PENDUDUK di sekitar pabrik ban Intirub, jalan Cililitan Besar,
Jakarta kini agak tenang. Soalnya pabrik ban yang bercokol di
daerah pemukiman padat itu sudah berjanji akan mengurangi
hamburan debu hitam dari cerobong pabrik. Untuk jangka pendek,
caranya dengan menyirami lantai agar debu tidak beterbangan.
Sementara itu pabrik telah memesan alat penghisap debu (dust
corrector) dari Jepang dan Luxemburg.
Pemesanan itu, paling tidak menelan waktu hampir setahun -- 4
bulan pemesanan, 6 bulan pemasangan. Tapi sekurang-kurangnya,
penduduk telah merasa protes mereka ditanggapi. Dan nyatanya
kini debu karbon tidak setebal sebelum mereka protes. Para ibu
rumah tangga tidak perlu mengepel rumahnya 4 x sehari, cukup 2 x
sehari.
Konflik soal polusi pabrik itu bermula dengan corat-coret di
tembok-tembok pabrik. Kemudian, bulan Juli lalu penduduk RT 7/RW
3 dari kelurahan Kramat Jati itu mengirim delegasi ke pabrik.
Delegasi yang dipimpin oleh ketua RT Haji Nasir mengajukan surat
protes terhadap debu hitam yang mengotori penduduk dan
rumah-rumah di sekitar pabrik. Surat protes diteken oleh ketua
RT dan penduduk-penduduk yang terkena. Tembusannya disampaikan
kepada lurah, camat dan walikota.
Hitam, Seperti Monyet
Penduduk -- yang 50% juga karyawan Intirub -- memang sudah
menganggap polusi pabrik itu keterlaluan. Seperti dituturkan
ketua RW 3, K. Saini pada TEMPO, "pada waktu angin berhembus
dari Utara ke Selatan, kita semua terkena debu karbon hitam itu.
Bangun pagi wajah karni sudah hitam seperti monyet. Bahkan itu
debu sampai masuk ke lemari pakaian dan lemari makan. Sedang
rumah-rumah yang persis menghadap pabrik, walau tak ada angin
mesti terkena debu". Biang keladinya, menurut dia adalah
cerobong pabrik yang terlalu rendah. Katanya dengan berang, "apa
itu cerobong tak bisa ditinggikan?".
RT-RT lain pun keadaannya cukup parah. Misalnya RT 8, kata
Saini. Menurut dia, sudah ada penduduk yang pindah dari
daerahnya karena tak betah kena polusi. Dan berdekatan dengan
pabrik, ada bidan yang buka praktek bersalin. Setiap hari ada 5
bayi yang lahir. "Saya tak dapat membayangkan bagaimana nasib
bayi-bayi itu kelak", katanya. Dan memang, setelah ditanyakan
pada seorang perawat yang bekerja pada bidan Yan Purba itu,
memang bayi-bayi itu pun tak luput dari sang debu. Kekhawatiran
Saini cukup beralasan. Sebab kabarnya pernah juga ada seorang
karyawan pabrik itu dikeluarkan karena "sakit paru-paru".
"Jumlah mereka yang dikeluarkan itu sudah banyak", katanya lagi.
Yang diperkuat oleh B.N. Marbun, sarjana hukum yang tinggal di
seberang pabrik itu. Kata Marbun, "ada penduduk yang setelah
dirontsen ternyata sudah hitam paru-parunya".
"Hanya Debu . . . "
Keterangan Marbun dan Saini itu dibantah oleh Aziz Pane. Menurut
manajer humas Intirub itu, pabrik itu sudah terdiri di daerah
itu "sebelum ada penduduk". Yang sekarang sudah menjadi daerah
pemukiman, dulu masih berwujud rawa-rawa. Dia mau membantu
penduduk, tapi menyesalkan aksi corat-coret beberapa bulan lalu
itu. "Kalau mereka kita adukan, rusak mereka", ujar Aziz.
Menurut dia, yang ada itu "bukan polusi, tapi hanya debu carbon
black". Selanjutnya Aziz dan Hari Suharsi, direktur produksi
Intirub menyatakan bahwa karung-karung karbon hitam yang mereka
terima lewat perusahaan ekspedisi "seringkali sudah pecah di
jalan". Padahal debu itu "lebih ringan dari udara", kata Pane.
Lalu kenapa setelah penduduk mengirim delegasinya baru direksi
mengambil tindakan pengamalIan ? Kembali lagi Pane bersilat
lidah. "Namanya perusahaan ya cari untung, dan keuntungan yang
diperoleh itu ditujukan untuk membeli mesin-mesin baru", ujarnya
lagi. Namun dia menambahkan lagi bahwa dust corrector itu sudah
lama mereka pesan. Jawaban Pane itu, membikin heran Marbun.
Sebab menurut Marbun,"lntirub di Palembang sudah lama memasang
alat pengisap debu. Masakan di Jakarta belum". Lagi pula, debu
hitam yang terbawa angin ke mana-mana itu bukan baru tahun ini
pertama kali terjadi.
Dulu -- entah berapa tahun yang lalu -- cerobongnya pernah
disaring. Tapi kini saringannya mungkin bocor, sehingga debu
jelaga eks gas alam itu kian menjadi-jadi. Karena itu Marbun
mendesak agar pabrik itu dipindahkan saja lokasinya ke kawasan
industri yang telah ditentukan.
Buat apa sebenarnya karbon hitam itu? "Untuk memperkuat ban",
jawab ir. Budoyo, kepala bagian teknik Intirub. Kata dia, ada 2
jenis carbon black Yang digunakan, yaitu ienis ISAF dan GPF.
Jenis ISAF selain lebih mahal, juga tidak beracun. Paling banter
menimbulkan gangguan di hidung. Sedang jenis GPF memang sedikit
berbahaya karena dapat mengganggu pernafasan. Budoyo mengakui
perlunya ventilasi yang baik, dan para pekerja harus memakai
topeng. Tapi untuk melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis,
Budoyo menganggap tidak perlu. Katanya Depkes Amerika sudah
menyatakan kedua jenis karbon itu "tidak berbahaya bagi
paru-paru". Lalu soal cerobong, kata Budoyo tingginya 15 meter
dari permukaan tanah. Pokoknya, menurut Aziz Pane: "kami berdiri
syah dengan perundang-undangan yang berlaku".
Mata Perih
Ada lagi polusi pabrik-pabrik penghancur batu di Kebon Nanas. Di
sana penduduk masih berdiam diri, meskipun pembuatan aspal dan
pemecahan batu oleh pabrik-pabrik di situ tak kalah banyak
debunya. Di kompleks PT Djembar Djaja, tak ada petugas berwenang
yang bersedia diwawancarai. Mesin-mesin pemecah batu bekerja
non-stop, sementara asap aspal yang membubung ke langit menambah
panasnya udara. Di sekitar pabrik Djembar Djaja di pinggir
Jakarta Bypass itu masih ada tiga pabrik lain: PT Subur, PT
Jayamix Kebon Nanas, dan kompleks kepunyaan PUTL.
Debu yang mengepul-ngepul dari cerobong asap PT Subur berwarna
hitam pekat. Mata akan perih bila berdiri lama-lama di situ.
Memasuki pintu gerbang PT Subur dalam waktu satu menit badan
sudah penuh debu batu. Kulit seorang penjaga di pos telah
disulap jadi hitam. Wartawan TEMPO Said Muchsin yang mencoba
masuk ke sana jadi terbatuk-batuk gara-gara kemasukan debu.
Keadaan PT Subur itu jauh lebih parah dari pada Djembar Djaja.
Sebab debu yang keluar dari cerobong Djembar Djaja sudah
dialirkan lewat bak air lebih dahulu, sehingga warnanya rada
kelabu (pertanda unsur karbonnya lebih sedikit). Para karyawan
Djembar Djaja juga diberi kain penutup mulut dan hidung, tapi
kenyataannya tak dipakai.
Dari keempat pabrik aspal dan batu itu yang paling sedikit
polusinya adalah PT Jayamix Kebon Nanas. Menurut manajernya,
L.H. Clarke, sejak berdiri pabrikya sudah memasang alat-alat
pencegah polusi dari Australia. Tanah & lantainya selalu disiram
air. Air yang sudah dipakai di pabrik disaring dulu berulang
kali sebelum dibuang ke parit. Menara pabrik tingginya 25 meter.
Dan tiap bulan semua peralatan pabrik diteliti, termasuk
peralatan anti-polusinya.
Kendati demikian, toh janggal sekali hidup bertetangga dengan
empat pabrik aspal dan batu itu dengan segala hiruk-pikuk 24 jam
sehari, serta pencemaran udara + air + daratan sekitarnya.
Kabarnya sudah ada rencana DKI memindahkan semua pabrik di
sepanjang Jakarta Bypass ke Pulo Gadung. Tapi harap sabar dulu,
rencana itu masih dua tahun lagi . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini