Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Asap, Debu, Batu

Penduduk sekitar pabrik-pabrik di sepanjang jakarta bypass konflik dengan manajer pabrik-pabrik tersebut, soal polusi pabrik. pemerintah dki merencanakan memindahkan semua pabrik ke pulo gadung. (ling)

23 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK di sekitar pabrik ban Intirub, jalan Cililitan Besar, Jakarta kini agak tenang. Soalnya pabrik ban yang bercokol di daerah pemukiman padat itu sudah berjanji akan mengurangi hamburan debu hitam dari cerobong pabrik. Untuk jangka pendek, caranya dengan menyirami lantai agar debu tidak beterbangan. Sementara itu pabrik telah memesan alat penghisap debu (dust corrector) dari Jepang dan Luxemburg. Pemesanan itu, paling tidak menelan waktu hampir setahun -- 4 bulan pemesanan, 6 bulan pemasangan. Tapi sekurang-kurangnya, penduduk telah merasa protes mereka ditanggapi. Dan nyatanya kini debu karbon tidak setebal sebelum mereka protes. Para ibu rumah tangga tidak perlu mengepel rumahnya 4 x sehari, cukup 2 x sehari. Konflik soal polusi pabrik itu bermula dengan corat-coret di tembok-tembok pabrik. Kemudian, bulan Juli lalu penduduk RT 7/RW 3 dari kelurahan Kramat Jati itu mengirim delegasi ke pabrik. Delegasi yang dipimpin oleh ketua RT Haji Nasir mengajukan surat protes terhadap debu hitam yang mengotori penduduk dan rumah-rumah di sekitar pabrik. Surat protes diteken oleh ketua RT dan penduduk-penduduk yang terkena. Tembusannya disampaikan kepada lurah, camat dan walikota. Hitam, Seperti Monyet Penduduk -- yang 50% juga karyawan Intirub -- memang sudah menganggap polusi pabrik itu keterlaluan. Seperti dituturkan ketua RW 3, K. Saini pada TEMPO, "pada waktu angin berhembus dari Utara ke Selatan, kita semua terkena debu karbon hitam itu. Bangun pagi wajah karni sudah hitam seperti monyet. Bahkan itu debu sampai masuk ke lemari pakaian dan lemari makan. Sedang rumah-rumah yang persis menghadap pabrik, walau tak ada angin mesti terkena debu". Biang keladinya, menurut dia adalah cerobong pabrik yang terlalu rendah. Katanya dengan berang, "apa itu cerobong tak bisa ditinggikan?". RT-RT lain pun keadaannya cukup parah. Misalnya RT 8, kata Saini. Menurut dia, sudah ada penduduk yang pindah dari daerahnya karena tak betah kena polusi. Dan berdekatan dengan pabrik, ada bidan yang buka praktek bersalin. Setiap hari ada 5 bayi yang lahir. "Saya tak dapat membayangkan bagaimana nasib bayi-bayi itu kelak", katanya. Dan memang, setelah ditanyakan pada seorang perawat yang bekerja pada bidan Yan Purba itu, memang bayi-bayi itu pun tak luput dari sang debu. Kekhawatiran Saini cukup beralasan. Sebab kabarnya pernah juga ada seorang karyawan pabrik itu dikeluarkan karena "sakit paru-paru". "Jumlah mereka yang dikeluarkan itu sudah banyak", katanya lagi. Yang diperkuat oleh B.N. Marbun, sarjana hukum yang tinggal di seberang pabrik itu. Kata Marbun, "ada penduduk yang setelah dirontsen ternyata sudah hitam paru-parunya". "Hanya Debu . . . " Keterangan Marbun dan Saini itu dibantah oleh Aziz Pane. Menurut manajer humas Intirub itu, pabrik itu sudah terdiri di daerah itu "sebelum ada penduduk". Yang sekarang sudah menjadi daerah pemukiman, dulu masih berwujud rawa-rawa. Dia mau membantu penduduk, tapi menyesalkan aksi corat-coret beberapa bulan lalu itu. "Kalau mereka kita adukan, rusak mereka", ujar Aziz. Menurut dia, yang ada itu "bukan polusi, tapi hanya debu carbon black". Selanjutnya Aziz dan Hari Suharsi, direktur produksi Intirub menyatakan bahwa karung-karung karbon hitam yang mereka terima lewat perusahaan ekspedisi "seringkali sudah pecah di jalan". Padahal debu itu "lebih ringan dari udara", kata Pane. Lalu kenapa setelah penduduk mengirim delegasinya baru direksi mengambil tindakan pengamalIan ? Kembali lagi Pane bersilat lidah. "Namanya perusahaan ya cari untung, dan keuntungan yang diperoleh itu ditujukan untuk membeli mesin-mesin baru", ujarnya lagi. Namun dia menambahkan lagi bahwa dust corrector itu sudah lama mereka pesan. Jawaban Pane itu, membikin heran Marbun. Sebab menurut Marbun,"lntirub di Palembang sudah lama memasang alat pengisap debu. Masakan di Jakarta belum". Lagi pula, debu hitam yang terbawa angin ke mana-mana itu bukan baru tahun ini pertama kali terjadi. Dulu -- entah berapa tahun yang lalu -- cerobongnya pernah disaring. Tapi kini saringannya mungkin bocor, sehingga debu jelaga eks gas alam itu kian menjadi-jadi. Karena itu Marbun mendesak agar pabrik itu dipindahkan saja lokasinya ke kawasan industri yang telah ditentukan. Buat apa sebenarnya karbon hitam itu? "Untuk memperkuat ban", jawab ir. Budoyo, kepala bagian teknik Intirub. Kata dia, ada 2 jenis carbon black Yang digunakan, yaitu ienis ISAF dan GPF. Jenis ISAF selain lebih mahal, juga tidak beracun. Paling banter menimbulkan gangguan di hidung. Sedang jenis GPF memang sedikit berbahaya karena dapat mengganggu pernafasan. Budoyo mengakui perlunya ventilasi yang baik, dan para pekerja harus memakai topeng. Tapi untuk melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis, Budoyo menganggap tidak perlu. Katanya Depkes Amerika sudah menyatakan kedua jenis karbon itu "tidak berbahaya bagi paru-paru". Lalu soal cerobong, kata Budoyo tingginya 15 meter dari permukaan tanah. Pokoknya, menurut Aziz Pane: "kami berdiri syah dengan perundang-undangan yang berlaku". Mata Perih Ada lagi polusi pabrik-pabrik penghancur batu di Kebon Nanas. Di sana penduduk masih berdiam diri, meskipun pembuatan aspal dan pemecahan batu oleh pabrik-pabrik di situ tak kalah banyak debunya. Di kompleks PT Djembar Djaja, tak ada petugas berwenang yang bersedia diwawancarai. Mesin-mesin pemecah batu bekerja non-stop, sementara asap aspal yang membubung ke langit menambah panasnya udara. Di sekitar pabrik Djembar Djaja di pinggir Jakarta Bypass itu masih ada tiga pabrik lain: PT Subur, PT Jayamix Kebon Nanas, dan kompleks kepunyaan PUTL. Debu yang mengepul-ngepul dari cerobong asap PT Subur berwarna hitam pekat. Mata akan perih bila berdiri lama-lama di situ. Memasuki pintu gerbang PT Subur dalam waktu satu menit badan sudah penuh debu batu. Kulit seorang penjaga di pos telah disulap jadi hitam. Wartawan TEMPO Said Muchsin yang mencoba masuk ke sana jadi terbatuk-batuk gara-gara kemasukan debu. Keadaan PT Subur itu jauh lebih parah dari pada Djembar Djaja. Sebab debu yang keluar dari cerobong Djembar Djaja sudah dialirkan lewat bak air lebih dahulu, sehingga warnanya rada kelabu (pertanda unsur karbonnya lebih sedikit). Para karyawan Djembar Djaja juga diberi kain penutup mulut dan hidung, tapi kenyataannya tak dipakai. Dari keempat pabrik aspal dan batu itu yang paling sedikit polusinya adalah PT Jayamix Kebon Nanas. Menurut manajernya, L.H. Clarke, sejak berdiri pabrikya sudah memasang alat-alat pencegah polusi dari Australia. Tanah & lantainya selalu disiram air. Air yang sudah dipakai di pabrik disaring dulu berulang kali sebelum dibuang ke parit. Menara pabrik tingginya 25 meter. Dan tiap bulan semua peralatan pabrik diteliti, termasuk peralatan anti-polusinya. Kendati demikian, toh janggal sekali hidup bertetangga dengan empat pabrik aspal dan batu itu dengan segala hiruk-pikuk 24 jam sehari, serta pencemaran udara + air + daratan sekitarnya. Kabarnya sudah ada rencana DKI memindahkan semua pabrik di sepanjang Jakarta Bypass ke Pulo Gadung. Tapi harap sabar dulu, rencana itu masih dua tahun lagi . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus