MENGAPA kasus-kasus pencemaran seperti pabrk ban Intirub dan
kompleks pabrik batu & aspal di Kebon Nanas masih sering
teradi? Ada lima kelemahan kita yang disebut-sebut Marbun.
"Pertama-tama, Undang-Undang yang kita miliki sekarang sudah
ketinggalan zaman", katanya pada TEMPO. Yang kedua, "pemimpin
kita umumnya kurang menyadari bahaya pencemaran kimia".
Selanjutnya, "rakyat terlalu toleran dan pers kurang kontrol
terhadap bahaya pencemaran". Akhirnya, Marbun mengalamatkan
kritiknya pada pemerintah DKI yang "planologi kotanya tidak
tepat dan terlalu mudah memberi izin usaha".
Mengambil perbandingan di luar negeri, Marbun juga mengusulkan
agar pabrik-pabrik yang kotor jangan ditempatkan di daerah
pemukiman. Bahan-bahan kimia yang beracun harus ditentukan
standar maksimalnya, dan seperti di Eropa didenda kalau meliwati
standar itu. "Setahu saya", katanya pada TEMPO, "cerobong
pabrik di Eropa memakai filter sehingga debunya tersaring. Juga
cerobongnya tidak boleh kurang dari 30 meter". Kalau perlu,
katanya berkelukar, "pabrik-pabrik yang cemar itu ditempatkan di
pulau-pulau yang tak ada penduduknya. Karena di Jakarta tidak
ada kontrol terhadap pembuangan ampas-ampas industri ke udara
dan ke air, banyak sumur yang airnya berbahaya untuk kesehatan
penduduk".
Bisa Bronchitis
Itu pendapat Marbun, yang ahli hukum. Bagaimana pendapat Dr.
Suma' mur, Direktur Higiene Perusahaan & Kesehatan Kerja,
Depnaker? "Carbon black yang keluar dari pabrik ban Intirub
nilainya sama dengan jelaga, sehingga bisa menimbulkan
bronchitis pada paru-paru", kata Suma'mur pada TEMPO. Dia juga
menunjukkan bahaya polusi gas CO.(karbon mono-oksida) yang
"terlalu banyak bisa membuat kita pusing". Lebih banyak lagi
"bisa membunuh". Sedang debu batu "bisa mendatangkan penyakit
silikosis TBC" Obatnya tak ada, karenanya lebih berbahaya dari
TBC biasa". Penyakit ini timbul karena penimbunan batu dalam
paru-paru, lebih berbahaya dari pada semen yang kadar silicon
bebasnya di bawah 5 Makanya kegiatan pemecahan batu -- seperti
di Djembar Djaja itu -- kalau tanpa filter sama sekali akan
berakibat "semua karyawannya kena TBC batu dalam tempo paling
lambat 6 bulan kerja".
Tapi berbeda dengan Marbun, Suma'mur berpendapat bahwa
persyaratan anti-polusi perlu "dimasyarakatkan dulu, baru UU
Anti Polusi disyahkan". "Undang-Undang saja tidak cukup tanpa
dibarengi pengertian, pendidikan dan persuasi", ujar Suma'mur.
Untuk tahap pertama, "pencemaran bisa dicegah dengan UU Gangguan
tahun 1972". Tentang cerobong, katanya "tingginya supaya
disesuaikan dengan faktor-faktor setempat, sehingga tidak ada
keluhan dari karyawan dan penduduk sekitarnya". Usaha-usaha
preventif sudah mulai dilakukan, baik oleh perusahaan-perusahaan
asing yang modalnya cukup besar untuk membawa teknologi
anti-polusinya dari luar negeA. Maupun penentuan Nilai Ambang
Batas (NAB) oleh Depnaker, yakni kadar polutan minimal yang
diizinkan sebagai pedoman untuk perencanaan peralatan
anti-polusi.
Misalnya untuk polusi debu batu, Depnaker telah menentukan NAB
sebesar 10 mg/m3. Dengan catatan, untuk masyarakat di luar
pabrik tidak boleh melewati NAB dalam batas waktu 7 x 24 jam
berturut-turut. NAB untuk masyarakat lebih ketat dari pada
karyawan pabrik sendiri, sebab masyarakat tetap tinggal di
sekitar pabrik. Sedang karyawan hanya beberapa jam sehari.
Polluter Must PaY
Penentuan Nilai-Ambang-Batas itu juga disetujui oleh ir Rio
Rachwartono, sekretaris Panitia Lingkungan Hidup. Derajat
pencemaran ini, diukur menurut jumlah konsentrasi polutan dalam
ppm (particles per micron). Kata Rio lagi, "pencemaran juga
harus dilihat dari luasnya wilayah dan iumlah penduduk yang
terkena". Setelah itu NAB itu dirumuskan, berikutnya dirumuskan
dulu standar kwalitas lingkungan yang dikehendaki dan baru pada
akhirnya disyahkan UU-nya. Dalam pengembangan hukum nantinya,
"wajar sekali bila diterapkan asas the polluter must pay
(pencemar yang harus bayar)", kata ahli ekologi muda itu.
Sebagai contoh, pabrik seng Tombak Mas di Slipi yang diprotes
penduduk karena polusinya. Setelah pabrik membayar ganti rugi
pada penduduk, masalahnya dianggap selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini