ORANG kaya di-sini tidak banyak. Dari 160 juta penduduk Indonesia, jumlah mereka ini ternyata hanya 58.715 orang. Sebagai pembayar pajak kekayaan (PKk), mereka terdaftar secara resmi punya kekayaan di atas Rp 14 juta. Jumlah ini, tentu, terasa agak kecil, mengingat tingkat penghasilan per kapita penduduk di sini sudah naik hampir tujuh kali lipat sejak Repelita dimulai sekitar 16 tahun lalu. Kenyataan ini rupanya cukup memprihatinkan Menteri Keuangan Radius Prawiro. Nah, supaya orang kaya mau secara sukarela membayar pajak, dalam waktu dekat ini, tarif PKk akan diturunkan dari 1% jadi 0,5%. Sedangkan batas kekayaan yang tidak terkena pajak dinaikkan dari Rp 14 juta jadi Rp 80 juta. "ladi. Iebih realistis dan mencerminkan situasi sekarang," kata Menteri Radius, pekan lalu. Ketentuan baru itu mulai berlaku untuk pengisian surat pemberitahuan pajak (SPt) per 1 Januari 1985 mendatang. Kata Probosoetedjo, presiden direktur grup Mercu Buana, ketentuan baru itu sangat baik untuk merangsang orang mau secara terbuka mendaftarkan diri ke kantor inspeksi pajak (KIP).Pengusaha ini, yang lebih suka membayar PKk lewat anak buahnya, mengimbau agar ketentuan baru itu tak ditunda-tunda, seperti UU Pajak Pertambahan Nilai. Ponco Sutowo, bos kelompok Adhiguna, juga mengutarakan pendapat serupa. "Ketentuan pajak kekayaan lama terasa berat, dan karena itu agaknya sulit dilaksanakan secara konsekuen," katanya. Kedua pengusaha terkemuka ini, setiap tahun, biasanya dikirimi formulir SPT dari KIP dekat temDat tinal mereka untuk diisi. Suatu ketika, petugas pajak mempertanyakan kembali jumlah pajak yang dibayar Ponco, karena dianggap kurang sesuai. Koreksi kemudian bisa dilakukan dengan mudah. "Nggak tahu kenapa, mungkin karena saya kehhatan berwibawa," kata Ponco, anak sulung Ibnu Sutowo, berseloroh. Selain dengan cara mengirimi SPt, petugas pajak juga akan lebih aktlf mengamati keadaan harta fisik seseorang, yang belum terkena pajak. Pemilik saham terbesar sebuah perusahaan, boleh jadi, akan dikirimi SPt pula. Tapi tidak selamanya keglatan seperti ltu tepat. Contohnya ketika petugas pajak Kanwil Ditjen Pajak Ja-Teng mendatangi rumah seseorang di kawasan elite Candi, Semarang. Secara sekilas rumah itu ditaksir berharga Rp 200 juta, dan karenanya si pemilik harus membayar PKk. Sesudah ditanyakan, rumah itu ternyata merupakan harta warisan. Pemiliknya, penslunan peJabat, hanya mengantungi uang Rp 150 ribu sebulan. Kata Soejono Sontodimarto, kepala Kanwil Ditjen Pajak Ja-Teng, orang macam ini bisa terhindar dari pengenaan PKk. "Kasihan kalau wajib pajak harus menjual rumahnya untuk membayar pajak," katanya. Mudah-mudahan kekeliruan semacam itu tak akan terjadi lagi sesudah RUU PKk jadi diundangkan tahun depan. Banyak halangan, memang, harus dijumpai petugas pajak untuk menangani calon wajib pajak PKk ini. Bahkan Menteri Radius sendiri pernah tidak berhasil melaksanakan rencana mengumumkan 50 nama pembayar PKk terbesar di sejumlah kota besar. Entah karena apa, awal tahun ini, rencana mengumumkan itu dibatalkan. Boleh jadi banyak orang agak sungkan disebut sebagai orang kaya pembayar pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini