Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ikan Pergi dari Teluk Youtefa

Perkembangan pembangunan di Teluk Youtefa, termasuk jembatan Youtefa dan proyek venue dayung untuk Pekan Olahraga Nasional 2021, dinilai membawa dampak serius pada ekosistem perairan di kawasan itu. Aktivitas pembuangan limbah dan pembukaan hutan bakau meningkat.

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Masyarakat menjaring ikan di Teluk Youtefa, Juli 2020. /TIM TEMPO/JUBI/ENGEL WALLY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penduduk di sekitar Teluk Youtefa makin kesulitan mencari ikan karena laut kian tercemar dan hutan bakau rusak.

  • Pembangunan sejumlah proyek besar di Teluk Youtefa dinilai menambah kerusakan di kawasan itu.

  • Berkurangnya tutupan vegetasi di pesisir Teluk Youtefa berisiko meningkatkan abrasi.

Fransina Hanasbey sudah tujuh jam duduk mencangkung di atas jembatan di Kampung Injros, Distrik Abepura, Papua, pada Jumat siang, 24 Juli lalu. Sebuah baskom yang tergeletak di sisinya baru terisi seekor ikan kecil hasil pancingannya hari itu. Toh, Fransina tetap sabar menanti ikan-ikan buruannya. “Semakin sulit menangkap ikan, hasil tangkapan lainnya pun sedikit,” kata Fransina.

Hal serupa dialami Laban Hamadi, nelayan dari Kampung Tobati yang bertetangga dengan Injros di pesisir Teluk Youtefa. Pria 65 tahun itu berkata menangkap ikan dengan mudah di Teluk Youtefa hanya kenangan masa lalu. Di pesisir teluk, kawasan yang sekarang berdiri jembatan berkelir merah-putih Youtefa, Laban dulu biasa mendapat ikan cakalang. “Cakalang sudah tidak masuk lagi karena pencemaran laut,” kata Laban.

Mencari ikan di seputaran Kampung Tobati sejak 1970-an, Laban biasa berperahu membawa jaring dan alat pancing. Pergi melaut menjelang pagi, dia bisa cepat pulang dengan perahu berisi banyak ikan. Memancing di laguna di Teluk Youtefa pun mudah saja. Airnya masih bersih. Sejumlah ikan, seperti cakalang, kombong, deho, gutila, dan samandar, menjadi buruan penduduk kampung. Hutan bakau tempat pemijahan ikan pun masih aman. Kepiting, ikan, dan siput melimpah.

Namun, sejak dua dekade lalu, Laban merasakan variasi ikan-ikan di Teluk Youtefa terus menyusut. Kini tersisa samandar kecil yang masih bisa dipancing. “Sekarang butuh semalaman untuk mendapatkan ikan,” ujarnya saat ditemui pada Agustus lalu.

Pencemaran di Teluk Youtefa, menurut Laban, membuat jumlah ikan berkurang drastis. Hutan-hutan bakau di kawasan teluk yang dibabat membuat tempat ikan biasa bertelur hilang. Pembangunan jembatan, jalan lingkar menuju Jayapura, dan bangunan lain di pesisir Teluk Youtefa ikut memperparah kondisi lingkungan. “Banyak proyek di sini, bunyi mesin-mesin dan alat berat, ikan bergeser semua,” katanya.

Ricky Hababuk, nelayan yang sehari-hari melaut di Teluk Youtefa, menuturkan kian sulit menangkap ikan dalam beberapa tahun terakhir. Para nelayan justru banyak menjaring sampah. Padahal, sebelumnya ikan sangat mudah didapat dalam tempo kurang dari dua jam. “Menebar jaring di depan rumah pun sudah bisa mendapat banyak ikan,” katanya.

Sulit mendapat ikan, penghasilan Ricky ikut melorot. Untuk mendapat duit Rp 200 ribu, dia harus bekerja keras dengan melaut semalaman. Sebelumnya, Ricky bisa meraup pendapatan hingga Rp 1 juta dari hasil memancing di Teluk Youtefa. “Sekarang mau dapat ikan kecil-kecil saja susah,” ujar Ricky.

Kepala Kampung Injros, Origenes Meraudje, mengatakan para nelayan dan masyarakat tak lagi leluasa menangkap ikan. Mereka lebih banyak mencari ikan di sekitar rumah setelah sebagian kawasan laut dijadikan area untuk lomba dayung Pekan Olahraga Nasional 2021. Padahal, lokasi itu tadinya rumah berbagai jenis ikan dan kerang. “Masyarakat masih menangkap ikan, cuma areanya berkurang,” tutur Meraudje.

Venue dayung dan fasilitas untuk PON 2021 di Teluk Youtefa diduga melanggar aturan tata ruang Kota Jayapura. Apalagi venue dayung itu berada di hutan lindung. Proyek itu juga dinilai tak melalui prosedur perizinan dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua. “Dinas Kehutanan tidak mungkin tidak terlibat karena ini barang di depan mata,” kata anggota Komisi A DPRD Kota Jayapura, Yoan Alfredo Wambitman, Selasa, 21 Juli lalu.

Masyarakat setempat pun menentang pembangunan itu. Ketua Lembaga Masyarakat Adat Port Numbay, George Awi, mengatakan penduduk sebenarnya tidak keberatan atas pembangunan apa pun selama sesuai dengan peraturan tata ruang wilayah. “Kalau itu daerah mangrove atau hutan lindung, pemerintah juga harus menaatinya,” kata George.

Menurut George, pemerintah sejak awal tak melibatkan warga setempat dalam konsultasi pembangunan venue dayung untuk PON 2021. Konsultasi publik baru dilakukan pada 30 Juli. Padahal, sebagian lokasi proyek sudah ada yang ditimbun sejak awal Juli. Timbunan menjorok ke laut dan menggerus kawasan mangrove. Pembangunan berhenti setelah masyarakat melayangkan protes.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana perkampungan Tobati di Teluk Youveta, Jayapura, Papua, Juli 2020./Jubi/Tempo/Engel Wally

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

George mengatakan pelibatan masyarakat seharusnya dilakukan sebelum pembangunan dimulai. Apalagi ada sejumlah tempat yang dianggap sakral oleh penduduk, termasuk hutan bakau yang disebut hutan khusus perempuan. Lenyapnya pohon di pesisir, seperti cemara, sagu, dan mangrove, yang dibabat demi proyek dinilai bisa meningkatkan abrasi di kawasan yang menghadap ke Samudra Pasifik itu. “Adat mendukung pembangunan, tapi ada aspek yang harus dipertimbangkan,” ujarnya.

Pembangunan sejumlah proyek besar di Teluk Youtefa pun menambah kerusakan yang sudah terjadi di kawasan itu. Hasil penelitian akademikus Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Cendrawasih, John Dominggus, menunjukkan bahwa kawasan mangrove di Teluk Youtefa termasuk dalam kategori tidak sehat. Karakter mangrove yang sehat memiliki kerapatan tinggi, serta indeks gangguan, interaksi ekosistem dengan manusia, dan tingkat eksploitasi rendah.

Studi John Dominggus yang dipublikasikan di Jurnal Biodiversity pada 2018 itu menyebutkan ekosistem mangrove Teluk Youtefa terganggu aktivitas manusia dan tercemar sampah yang membuat tempat pemijahan ikan hilang. Menurut John, sebagian daerah di pesisir mangrove di depan Kampung Enggros tidak lagi memiliki dasar pasir. “Yang ada sampah,” katanya saat ditemui di Jayapura, awal Juli lalu.

Dalam kondisi sehat, mangrove Teluk Youtefa bisa menjadi tempat ikan bertelur dan sarang kepiting. Mangrove juga membantu menjaga garis pantai dari abrasi dan memicu pertumbuhan pulau lewat sedimentasi. Namun perubahan, sebagai dampak kerusakan lingkungan, membuat para nelayan makin susah mendapatkan ikan. Kalaupun berhasil menangkap ikan, menurut John, hasilnya tidak variatif. Nelayan juga membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan ikan. “Serta semakin jauh ke arah Papua Nugini,” katanya.

Teluk Youtefa termasuk dalam kategori teluk semi-tertutup. Proses pasang-surut mempengaruhi fluktuasi variabel fisik dan kimiawi perairan. Tingginya tingkat sedimentasi dan buangan limbah membuat warna air Teluk Youtefa menjadi lebih cokelat dan berdampak pada ekosistem. “Kondisi tersebut tanpa disadari telah mempengaruhi keberadaan plankton, di antaranya zooplankton,” kata Triana Mansye Kubelaborbir, pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Pesisir Universitas Ottow Geissler, Jayapura, Papua.

Yehuda Hamokwarong, peneliti dari Jurusan Geografi Universitas Cenderawasih, menilai kehadiran jembatan Youtefa sudah mengubah kondisi fisik kawasan itu. Banyak investor berdatangan membawa proyek pembangunan di kawasan Teluk Youtefa. Vegetasi pesisir seperti cemara udang, pandan, kelapa, belukar, rawa, dan hutan sagu tergusur. Fungsi pohon-pohon sebagai penahan abrasi dan intrusi air laut pun berkurang karena ditebangi. “Padahal, di situ juga rumah ikan-ikan,” katanya.

Perubahan lingkungan juga berdampak pada kondisi psikis dan sosial masyarakat di Teluk Youtefa, seperti di Kampung Tobati, Enggros, Kayu Pulo, dan Skouw. Kehadiran jembatan Youtefa dan pembukaan kawasan hutan lindung memicu konflik horizontal di antara pemilik ulayat. Menurut Yehuda, ada saling klaim kepemilikan dan penjualan tanah yang berujung pada sengketa.

Pesisir Teluk Youtefa yang terbentang dari kampung Nafri, Injros, dan Tobati berisi beberapa tipe mangrove, antara lain Sonneratia ovate, S. alba, Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa, Avicennia alba, Xylocarpus granatum, dan Bruguiera gymnorrhiza serta B.cylindrica. Teluk ini juga memiliki padang lamun seluas 110,83 hektare atau sekitar 26 persen luas perairan dalam Teluk Youtefa. Di dalamnya ada empat spesies lamun, yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, dan H. minor.

 
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, TIMOTEUS MARTEN, DOMINGGUS A MAMPIOPER (JAYAPURA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus