sekali karena ketiadaan biaya. Dalam kongres Orientalist ke-27 di AS, 1967, keluar keputusan agar Borobudur segera diselamatkan. Tahun berikutnya muncul dua orang ahli dari UNESCO untuk mengadakan penelitian di tempat. Tahun 1972, rencana kerja yang lebih terpadu telah rampung dibuat. Tanggal 10 Agustus 1973, Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran secara sungguhan. Ketua Pelaksana Pembangunan Candi, Prof. Ir. Roosseno waktu itu mengatakan bahwa memugar Borobudur harus alon-alon angger kelakon. Lambat asal bisa terlaksana. Nyatanya baru bisa rampung 10 tahun kemudian. Ada beberapa sebab mengapa Borobudur menderita kerusakan. Peruma-tama, fondamen candi cuma sebuah bukit kecil yang tidak kuat menyangga beban berat ratusan ribu m3 batu. Lagi pula cara membuat fondasi cuma terdiri dari tanah uruk dan bingkah-bingkah batu, padahal Desa Borobudur termasuk daerah gempa. Selain itu batu-batunya tidak padat (porous) sehingga mudah aus. Lebih-lebih teriknya matahari di kawasan tropis ini. Musuh yang paling utama lainnya ialah air. Di musim hujan, guyuran hujan rata-rata sampai 100 mm per hari. Sehingga batu gunung jenis andesit ini bagaikan karet spons yang gemar mengisap air. Permukaan batu, terutama lekukan ukiran, menjadi geripis. Suatu proses fisiko-kimiawi dan biologi telah terjadi. Batu menjadi berpanu (lichen, algea, moss) atau berbisul (pustula). Sejak semula, maksud pemugaran ini bukan untuk tujuan persembahyangan umat Budha. "Borobudur adalah sebuah dead monument," kata Dirjen Kebudayaan Departemen P&K Prof. Dr. Haryati Soebadio. Menurut dia, apa yang dimaksud dengan living monument adalah bangunan kuno yang masih berfungsi. "Borobudur adalah benteng kebudayaan yang harus dipertahankan," demikian Soekmono. Ahli sejarah Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo menganggap candi ini sebagai "indikator dari derajat integrasi masyarakat." Dorongan untuk mendirikan candi sebesar itu memerlukan terpadunya kekuasaan politik, sosial, kultural dan religi yang membuahi sebuah solidaritas meluas. Walaupun biayanya besar ("biaya dalam arti luas, yaitu ekonomi, sosial politik"), Borobudur bukan sekadar proyek mercu suar, tetapi suatu pertanda surplusnya keadaan ekonomi. Dataran antara Kali Elo dan Progo tempat candi itu berdiri, adalah dataran yang subur. Tentang tenaga kerja, Sartono mengingatkan hal kedudukan raja waktu itu. Raja adalah wakil dewa di bumi. Sehingga kerik aji (mobilisasi umum) adalah lumrah. Rakyat rela menyediakan tenaganya, rakyat rela dikenakan pajak untuk dan demi Borobudur. Dasar yang kukuh lainnya ialah penghayatan agama. "Semua itu menunjang kekuasaan politik raja, di samping kemampuan teknologi," ujar Sartono. Karena itu, monumen bersejarah ini harus dipugar. Tahun 1975-1976, barulah dimulai pembongkaran 6 tingkat penampang persegi candi. Dimulai dari sisi utara dan selatan, kemudian menyusul sisi lainnya. Hasil restorasi van Erp cukup sempurna sehingga 4 tingkat berikutnya -- bagian candi yang penuh stupa -- dirasa cukup kuat dan tak perlu dibongkar. Pencatatan, pemotretan batu-batu yang akan dibongkar, pembongkaran, pemindahan batu ke lokasi tertentu, pengecoran fondasi beton, membersihkan batu dengan aneka zat pembersih kimiawi dan pekerjaan yang rumit dan memerlukan ketelitian tinggi, segera dimulai. Ada sekitar 300.000 batu yang harus dibongkar. Atau 29.000 m2 batu harus dicatat dan dipotret dari berbagai sisi dan posisi. Selain itu ada sekitar 10.000 batu yang berserakan bertahuntahun lamanya, harus pula disetel dicocokkan ke candi. Selain itu, sekitar 6.000 m3 batu dinyatakan "sakit" dan memerlukan perawatan khusus. Penyakit tiap sisi candi sangat erat hubungannya dengan keadaan cuaca. Pada sisi timur, kerusakan biologis, kecil. Tetapi besar kerusakan karena kemis, endapan garam yang menimbulkan proses kimia. Oker kuning yang dipakai van Erp ternyata menimbulkan kerusakan kemis. Tetapi sinar matahari cukup banyak, sehingga batu di sisi timur cukup kering. Kerusakan di sisi selatan, karena kurang mendapat sinar matahari (matahari di Borobudur ternyata lebih banyak berada di utara), terjadi kerusakan biologis. Demikian pula sisi utara dan barat, karena kelembaban rata-rata sampai 90%. Batu-batu yang dirumahsakitkan ini disikat dengan sikat ijuk. Ada pula yang harus dikorek pelan-pelan dengan jarum. Setelah bersih, batu kemudian diguyur dengan pasta, kemudian dicopot, diberi zat pembersih kimiawi dan terakhir dimasukkan ke ruang hampa udara. Proses itu memerlukan waktu dua minggu untuk setiap batu. Kemudian pekerjaan melompat ke hal rumit lainnya. Bagaikan anak kecil bermain dengan jigsaw puzzle, tidak banyak berbeda dengan menata kembali batu-batu candi ke tempat semu!a. Tetapi dalam jumlah yang ratusan ribu. Untung ada komputer. Lewat alat ultra modern ini, tiap batu dicatat. Komputer juga bertindak sebagai kontrol manajemen pekerjaan. Setiap kali dia memberikan tanda kemajuan perencanaan kerja. Bahkan ia mengingatkan mana pekerjaan yang akan menghasilkan keterlambatan atau kemajuan. Tugas komputer yang ketiga dan tersulit ialah menjodohkan batu ke asalnya. Terutama untuk mencocokkan tubuh-tubuh Budha yang tanpa kepala dengan kepala-kepala Budha yang tadinya berserakan. Menjodoh-jodohkan kepala Budha dengan tubuhnya ini telah dilakukan sejak 1969 Bermula dilakukan cara yang paling sederhana tapi cukup merepotkan. Yaitu dengan membawa kepala Budha yang beratnya sekitar 15 kg ke sekitar 280 patung Budha tanpa kepala. Tentu cara ini paling tidak efektif. Tahun 1973, kemudian dicoba dengan membuat cetakan dari sebagian leher pada kepala. Seorang pegawai purbakala kemudian berkeliling mencari leher lain yang jodoh. Hasilnya pun tak banyak. Tahun 1975, "kami mencoba menawarkan jasa kami," kata Vijay K. Khandelwal, insinyur IBM Australia yang khusus diproyeksikan untuk Borobudur. Semula para arkeolog angkat bahu. Prof. Roosseno juga turut bertanya: "Apa yang bisa dilakukan oleh sebuah komputer?" Khandelwal terus terang juga angkat bahu. G. Sumariyono, Kepala Pemasaran IBM, orang yang pertama kali mempunyai ide ingin membantu Borobudur dengan komputer, juga geleng kepala. Selama 6 bulan pertama, pihak IBM mencoba mencari-cari pekerjaan. Komputerisasi pekerja terlalu kecil. Proyek Borobudur cuma memakai tenaga sekitar 700 orang. Di bidang lain seperti penyelidikan tanah, foto dan bagian lainnya, kurang efektif. Akhirnya IBM bisa dipakai untuk mencatat data, perencanaan dan menjodohkan letak semula batu. Meskipun Khandelwal dan teman-temannya bekerja sampai tahun 1977 saja, masuknya komputer di proyek pemugaran ini merupakan katalisator semangat kerja. Kewalahan kerja yang dicatat komputer menjadi mengecil, karena jauh sebelumnya teknologi modern ini telah memberi tanda peringatan. "Kalau dijumlah dalam bentuk uang," kata Khandelwal, "tidak berarti sama sekali." Tetapi jasa yang lebih besar adalah dilatihnya sekitar 30 orang tamatan SMA setempat tentang bagaimana menggunakan komputer. Pemakaian komputer untuk bidang arkeologi memang bukan pertama kali di Borobudur. Sebelumnya, UNESCO telah menerapkan komputer di proyek Abu Simbel, patung raksasa di zaman Mesir berfiraun. Ketika bendungan Aswan dibuat, Abu Simbel ini terendam air dan berhasil dinaikkan. Tetapi tidak ada laporan tertulis yang kemudian bisa dikaji. Untuk proyek Borobudur, paling sedikit ada 3 buku laporan tentang hal ini. Dalam hal ini, aplikasi komputer dapat diandalkan. Cuma dalam menjodoh-jodohkan kepala Budha, komputer harus berhadapan dengan faktor alami. Sebab kalau batu sudah aus, komputer kehilangan kemampuannya. Khandelwal mengatakan bahwa sampai Mei 1977, cuma ada 6 kepala Budha yang menurut dugaan komputer cocok. "Tapi kata akhir ada di tangan arkeolog," ujarnya. "Kami cuma memberikan data yang di mata awam tampaknya juga jodoh." Tapi tidak jodoh di pikiran dan perasaan ahli purbakala. Di sinilah muncul konflik antara Ilmu Eksakta dan Ilmu Sosial. Menurut Khandelwal, kalau batu-batu itu dicocokkan secara manual -- tanpa bantuan komputer -- "seluruh pekerjaan akan selesai dalam waktu 70 tahun," ujarnya. "Ah, saya rasa, tanpa kami-kami ini, Borobudur sekarang belum selesai," kata Ahmad Kahardi, 69 tahun, seorang tukang setel batu. Sebanyak 20 orang seperti Pak Ahmad dipekerjakan di proyek ini dengan gaji rata-rata Rp 1.200 per hari. Bermula dari tukang angkat batu-batu candi, mereka kemudian diminta membantu menerapkan kembalinya batu ke tempat semula. Dan jadilah mereka pekerja dengan pengalaman di atas 20 tahunan. "Pengalaman kami karena terbiasa," kata Abdul Kamari, "sebab batu yang tidak jodoh itu akan terasa di perasaan dan tangan kami." Mereka bekerja tanpa melihat foto. Juga tidak memahami jalan ceritera yang ada di relief. Dan semuanya berpendapat bahwa memugar candi Prambanan lebih mudah ketimbang Borobudur. Prambanan lebih gampang dicocokkan, sementara di Borobudur batu dan patung-patungnya banyak yang sama. Belum lagi harus dicocokkan dengan salah satu dari empat sisi candi asal batu tersebut. Tidak jarang, seharian penuh mereka tidak bisa menjodohkan batu. "Di saat itulah, kami tidak enak makan dan tidur," kata Wakijo, 72 tahun. Secara resmi, pemugarannya selesai Februari ini. Cuma 10 tahun, sedangkan pemugaran gugusan Loro Jonggrang di Prambanan telah menelan waktu 35 tahun (1918-1953). Perkiraan biaya semula, cuma US$ 7,75 juta (1973). Sejak semulaUNESCO menyanggupi akan menyumbang sebesar US$ 6 juta. Kenyataannya, seluruh pembiayaan untuk menolong kemusnahan Borobudur ini menja di US$ 25 juta. UNESCO sampai 31 Juli 1982, telah berhasil mengumpulkan dana sebesar US$ 6.500.630. Uang ini adalah hasil kampanye UNESCO lewat radio, film, prangko, poster dan pameran Borobudur di seantero negeri. Jepang sebagai negara penyumbang terbesar (US$ 1.150 ribu) dari 23 negara. Penyumbang terkecil adalah Cyprus (US$ 484,80). Selain itu ada pula penyumbang swasta seperti American Committee for Borobudur (US$ 1.280.036) dan Japanese Association for the Restoration of Borobudur (US$ 10.296,20). Pemerintah Indonesia ternyata membiayai 75% dari seluruh biaya pemugaran. Ditambah lagi dengan biaya peresmian yang kabarnya menelan biaya ratusan juta rupiah. Mahal? Rupanya memang tidak ada batas harga untuk suatu karya besar bersejarah seperti Borobudur. Selain itu banyak pula "hasil sampingan" yang menguntungkan. "Kami telah belajar cara-cara konservasi," ujar Samidi Kepala Sektor Kemiko-arkeologi. Kini ada sekitar 40 kemiko-arkeolog yang tersebar di berbagai museum di Indonesia. Asal muasal mereka belajar ya ketika Borobudur dipugar. Kini Indonesia menjadi pusat studi konservasi monumen untuk kawasan ASEAN. Hasil sampingan lainnya selama pemugaran Borobudur ialah ditemukannya sejumlah gerabah yang diperkirakan alat upacara, ribuan stupika dari tanah liat, lempeng perak, timah hitam dan emas. Temuan itu didapat di pelataran depan pendapa. Mungkin dulu ada semacarn padepokan, karena tampak bekas fondasi meskipun hanya sebagian. Lempengan dengan tulisan Pallawa itu ternyata catatan mantra-mantra. "Tampaknya di bagian selatan dan barat candi digunakan sebagai tempat upacara pemujaan," kata Drs. Boechori, epigraph dari FSUI. Masalah lain, apa tindakan selanjutnya kalau Borobudur telah dipugar? "Perawatan," jawab Soekmono cepat. Reaksi dari disembuhkannya batu-batu yang sakit perlu pula diteliti. Samidi menyatakan paling tidak harus ada 70 orang yang merawat candi. Selain laboratorium, nanti ada pula pusat studi Borobudur. "Dan itulah saatnya saya menulis dan mencoba menyingkap misteri Borobudur," kata Soekmono. Menurut bekas Kurator Borobudur dan Prambanan Drs. Harsono, ceritera yang ada di relief Borobudur baru berhasil diungkapkan 20% saja. Lepas dari masalah penelitian ilmiah itu, Soekmono berkata mantap: "Batas kemampuan manusia itu jelas ada. Secara maksimal, kita cuma memperlambat kemusnahan Borobudur."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus