Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua bulan, Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, berubah wajah. Jalanan di Kota Batiah—julukan Payakumbuh—penuh poster, bukan hanya alat peraga kampanye para kontestan Pemilihan Umum 2024, tapi juga spanduk-spanduk pemerintah daerah yang mengimbau warganya agar tak membuang sampah sembarangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota Payakumbuh memang tengah dirundung masalah sampah. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Payakumbuh tutup sejak mengalami longsor pada 20 Desember 2023. Sejak saat itu pula sampah meluber di kota yang lima tahun lalu meraih penghargaan Adipura ini. Tempat penampungan sementara (TPS) di Jalan Rasuna Said, Kubu Gadang, Kota Payakumbuh, misalnya, tak ubahnya TPA. Sampah-sampah berserakan, bahkan di bawah spanduk larangan membuang sampah yang dipasang pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan sampah yang berlarut-larut ini membuat warga Kota Payakumbuh makin resah. Nadarman, warga Kelurahan Balai Jaring Air Tabik, Kecamatan Payakumbuh Timur, menilai sampah yang berserakan tidak hanya tak elok dipandang, tapi juga menimbulkan bau busuk. "Bau amis ini sangat mengganggu, apalagi ketika cuaca panas," kata Nadarman, Selasa, 27 Februari lalu.
Latifah, warga Kecamatan Lamposi Tigo Nagari, waswas terhadap dampak lainnya. Dia khawatir sampah yang tak terurus menimbulkan malapetaka susulan, seperti banjir dan wabah penyakit. “Saya berharap persoalan sampah ini bisa diselesaikan cepat,” ucapnya.
Warga melintas dekat tumpukan sampah akibat penutupan sementara TPA Regional Payakumbuh di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, 12 Februari 2024. TEMPO/Fachri Hamzah
Sebenarnya pemerintah daerah tak bertopang dagu. Selain memasang banyak spanduk larangan membuang sampah, Pemerintah Kota Payakumbuh telah menetapkan status masa tanggap darurat sampah. Sejak akhir tahun, kerja sama juga diintensifkan dengan Pemerintah Kota Padang. Sebagian sampah dari Kota Payakumbuh, yang bisa mencapai 80-100 ton per hari, dikirim ke TPA Air Dingin, Padang.
Masalahnya, solusi ini hanya sementara. Penjabat Wali Kota Payakumbuh, Jasman Rizal, mengatakan biaya pengiriman sampah ke Kota Padang juga tak murah. Pemerintah daerah hanya bisa mengoperasikan separuh dari total 30 unit truk sampah yang tersedia. “Kami hanya mampu mengangkut sampah sebanyak 15 truk setiap hari untuk dibuang ke Padang,” katanya.
Pada sisi lain, TPA Air Dingin hanya bisa menampung sampah kiriman dari Payakumbuh sampai awal Maret nanti. Gara-gara TPA Regional Payakumbuh jebol, TPA Air Dingin juga harus menampung kiriman sampah dari Kota Bukittinggi. TPA Regional Payakumbuh selama ini tak hanya menjadi tumpuan pengelolaan sampah dari Payakumbuh, tapi juga Bukittinggi, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Agam Timur.
Penjabat Wali Kota Payakumbuh, Jasman Rizal,
Karena itu, solusi lainnya tengah disiapkan dengan berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Hasil penilaian Kementerian PUPR menunjukkan TPA Regional Payakumbuh, yang sebelum jebol sudah kelebihan volume sampah dibanding kapasitasnya (over-capacity), harus ditutup permanen. Karena itu, Pemerintah Kota Payakumbuh tengah mengupayakan agar lahan TPA, yang menjadi aset Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tersebut, bisa dipinjam lebih dulu.
“Kami tidak tahu juga ke mana lagi membuang sampah karena TPA regional sekarang hanya ada di Padang. Sedangkan kontrak dengan Kota Padang habis pada 3 Maret 2024,” kata Jasman, yang berharap bisa segera menyelesaikan urusan sampah ini sebelum kontrak dengan Pemerintah Kota Padang berakhir.
Buah Masalah Kronis Pengelolaan Sampah
Longsornya TPA Regional Payakumbuh menguak masalah pengelolaan sampah di Sumatera Barat yang kronis. Selama ini, Sumatera Barat hanya memiliki 13 TPA di tingkat kabupaten/kota dan dua TPA regional—yang melayani pembuangan sampah lintas kabupaten/kota. Sebagian dari tempat pembuangan sampah tersebut juga telah over-capacity.
Dokumen paparan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat tertanggal 12 Januari 2024 menggambarkan seabrek masalah lainnya. Pengelolaan sampah di Sumatera Barat sebenarnya tak hanya mengandalkan 13 TPA dan dua unit TPA regional, tapi juga tempat pengolahan sampah reduce-reuse-recycle (TPS3R) dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang tersebar di 11 kabupaten/kota. Namun banyak di antara TPS3R tersebut tidak beroperasi optimal, bahkan tidak aktif lagi. Di Payakumbuh, misalnya, dua dari lima unit TPS3R tercatat tidak aktif. Tiga unit sisanya berstatus tidak optimal.
Merujuk pada dokumen tersebut, Kementerian PUPR telah membangun 30 TPS3R sejak 2007. Namun sekitar 90 persen di antaranya tidak aktif lagi. Sebagian TPS3R berubah fungsi menjadi bangunan, pengelolanya tidak bisa lagi ditemukan, dan belum diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota.
Pada sisi lain, bank sampah unit (BSU) di tingkat kelurahan atau kecamatan serta bank sampah induk (BSI) di kabupaten/kota juga banyak yang mati akibat persaingan harga dengan pelapak barang bekas, rendahnya komitmen pengurus, dan minimnya dukungan instansi pemerintah. Jumlah BSU dan BSI tersebut bahkan tidak bisa dipastikan lagi selepas masa pandemi Covid-19. "Manajemen bank sampah amburadul," begitu tertulis dalam dokumen DLH Provinsi Sumatera Barat.
Rapor merah pengelolaan sampah itu bertolak belakang dengan volume sampah yang terus meningkat di Sumatera Barat. DLH Provinsi Sumatera Barat mencatat volume sampah per semester I 2023 telah mencapai 966,44 ribu ton. Angka itu bahkan lebih tinggi 0,93 persen dibanding volume sampah sepanjang tahun sebelumnya.
Baca Juga:
Warga melintas dekat tumpukan sampah akibat penutupan sementara TPA Regional Payakumbuh di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, 12 Februari 2024. TEMPO/Fachri Hamzah
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat, Tasliatul Fuaddi, menyatakan telah melakukan sejumlah upaya untuk menyelesaikan masalah sampah di Sumatera Barat, termasuk lewat kolaborasi pemerintah, dunia usaha, kelompok masyarakat, dan akademikus. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sejak enam tahun lalu juga telah mengatur kebijakan dan strategi pengelolaan sampah tersebut dengan menerbitkan Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 60 Tahun 2018. Saat ini pemerintah juga tengah menyiapkan revisi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 8 Tahun 2018 tentang TPA Regional.
"Secara existing kabupaten dan kota telah ada TPA. Khusus di Kota Bukittinggi, Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, dan Kabupaten Agam bagian timur ke TPA Regional Payakumbuh. Sedangkan Kota Solok dan Kabupaten Solok ke TPA Regional Solok," kata Fuaddi.
Namun, Fuad menyampaikan, pengelolaan sampah juga terhambat lima persoalan, dari urusan teknis, regulasi, pembiayaan, kelembagaan, hingga peran masyarakat. Secara teknis, banyak TPS yang masih memakai teknologi konservatif. Tingkat pelayanannya juga rendah.
Adapun dari sisi regulasi, sebagian daerah belum menerbitkan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah di wilayah mereka, termasuk urusan retribusinya. Kalaupun ada, seperti Kota Padang, banyak pemerintah kabupaten/kota yang tak memiliki dokumen rencana induk persampahan.
Pengamat kebijakan publik, Rozidateno Putri Hanida, menilai kebijakan pemerintah daerah belum efektif menangani sampah karena bersifat top-down. Padahal, menurut dia, pengelolaan sampah semestinya dimulai dari bawah.
Karena bersifat top-down, beberapa kegiatan yang digulirkan pemerintah justru menimbulkan masalah baru. Rozi mencontohkan, program Padang Bagoro yang diselenggarakan Pemerintah Kota Padang. Digelar setiap pekan, kegiatan gotong royong yang melibatkan perangkat pemerintah dan masyarakat ini diklaim untuk menciptakan budaya peduli sampah dan lingkungan.
Baca Juga:
Masyarakat, kata Rozi, siap menjalankan program tersebut. "Tapi sepertinya masyarakat juga tidak tahu bagaimana cara memperlakukan sampah setelah bergotong-royong. Pada akhirnya, memperlakukannya sekadar mengumpulkan, belum sampai pada tahap mengelola sampah tersebut," kata pengajar Administrasi Publik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, ini.
Menurut Rozi, pemerintah daerah perlu menyiapkan sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi. Selama ini, kata dia, TPA dan TPS di sejumlah kabupaten/kota tidak lebih dari tempat menumpuk sampah. "Tidak ada proses pilah dan pilih di level rumah tangga. Inilah yang menjadi berat sebenarnya untuk pengelolaan sampah guna mencapai zero waste,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo