Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Si Pencemar Harus Bayar

Pencegahan polusi pabrik dilakukan perusahaan-perusahaan asing dengan mengimport teknologi anti polusi. depnaker menentukan nilai ambang batas sebagai pedoman perencanaan peralatan anti polusi. (ling)

23 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA kasus-kasus pencemaran seperti pabrk ban Intirub dan kompleks pabrik batu & aspal di Kebon Nanas masih sering teradi? Ada lima kelemahan kita yang disebut-sebut Marbun. "Pertama-tama, Undang-Undang yang kita miliki sekarang sudah ketinggalan zaman", katanya pada TEMPO. Yang kedua, "pemimpin kita umumnya kurang menyadari bahaya pencemaran kimia". Selanjutnya, "rakyat terlalu toleran dan pers kurang kontrol terhadap bahaya pencemaran". Akhirnya, Marbun mengalamatkan kritiknya pada pemerintah DKI yang "planologi kotanya tidak tepat dan terlalu mudah memberi izin usaha". Mengambil perbandingan di luar negeri, Marbun juga mengusulkan agar pabrik-pabrik yang kotor jangan ditempatkan di daerah pemukiman. Bahan-bahan kimia yang beracun harus ditentukan standar maksimalnya, dan seperti di Eropa didenda kalau meliwati standar itu. "Setahu saya", katanya pada TEMPO, "cerobong pabrik di Eropa memakai filter sehingga debunya tersaring. Juga cerobongnya tidak boleh kurang dari 30 meter". Kalau perlu, katanya berkelukar, "pabrik-pabrik yang cemar itu ditempatkan di pulau-pulau yang tak ada penduduknya. Karena di Jakarta tidak ada kontrol terhadap pembuangan ampas-ampas industri ke udara dan ke air, banyak sumur yang airnya berbahaya untuk kesehatan penduduk". Bisa Bronchitis Itu pendapat Marbun, yang ahli hukum. Bagaimana pendapat Dr. Suma' mur, Direktur Higiene Perusahaan & Kesehatan Kerja, Depnaker? "Carbon black yang keluar dari pabrik ban Intirub nilainya sama dengan jelaga, sehingga bisa menimbulkan bronchitis pada paru-paru", kata Suma'mur pada TEMPO. Dia juga menunjukkan bahaya polusi gas CO.(karbon mono-oksida) yang "terlalu banyak bisa membuat kita pusing". Lebih banyak lagi "bisa membunuh". Sedang debu batu "bisa mendatangkan penyakit silikosis TBC" Obatnya tak ada, karenanya lebih berbahaya dari TBC biasa". Penyakit ini timbul karena penimbunan batu dalam paru-paru, lebih berbahaya dari pada semen yang kadar silicon bebasnya di bawah 5 Makanya kegiatan pemecahan batu -- seperti di Djembar Djaja itu -- kalau tanpa filter sama sekali akan berakibat "semua karyawannya kena TBC batu dalam tempo paling lambat 6 bulan kerja". Tapi berbeda dengan Marbun, Suma'mur berpendapat bahwa persyaratan anti-polusi perlu "dimasyarakatkan dulu, baru UU Anti Polusi disyahkan". "Undang-Undang saja tidak cukup tanpa dibarengi pengertian, pendidikan dan persuasi", ujar Suma'mur. Untuk tahap pertama, "pencemaran bisa dicegah dengan UU Gangguan tahun 1972". Tentang cerobong, katanya "tingginya supaya disesuaikan dengan faktor-faktor setempat, sehingga tidak ada keluhan dari karyawan dan penduduk sekitarnya". Usaha-usaha preventif sudah mulai dilakukan, baik oleh perusahaan-perusahaan asing yang modalnya cukup besar untuk membawa teknologi anti-polusinya dari luar negeA. Maupun penentuan Nilai Ambang Batas (NAB) oleh Depnaker, yakni kadar polutan minimal yang diizinkan sebagai pedoman untuk perencanaan peralatan anti-polusi. Misalnya untuk polusi debu batu, Depnaker telah menentukan NAB sebesar 10 mg/m3. Dengan catatan, untuk masyarakat di luar pabrik tidak boleh melewati NAB dalam batas waktu 7 x 24 jam berturut-turut. NAB untuk masyarakat lebih ketat dari pada karyawan pabrik sendiri, sebab masyarakat tetap tinggal di sekitar pabrik. Sedang karyawan hanya beberapa jam sehari. Polluter Must PaY Penentuan Nilai-Ambang-Batas itu juga disetujui oleh ir Rio Rachwartono, sekretaris Panitia Lingkungan Hidup. Derajat pencemaran ini, diukur menurut jumlah konsentrasi polutan dalam ppm (particles per micron). Kata Rio lagi, "pencemaran juga harus dilihat dari luasnya wilayah dan iumlah penduduk yang terkena". Setelah itu NAB itu dirumuskan, berikutnya dirumuskan dulu standar kwalitas lingkungan yang dikehendaki dan baru pada akhirnya disyahkan UU-nya. Dalam pengembangan hukum nantinya, "wajar sekali bila diterapkan asas the polluter must pay (pencemar yang harus bayar)", kata ahli ekologi muda itu. Sebagai contoh, pabrik seng Tombak Mas di Slipi yang diprotes penduduk karena polusinya. Setelah pabrik membayar ganti rugi pada penduduk, masalahnya dianggap selesai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus