DAMPAK kebakaran hutan Kal Tim tahun lalu, pada ekologi masih belum habis. Tindakan penyelamatannya? "Kini kami sedang bengong! Sebab, kebakaran yang, katanya, terbesar di dunia baru sekali ini terjadi," ujar Ir. Kuswanda Wijayakusumah, M.F., 51, staf Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup Alam, di Kantor Menteri Negara Kependudukan & Lingkungan Hidup (KLH). Rencananya, seperti diutarakan Menteri Negara KLH Emil Salim, dua minggu lalu, sebuah tim dalam waktu dekat akan dibentuk untuk meneliti kebakaran hutan di Kal-Tim ini. Tapi tim yang akan terdiri dari unsur Departemen Kehutanan, LIPI, Departemen Transmigrasi, KLH, dan beberapa instansi lainnya tampak belum segera bisa bergerak. Sebab, kelompok kerja yang akan dikoordinasikan oleh KLH ini masih harus menunggu anggarannya. Itu berarti baru bisa berjalan setelah dana keluar dari APBN 1985/ 1986. Tak heran bila penelitian terhadap kebakaran hutan Kal-Tim belum dilakukan secara intensif. Yang ada baru pendapat pejabat atau ahli sebagai hasil peninjauan. "Sedangkan penelitian itu harus dilakukan dari atas dan dari bawah," kata Kuswanda. Penelitian dari atas berguna untuk melihat keseluruhan kerusakan. Lalu berdasarkan foto udara itu kemudian dilakukan penelitian dari bawah. Menurut Kuswanda, inilah cara paling praktis, karena tak mungkin menjengkali hutan seluas 3,6 juta ha itu lewat jalan darat. Kendati cara menelitinya sudah tahu, pelaksanaannya tak gampang. Indonesia belum mempunyai peralatan penginderaan jarak jauh. Padahal, dengan hasil pemotretan alat itu bisa dilihat mana hutan atau alang-alang, mana vegetasi basah atau kering. Dengan demikian, kata Kuswanda, bisa dideteksi di mana saja hutan yang terbakar, setengah terbakar, dan sebagainya. Sampai kini baru ada satu penelitian tentang kebakaran hutan di Kal-Tim. Itu dilakukan oleh Lennets dan Panzer, staf proyek TAD (Transmigration Area Development) dari Jerman Barat di Kal-Tim, bersama PPA, Dinas Kehutanan setempat, dan Universitas Mulawarman. Meski berbeda pendapat dengan tim Universitas Mulawarman tentang luas kerusakan - tim Unmul mengemukakan angka lebih kecil dari 3,6 juta hektar sebagaimana disinyalir TAD - untuk sementara hasil TAD-lah yang akan dijadikan pegangan oleh kelompok kerja di bawah KLH. Setelah memotret selama 14 jam terbang, tim TAD menemukan lebih dari 10% pucuk pohon menunjukkan kekeringan. Penyebabnya, menurut kesepakatan tim, adalah musim kemarau yang panjang - konon terpanjang selama 100 tahun terakhir. Selama ini di Kal-Tim curah hujan rata-rata 2.1 48 mm per tahun. Tapi dari Juli 1982 sampai April 1983 curah hujannya hanya 570 mm. Diduga ini adalah akibat topan El Nino di Lautan Pasifik yang mengacaukan tata cuaca normal. Ketidaknormalan cuaca ini, yang juga memukul kawasan Australia dan Afrika Selatan, dapat menimbulkan gelombang panas, kekeringan, dan kebakaran. Tim TAD mencatat bahwa kekeringan yang timbul di Kal-Tim demikian parah, sehingga kekeringan pada hutan gambut rawa-rawa tercatat sedalam 0,5 m. Baru setelah hujan turun pada bulan Mei 1983, keadaan berubah. Bahkan api yang menjalari jutaan hektar hutan Kal-Tim ikut padam. Tim Jerman-lndonesia kemudian menjabarkan hasil penelitian mereka atas kawasan 3,6 juta ha itu - 15% dari seluruh kawasan Kal-Tim. Menurut mereka, areal itu terdiri dari 800 ribu ha hutan primer, 1,4 juta ha hutan produksi, 750 ribu hutan sekunder dan tanah olahan, dan 550 ribu ha hutan gambut rawa-rawa. Yang rusak hebat 75%. Perincian resmi dari pemerintah kawasan yang rusak itu 60% adalah hutan lindung 35% hutan produksi, dan 5% suaka alam tempat 500 species anggrek Kalimantan tumbuh. Padam api, muncul perusak baru. Larva ulat dan kumbang Amrosia, yang hidup di bawah kayu-kayu yang telah jadi arang, menembus pohon-pohon yang belum terbakar habis dan masih mempunyai nilai ekonomis. Diperkirakan, sedikitnya ada 3 juta m3 kayu sisa kebakaran yang masih bisa dimanfaatkan untuk arang dan chips. Konsekuensi ekologis terbakarnya hutan Kal-Tim: fauna dan flora di areal itu musnah total. Prof. Sambas Wirakusumah dari Unmul menyatakan kekhawatirannya tentang masih adanya orangutan di kawasan itu. Sebab, orangutan tak punya kemampuan lari cepat ke tempat terlindung. "Belum lagi dampaknya terhadap tanah, hidrologi, udara, dan cuaca," kata Sambas. "Dari semua dampak kebakaran itu manusialah yang menerima tumpuan kerugian," kata Emil Salim kepada TEMPO. Penduduk, misalnya, kini sudah mengeluh tak lagi dapat memungut hasil hutan, seperti rotan, damar, dan buah tengkawang. "Berburu pun sulit. Sekarang sudah seperti tak ada binatang," ujar Balit, 38, penduduk pedalaman Kutai. Sedangkan Abdul Hamid, 52, dari Handil II menangisi kebun kelapanya yang kini bagaikan lidi raksasa. Lennets dan Panzer memperkirakan, tahun 1985 akan terjadi krisis kayu. Dengan musnahnya sekitar 35 juta m3 kayu yang diharapkan bisa dipanen, tahun depan, Indonesia akan kehilangan pemasukan US$ 5,5 milyar. Rektor Mulawarman Soetrisno Hadi menyatakan, jumlah itu sama dengan sepuluh kali lebih APBD Kal-Tim 1984/ 85. Tapi, menurut taksiran Dinas Kehutanan Kal-Tim, kerugian cuma US$ 1,8 milyar. Untuk mencegah kerugian merembet luas, direktur Balai Penelitian Hutan Kal-Tim, Dr. Soetarso Priosukmana, kini mempersiapkan 10 macam penelitian (mulai jenis tanah, iklim, hama, sampai gulma) akibat kebakaran ini. Ini, antara lain, perlu untuk mengetahui jenis tumbuhan apa yang cocok ditanam di sana. INI perlu untuk mengurangi risiko baru bagi kelestarian lingkungan. Tim Jerman-Indonesia berpendapat, kalau hutan terbakar lagi, risikonya akan lebih besar. Api akan lebih cepat menjalar karena angin tak lagi terhalang oleh pohon-pohon besar. Nyala api setinggi 3 m akan menghabiskan dedaunan secara total, 75% semak-semak, dan 80% lapisan tanah organis. Hal ini, menurut Kuswanda, bisa dicegah kalau penyuluhan larangan bakar hutan dalam sistem ladang pindah digalakkan. Perlu ada larangan membakar semak kalau lebih dari 10 hari tak turun hujan. Pemegang HPH diwajibkan membuat "pagar pencegah api". Dan langkah terbesar ialah menghutankan kembali areal dengan tanaman keras - tahap pertama pinus, akasia, dan ekaliptus setelah itu baru ditanam meranti merah, meranti kuning atau meranti putih, dan keruing (Dipterocarpus sp.). Kini hutan Kal-Tim bekas keakaran itu memang mulai menghijau lagi. Suksesi alamiah. "Cuma, kualitas hutannya turun," ujar Emil Salim. Tapi kalau sampai terbakar sekali lagi, maka padang ilalang yang akan tumbuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini