MENGAGETKAN sekali Pengumuman Pemerintah 22 September 1976
tentang beberapa dokumen yang berisi penilaian atas kepemimpinan
Presiden Soeharto yang dianggap telah gagal dan keadaan dewasa
ini di Indonesia. Terlalu cepat bila Sawito menginginkan
Soeharto meletakkan jabatan yang bukan pada waktunya. Apakah ia
berhak untuk hal semacam itu?
Kekacauan macam apa yang diinginkan Sawito? Sampai di mana ia
menyiapkan taktik dan strateginya? Bisa jadi ia merasa optimis
berhasil, karena melihat orang-orang yang menandatangani naskah
itu, yang hanya menolak cara penyampaiannya yang tidak
konstitusionil. Apakah DPR sudah tidak dipercaya lagi? Semuanya
akan tahu siapa sebenarnya yang diinginkan oleh rakyat setelah
PEMILU nanti.
Tentang dokumen itu, apakah tidak terlalu mudah menilai isi
dokumen "Menuju Keselamatan" sebagai "suatu penilaian yang
sangat negatif" terhadap keadaan dewasa ini? Padahal masyarakat
sudah lebih maju, misalnya dalam hal pengetahuan politik,
ketatanegaraan, sarana komunikasi yang mudah, pendalaman
terhadap agama dan lain-lain. Tapi apapun penilaian dokumen itu
dan bagaimana pun isinya, asal bukan fitnah dan tidak bertujuan
buruk, apalagi bila disertai kenyataan dan fakta benar dengan
latar belakang yang bermanfaat, sebaiknya ditanggapi dan
difikirkan
Kita lihat isi dokumen "Pernyataan". Kalau memang benar dewasa
ini terdapat keresahan masyarakat yang menjurus kepada
perpecahan dan keretakan kesatuan bangsa apakah ini suatu
penilaian yang negatif? Dan kemudian mereka berikrar (?)
menggunakan dokumen "Menuju Keselamatan" sebagai dasar penerapan
dan pengamalan Panca Sila mencapai masyarakat adil dan makmur.
Apakah maksud ini terlalu buruk? Kalau memang ini bertujuan
untuk menimbulkan hal yang buruk, mengadu domba, mengacau,
tindaklah! Tapi jangan memandang siapa 'dia' dan jangan
menggunakan hukum yang tidak ada.
Kesimpulan sementara Pemerintah setelah meneliti dokumen-dokumen
itu memang benar. Pemerintah menyangsikan kesadaran dan
kesetujuan tokoh-tokoh masyarakat atas naskah itu. Apakah mereka
benar-benar menyetujui dan mengetahui tujuan jahat yang
terkandung di belakang fikiran pembuatan dokumen-dokumen itu?
Bila melihat ringkasan surat mereka, saya berkesimpulan: mereka
hanya mengetahui maksud dan tujuan baiknya saja. Mereka tidak
mengetahui bahwa tandatangannya digunakan untuk maksud jahat.
Kita lihat ringkasan surat Hatta. Beliau berani menandatangani
naskah itu setelah dijelaskan dalam rangka menegakkan Panca
Sila. Berarti penilaian Hatta sendiri Panca Sila itu sedang
tidak tegak. Tapi ada keanehan pada kalimat lainnya: Hatta
sadar, bahkan bukan saja isinya tidak sesuai dengan penilaian
beliau terhadap kenyataan yang ada, tapi juga tidak
konstitusionil. Kalimat-kalimat mana yang ditakutkan Hatta
sehingga ia menjadi tidak jujur? Bagaimana penilaian Hatta waktu
itu tentang "kenyataan yang ada", yang akhirnya dia sendiri mau
menandatangani naskah itu? Mungkin ini mustahil bagi Hatta
memberikan tanda tangan tanpa meneliti isi dan tujuannya lebih
jauh, apalagi ini bukan untuk hal remeh (dalam rangka menegakkan
Panca Sila). Semoga tidak begitu dalam tandatangan teks
proklamasi kemerdekaan RI.
Lalu bagian mana yang Kardinal Darmojuwono anggap terlalu keras?
Memang lunak kadang lebih baik, tapi apakah tidak lebih baik
dipentingkan dulu kebenaran atau ketidakbenaran masalahnya.
Kardinal menganggap ada bagian yang tidak tepat dan
berlebih-lebihan, padahal kedua bagian yang sifatnya demikian
itu tidak baik (salah). Tapi beliau membubuhkan juga
tandatangannya, dengan pertimbangan "sudah ada punya pak Hatta".
Tidak begitu jauh halnya dengan Hamka yang profesor itu. Beliau
tidak mengkomersilkan tandatangannya, cukup dengan basa-basi
lalu dia membubuhkan pula tandatangannya.
Akhirnya mereka, bersama dengan TB Simatupang dan R. Said
Soekanto Tjokrodiatmojo hanya dapat mengatakan tentang perasaan
dibohongi dan ketidak telitiannya. Betulkah? Mengapa dan apa
sebenarnya yang diinginkan oleh fihak-fihak tertentu dengan
peristiwa ini?
USMAN EFFENDY
Jl. Penggalang 14, Jakarta Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini