HAMPIR bisa dipastikan, dalam sejarah Indonesia Rhoma Irama adalah seorang penghibur paling jempol. Dalam kenyataannya Raja Dangdut ini telah menguasai industri perkasetan dan film. Boleh dibilang, sejak rapat-rapat raksasa di masa demokrasi terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma. Selalu saja orang bertanya, melalui artikel di majalah atau dalam kolom-kolom surat kabar, kenapa dan bagaimana kok bisa populer sedemikian rupa. Jawaban-jawabannya ternyata lebih mengungkapkan sikap kaum intelektual terhadap dangdut dan kebudayaan pop modern umumnya. Mereka menuding Rhoma tak memiliki orisinalitas, imitasi, telah menghamba kepada selera massa dan tidak menjaga patokan-patokan kebudayaan yang semestinya. Mengkomersialkan seni dan agama. Dan, yang tampak belakangan ini, mencampurkan politik ke dalam arena hiburan. Tentu saja semua itu merupakan komentarkomentar subyektif saja terhadap dangdut dan ketenaran sang bintang. Tak sedikit pun menjelaskan soal kepopuleran itu. Dan, bahkan, sangat tidak menolong keadaan. Ingat, Remy Sylado pernah mencap bahwa dangdut adalah "musik tahi anjing". Sementara itu, Jack Lesmana menganggap dangdut setingkat gado-gado. Dan jazz, katanya, adalah bistik. Yang sebenarnya, bagaimanapun, dangdut - di sini yang saya maksudkan terutama karya Rhoma, bukan yang termasuk kelompok cubit-cubitan di luar Rhoma - telah populer lantaran berbagai alasan yang sehat. Oleh sebab itu, musik dan orang yang menciptakannya harus ditanggapl dengan sungguh-sungguh. Lebih dari itu, bagi saya, musik Rhoma Irama memiliki orisinalitas dan berkualitas tinggi, hasil kerja seorang yang berbakat istimewa. Tentu saja salah kalau menganggap Rhoma sekadar meniru-niru lalu mematut-matut musik irama Melayu atau telah mencaplok dasardasar rock Amerika dan Inggris. Sebagai contoh, musik dalam film Perjuangan dan Doa. Siapa pun yang dengan cermat dan bersikap obyektif mendengarkannya, akan mengakui kemahiran Rhoma Irama mengocok sejumlah gaya dan, lebih jauh, menjadikannya sebagal sesuatu yang sama sekali baru dan menakjubkan. Lagu Nafsu Serakah, menurut saya, dilihat dari segi musik, merupakan tonggak dalam perkembangan kebudayaan Indonesia modern. Dibandingkan dengan segerombolan penyanyi country, bandband yang sok nge-rock, dan rekaman-rekaman akustik keroncong, Rhoma Irama dan musiknya tampil lebih kukuh, segar, dan jumawa (meyakinkan). Apakah kalangan rakyat menyadari hal ini? Jawabannya adalah "ya". Dan saya setuju dengan Elvy Sukaesih, yang sekali waktu pernah bilang bahwa masyarakat adalah hakim yang baik untuk urusan bakat. Boleh dibilang, semangat kebudayaan populer semacam itu kampungan, dilihat dari satu segi. Tapi itu sudah menjadi patokan yang pas dan toh para pendengar sudah penuh pertimbangan. Ada orang yang bisa dengan gamblang menjelaskan bahwa gaya Guruh adalah kosong dan tak menggugah inspirasi, jika dibandingkan dengan Rhoma. Heran juga saya, kenapa tak ada seorang pun menanalisa dan mengapresiasikan karya Rhoma yang murni berangkat dari terminologi musik. Tampaknya masih perlu untuk menunjukkan bahwa sukses Rhoma bukanlah hal yang kebetulan saja. Pemusik ini, yang pada 1969 masih meniru-niru Beatles dan mencoba cangkokan Andy Williams di Tebet, telah merenungkan dengan saksama gayanya sendiri, dan mempraktekkan kemahirannya dengan cermat: ia termasuk bintang Indonesia paling cerdas dan bekerja keras. Lebih dari yang sudah-sudah di Indonesia, Rhoma telah melahirkan musik yang menembus segala lapisan masyarakat. Menyandang pesan dalam bahasa yang semua orang paham dan benar-benar Indonesia. Para kritikus sama sekali mengabaikan kedisiplinan dan kesungguhan Rhoma dalam proses kreatifnya - mereka hanya melihat goyang pinggul dan gairah mudanya. Tak beda dengan itu, dan barangkali lebih mengejutkan, kritikus gedongan telah sama sekali tak ambil peduli pada aspek moral karya Rhoma. Musiknya, sambil menggugah goyangan, tak putus-putusnya menyebarkan pesan sosial dan nilai moral - sekali waktu dalam gaya dakwah. Dangdut Rhoma, melalui pita rekaman dan film, berkaitan dengan hal-hal pokok - kejujuran, keadilan, persahabatan, tanggung jawab - untuk disebarkan di antara generasi yang lebih muda. Inilah kelebihannya dari, misalnya, Koes Plus atau Achmad Albar. Akhirnya jelas bahwa Rhoma Irama populer lantaran hasil kerjanya yang sesuai dengan, dan sanggup mencerminkan, masyarakat Indonesia sekarang. Bukan masyarakat gedongan, tapi golongan mayontas yang tersebar dari kota besar sampai pelosok kampung. Dan selalu tak sekadar realitas yang tampak, juga wujud impian, nilai-nilai, dan harapan massa rakyat tentang masa depan. Setiap orang yang pernah menonton film Rhoma Irama bisa tahu - dan merasakan - gaya dan pesan Rhoma yang terpuji itu. Tapi, setahu saya, tak seorang pun yang pernah mencoba menjelaskannya dengan serius dan menghayatinya. Bagi seorang pengamat Amerika Serikat - negeri yang para intelektualnya biasa menghabiskan tenaga untuk mengupas segala film, musik pop, dan pertunjukan televisi yang mengungkapkan masyarakat kami sendiri - keengganan para pemikir Indonesia untuk berbuat serupa itu sungguh membingungkan. * Penulis kolom ini adalah seorang doktor sosiologi Universitas Ohio, AS, yang pernah mengadakan penelitian tentang Rhoma Irama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini