BOCORNYA tanki gas methyl isocyanate (MIC) pada pabrik pestisida Union Carbide India Ltd. di Bhopal, minggu lalu, merupakan bencana terbesar dunia industri selama ini (Lihat: Luar Negeri). Tragedi serupa setiap saat bisa terjadi di kawasan industri lainnya - terutama di negara ketiga, yang banyak digelutl perusahaan multlnasional, dan tak punya sistem pengamanan yang baik. Mengapa gas MIC dalam tempo sekejap telah minta ribuan nyawa penduduk Bhopal? MIC, menurut Dr. Jap Tjiang Beng dari PT Bayer Indonesia, adalah senyawa yang sangat beracun. Ambang batasnya 0,02 ppm atau 0,02 mg setiap 1 kilogram larutan. Di atas ambang batas tersebut, senyawa itu menjadi racun. Sifat fisik MIC, yang hampir menyerupai CO2, dalam suhu rendah berbentuk cair, dan pada suhu tinggi akan berubah menjadi gas. "Di Bhopal, gas keluar dalam keadaan pekat dari tanki yang bocor," kata direktur Lembaga Kimia Nasional (LKN) LIPI, Ir. Ign. Suharto. Padahal, dengan MIC 2 ppm saja, itu sudah menimbulkan iritasi, seperti mengeluarkan air mata, pada seseorang. Penelitian diJerman Barat menyatakan, MIC dengan kekuatan 21 ppm kontan akan membuat korban menemui ajalnya. Mengapa? Lapisan tipis gas MIC yang menyelimuti darah akan menghalangi masuknya zat asam ke sel-sel tubuh. Bagaikan orang kelelap, dalam proses yang hanya beberapa detik, nyawa korban akan melayang. Menurut Suharto, gas CN (termasuk senyawa (cyanogen) dalam MIC, yang juga diproduksi di Indonesia untuk pestisida, termasuk bahan kimia yang tidak boleh berdekatan dengan manusia. Bagaimana pengamanannya? Pabrik pestisida yang sudah berdiri pada awal Pelita IV ada 4 buah - satu di Sumatera Utara dan tiga di Pulau Jawa. "Semua itu masuk kategori B-3," ujar Ir. Rachmat Wiradisuria, Asisten Menteri II KLH Bidang Lingkungan Binaan. Ia percaya bahwa peraturan dan perizinan untuk pendirian pabrikjenis produk B-3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) cukup rapi dan ketat. Dalam perizinan, antara lain diatur cara mengamankan lingkungan dari pencemaran limbah. Pelaksanaannya? Semua itu, menurut Rachmat, tergantung pada aparat pelaksanaan - pabrik. Instansi pemerintah cuma sebagai aparat pengawas. "Tapi sekali keteledoran terjadi, akibatnya bisa seperti di Bhopal," kata Rachmat. "nan, Indonesia ada potensi untuk itu." Maka, dalam peraturan Menteri Kesehatan, tahun lalu, dimuat pembagian bahan berbahaya menjadi empat kelas. Dua jenis di antaranya masuk dalam kelas 1: DDT (Dichlorodiphenyl Trichloro Ethane) dan PCP (Penta Chloro Pheno) - dua bahan beracun yang bisa menimbulkan karsinogenik (kanker), mutagenik (perubahan gene), dan teratogenik (merusakkan janin). DDT, yang sedikit saja masuk ke tubuh manusia sulit diuraikan dan mudah mengendap dalam jaringan yang berlemak, selama inl diimpor oleh Departemen Kesehatan untuk pemberantasan malaria. MIC sendiri masuk B-3 kelas 2. Apakah pengusaha industri kimia mematuhi peraturan B-3? PT Agrocarb Indonesia, cahang Union Carbide, yang memproduksi pestisida, mengaku tidak membuat bahan baku carbaryl, unsur utama dalam pembuatan pestisida, di sini. Mereka mengimpornya. Dari bahan itu pabrik PT Agrocarb Indonesia di Surabaya kemudian melakukan tindakan formulasi dengan bahan carrier lainnya. "Jadi, kami hanya membuat campuran dan pengepakannya," kata Suwito Laksono, general manager Agrocarb Indonesia. Guna mengurangi kerepotan mengimpor carbaryl dan carba mide, perusahaan ini merencanakan mendirikan pabrik bahan aktif pestisida di Cilegon, Jawa Barat. Kata Suwito, "BKPM telah memberikan izin." Penelitian kelayakannya konon sudah selesai dilakukan. Tanah untuk pabrik juga sudah dibeli. Kendati pembangunan pisik belum dimulai, kata Suwito, "Dalam dua tahun mendatang pabrik itu diharapkan sudah mulai berproduksi." Untuk menghasilkan kedua bahan aktif pestisida tadi, pabrik ini akan mengimpor methyl isocyanate dalam jumlah besar. Senyawa carbaryl, kelompok senyawa carbamide yang bersifat racun kontak dan racun perut, menurut Jap Tjiang Beng, tak kurang bcrbahayanya. Sebab, dia mudah sekali menembus kulit, lalu meracuni tubuh. Pengamanan di pabrik, menurut Suwito, dilakukan dari dua segi. Pertama, menyangkut instalasi pabrik. Kedua, pengamanan manusianya. Bentuknya, antara lain, dengan menyediakan baju proteksi dan alat pengumpul debu. Bagaimana dengan proteksi lingkungan? Rupanya belum mendapat prioritas dalam studi kelayakan. Pabrik bahan aktif pestisida di Gresik, misalnya, merasa aman, karena mempunyai tanah seluas 2 hektar yang jauh dari permukiman penduduk. PT Petrokimia Gresik, yang memproduksi racun serangga, juga merasa aman, karena, "Kami tak pernah banyak menimbun bahan," ujar Ir. Shafri Saarin, direktur utama perusahaan itu. Misalnya, MIC disimpan dalam tabung pipe receiver yang mempunyai tebal dinding 12 mm dan tahan terhadap tekanan 10 kg. Sedangkan limbahnya (limbah padat) memang masih mencari tempat pembuangan - dahulu dibuang ke Lautan Hindia dalam tong-tong yang disemen keras, tapi kini dilarang. Masalah limbah ini juga menjadi masalah di tempat lain. Di Arun, misalnya, dibuat sebuah bunker untuk pembuangan limbah. Tapi bnker ini - yang dibeton dan berada di dalam tanah - cuma bisa menampung sampah industri lima tahun. Sesudah itu? Rachmat belum menemukan jalan keluarnya. Mungkin setelah tragedi Bhopal, akan ada hikmahnya di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini