Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah keputusan dari seorang istri

Sutradara: chaerul umam produksi: pt prasidi film pemain utama: sitoresmi, el manik resensi oleh: bambang bujono. (fl)

30 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATI YANG PERAWAN Pemain Utama: Sitoresmi Prabuningrat, El Manik Skenario: M.T. Risjaf Sutradara: Chaerul Umam Produksi: P Prasidi Film SEMENTARA kreditasi berjalan di sisi kiri, di bidang kanan layar tampak dua perempuan berdialog, yang disuguhkan dalam silhuet. Dialog antara Nanin dan ibunya. Mereka berbicara tentang suami Nanin, seorang lelaki yang berpenghasilan cukup, bertakwa, dan siap mengulurkan tangan kepada sanak saudara. Itulah adegan pembuka yang artistik dari film Hati yang Peraqan yang dipadu dengan dialog yang kira-kira akan mengantarkan satu kisah asyik buat dinikmati. Tapi bila kemudian suasana dialog berkepanjangan terus mengalir, maka yang terasa ialah sebuah film yang lamban dan sumpek. Sebuah film yang miskin dalam gambar, tapi terlalu banyak kata-kata. Arah dialog dalam awal, ke mana perinya? Baru setelah sekitar setengah jam film berputar, ketika muncul Minati Atmanegara, sebagai istri muda, di rumah Nanin (yang diperankan Sitoresmi), arah yang dijanjikan pada awal mulai terasa. Nanin, sang istri tua, memendam masalah sejak lama. Istri yang cukup dalam materi im secara batlniah seolah hidup di padang gersang. Bukan saja ia tak mendapatkan kasih sayang suami, tapi Nanin sendiri ternyata selalu gagal mencoba memahami dan mencintai suaminya (yang diperankan El Manik). Perceraian adalah pintu yang ditawarkan akal sehatnya untuk keluar dari kungkungan. Tapi bagaimana dengan anak-anak? Sebenarnya, tema cerita film yang diangkat dari novel yang berjudul yang sama karya Prasanti (nama samaran Budiyati Abiyoga, produser film ini) ini memberi kesempatan bagi pemain untuk memerankan tokoh-tokoh yang penuh konflik. Entah karena skenario, yang begitu taat kepada novelnya, menyuguhkan dialog panjang-panjang yang penuh, ungkapan bak kata-kata mutiara itu maka ia menghilangkan kesempatan itu. Soalnya, yang tersorotkan di layar putih adalah para pemeran yang berdiri, duduk, tak banyak gerak, tapi yang terus nerocos berbicara. Melelahkan. Contoh yang bagus cuma dialog antara Nanin dan mertuanya. Ibu mertua itu mohon agar menantunya tidak minta cerai, karena itu menjatuhkan martabat keluarga. Adegan ini terasa bagus justru karena ayah mertua nyaris tak berbicara. Tapi dari caranya berekspresi (yang diperankan Soekarno M. Noor) cukup membentuk suasana yang mendukung dialog-dialog itu. Memang ada anak-anak Nanin (dua perempuan dan satu lelaki), yang ketiganya bermain dengan bagus, terutama Nurul Arifin sebagai anak tertua. Tapi suasana sumpek dan lamban tetap tak terguncangkan. Seolah kelambanan telah menjadi sebuah gaya bercerita. Mungkin sutradara mengharapkan dari kelambanan itu tecermin watak Nanin sang istri tersia-sia, yang begitu patuh pada kata suami. Ini memang kaidah normal, bahwa sunyi diekspresikan dengan bukan keramaian, kegemblraan dengan sorak dan tawa ria. Soalnya kemudian, bagaimana menghindarkan kedataran yang kemudian muncul, bagaimana menyelipkan hal-hal yang bisa mencairkan kebosanan, tapi tetap tak mengganggu isi cerita? Dan, bila masa putar film sekitar satu setengah jam, sementara adegan yang mencairkan itu hanya sekali terjadi, yakni ketika Minati muncul, lambatnya waktu berputar memang terasa sekali. Sitoresmi, sebagai pemeran utama yang hampir selalu hadir sepanjang film, tak banyak menyajikan akting seiring dengan perkembangan cerita. Baik ketika ia bertemu El Manik, sebagai suaminya, di rumah. Baik, ketika ia menerima Salman Hidayat, mahasiswa arsitektur yang mengaguminya di rumahnya. Atau, ketika ia bertemu Salman di kampus sehabis mahasiswa itu menempuh ujian akhir, semua seperti tak berubah. Padahal, semestinya pertemuan di depan kampus ltu, sebagal adegan penutup, menggambarkan Nanin yang sukses melewati pintu kemelut yang selama ini berkecamuk di hatinya. Yakni, keberaniannya minta cerai dan keberaniannya menyambung hidup dengan Salman (yang diperankan Deddy Miswar). Mungkin novel itu sendiri yang diikuti dengan setia oleh skenario, kurang kuat berkisah. Dan sutradara seolah begitu takut, apabila Sitoresmi sebagai Nanin berakting secara lain, citra perempuan Jawa yang tunduk pada kemauan suami jadi hilang karenanya. Bagi Chaerul Umam, akting Sito seperti itu memang disengajanya. "Bukan kelambanan, tapi usaha agar terasa intens," katanya, tentang pemeran tokoh utama film ini. Maka, persoalannya - mungkin ini masalah klasik - bagaimana memindahkan kata-kata menjadi gambar. Bukannya memasang gambar untuk berkata-kata. Agak mengherankan kalau ini jadi masalah bagi sutradara yang pernah membuat adegan-adegan bagus untuk sebuah film yang pantas dipuji - film terdahulunya, Titian Serambut Dibelah Tujuh. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus