Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Rusak Sungai karena Tambang

Penyebab DAS Cimandiri kritis adalah aktivitas tambang ilegal yang telah berjalan puluhan tahun. Bermula di bagian hilir dan tengah, lalu merangsek ke hulu. 

10 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penambangan pasir di Sungai Cimandiri, Kabupaten Sukabumi, dilakukan oleh para penambang turunan yang berasal dari luar daerah.

  • Aktivitas penambangan pasir itu membentang dari Citarik hingga Cidadap.

  • Karena berasal dari luar Sukabumi, para pengusaha itu tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan.

AKTIVITAS penambangan pasir sudah menjadi pemandangan yang lumrah bagi Sumanta, 43 tahun. Menurut warga Kampung Cihurang, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, itu, tambang ilegal di wilayahnya adalah para penambang turunan yang berasal dari luar daerah. Awalnya mereka diajak menambang, lalu mendatangkan kerabatnya untuk ikut menambang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun mayoritas warga Simpenan, menurut Sumanta, bermata pencarian nelayan. “Mereka bukan orang sini. Karena sudah tahu situasi di sini, mereka akhirnya menambang sendiri,” ucapnya saat ditemui pada Selasa, 6 September lalu. Menurut Sumanta, di simpang Cihurang, dekat Masjid Misbahul Huda, sudah menunggu pengepul-pengepul yang siap menadah hasil galian mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pengepul biasanya akan membeli pasir dari para penambang dengan hitungan per blek (kaleng kerupuk). Pasir itu kemudian diangkut menggunakan truk pengangkut ke pangkalan-pangkalan pasir milik mereka yang lokasinya masih di sekitar Simpenan.

Sumanta tak tahu pasti berapa jumlah penambang di Sungai Cimandiri, salah satu sungai terbesar di dalam ekosistem daerah aliran sungai (DAS) Cimandiri. Menurut dia, aktivitas penambangan itu membentang dari Citarik hingga Cidadap. Bahkan aktivitas penambangan mulai merambah daerah hulu, tepatnya di Desa Caringin, Desa Sukarame, dan Desa Sukamahi, Kecamatan Gegerbitung.

Berdasarkan pantauan Tempo, para penambang pasir di dekat hilir Cimandiri itu mula-mula membawa perahu mereka ke tengah sungai. Sampai di sana, mereka lalu menyelam dan mulai mengambil pasir dari dasar sungai. Ketika perahu sudah terisi penuh dengan pasir, mereka kembali meminggirkan perahu dan memindahkannya ke titik-titik pengumpulan pasir.

Pasir di hilir Sungai Cimandiri merupakan sedimentasi yang terbawa aliran sungai dari hulu. Sedimentasi tersebut diperparah oleh berbagai aktivitas penambangan serupa di hulu. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukabumi Yudha Sukmagara mengatakan aktivitas penambangan di hulu Sungai Cimandiri berlangsung sejak 1995. Bahkan sangat riuh.

Saat itu, Yudha menjelaskan, ada banyak izin yang dikeluarkan untuk aktivitas penambangan di daerah hulu. Bahkan kawasan itu sempat ditetapkan sebagai zona pertambangan karena memiliki kandungan pasir dan bebatuan yang unggul. “Karena itu, akhirnya banyak pengusaha masuk melakukan penambangan di sana,” tuturnya.

Menurut Yudha, para pengusaha bermodalkan uang dan izin berlomba-lomba mengeruk pasir demi keuntungan sebanyak-banyaknya. Karena berasal dari luar Sukabumi, dia menambahkan, para pengusaha itu tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan dan cenderung membiarkan bekas-bekas tambang menganga tanpa direboisasi atau direklamasi. Bekas-bekas galian inilah yang dimanfaatkan oleh penambang turunan.

Yudha bercerita, aktivitas penambangan di hulu yang diberikan izin alias legal pernah ditutup oleh masyarakat. “Karena warga merasa dampak buruknya lebih banyak, kawah-kawah jadi banyak, air jadi keruh,” ucapnya. Saat ini aktivitas penambangan pasir terus berjalan secara ilegal dan terkesan kucing-kucingan.

Selain penambangan pasir, Yudha menyebutkan salah satu penambangan yang menebalkan sedimentasi Cimandiri adalah penambangan emas dengan metode tambang dulang—menyemprot air ke tanah dan melakukan pengayakan untuk pemisahan tanah dengan pasir emas. Aktivitas itu, menurut Yudha, membuat air menjadi keruh dan tanah yang terbawa aliran menyebabkan pendangkalan sungai.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi Teja Sumirat mengakui kekritisan DAS Cimandiri yang dimulai dari hulu salah satunya disebabkan penambangan ilegal. Ia mengatakan ada dua faktor yang mendorong kekritisan DAS. Pertama, ulah manusia, seperti penambangan ilegal hingga perilaku membuang sampah ke sungai yang masih sulit dihilangkan. Kedua, kejadian alam, seperti erosi dan tanah longsor.

Teja menyebutkan erosi dan tanah longsor terjadi karena peralihan fungsi hutan di DAS Cimandiri, yang dulu banyak pohon sebagai penyerap air tapi kini berubah menjadi lahan pertanian pangan musiman, juga berdirinya beberapa kandang ayam. “Sehingga banyak lahan tutupan hutan yang terbuka, mengakibatkan terjadinya erosi atau tanah longsor karena tanah sudah tidak bisa lagi menampung beban air yang ada, terutama air hujan,” ucapnya.

Menurut Teja, alih fungsi lahan menjadi pertambangan terjadi sejak 1993. “Saya pernah mengecek kualitas airnya pada 2001 dan hasilnya tidak baik. Ini kami akui menjadi permasalahan bersama,” tuturnya saat ditemui di kantornya, Selasa, 6 September lalu. “Penanganan DAS Cimandiri ini terutama soal perizinan tambang. Kewenangannya ada di provinsi, meski kami juga memiliki kewenangan dan berkepentingan di DAS Cimandiri.”

Teja mengatakan sejak 1993 aktivitas pertambangan tak berkurang. Bahkan, dia melanjutkan, pelaku pertambangan di DAS Cimandiri yang terbentang 100 kilometer dan melintasi Kota dan Kabupaten Sukabumi itu hanya beberapa yang memiliki izin usaha pertambangan. Selain itu, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada 31 izin usaha pertambangan ekstraktif yang membebani ekosistem DAS Cimandiri.

Kondisi Sungai Cimandiri agak berbeda dengan Sungai Cicatih yang juga masih dalam satu ekosistem DAS Cimandiri. Kekritisan Sungai Cicatih, menurut Teja, disebabkan pencemaran sungai oleh limbah rumah tangga dan limbah industri. Untuk mengatasinya, dinas yang ia pimpin kerap mensosialisasi masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai untuk menjaga kelestarian sungai dengan tidak membuang sampah ke sungai.

Ketua Badan Pengurus Absolute Indonesia Muhammad Kosar mengatakan Sungai Cicatih berperan vital sebagai salah satu sumber energi. Aliran sungai yang berhulu di Kalapanunggal ini dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air Ubrug yang listriknya memasok daya kereta rel listrik jurusan Jatinegara-Tanjung Priok.

Sedimentasi akibat erosi, menurut Teja, akan sangat mempengaruhi aktivitas persawahan masyarakat Sukabumi. Sebab, DAS Cimandiri menjadi tumpuan utama pemasok air untuk irigasi 1.910 hektare sawah di Sukabumi. Selain itu, hal ini akan berdampak pula pada sektor pariwisata, seperti wisata pantai, arung jeram, dan tubing, serta mempengaruhi Geopark Ciletuh.

Kepala Bagian Sumber Daya Alam Sekretariat Daerah Kabupaten Sukabumi Prasetyo mengatakan ada banyak aliran sungai di Sukabumi yang rusak. Namun, ucap dia, tak ada yang kekritisannya melebihi DAS Cimandiri. Prasetyo mengatakan ada 74 DAS yang mengalir di Sukabumi, tapi yang terbesar dan menjadi penopang utama kebutuhan air masyarakat adalah DAS Cimandiri.

Menurut Prasetyo, kekritisan Cimandiri yang salah satunya akibat kegiatan ekstraktif telah menjadi bahasan penting di Pemerintah Kabupaten Sukabumi akhir-akhir ini. “Aktivitas pertambangan selama bertahun-tahun tentu akan menambah laju kerusakan,” tuturnya. Ini bertentangan dengan program Pemerintah Kabupaten Sukabumi yang ingin mewujudkan daerahnya sebagai kabupaten konservasi yang menonjolkan pariwisata berbasis konservasi.

Salah satu upaya yang telah ditempuh, menurut Prasetyo, adalah pembentukan Satuan Tugas Konservasi. Satgas ini memiliki tugas utama menjaga dan melestarikan sumber daya alam Sukabumi, termasuk sungai. “Baru kemarin dikukuhkan di Cisadong oleh Bupati Sukabumi. Sekretaris Daerah Sukabumi menjabat Kepala Satgas Konservasi,” ujarnya.

Langkah pertama yang akan dilakukan, Prasetyo menjelaskan, adalah mengidentifikasi lahan-lahan yang tergolong rusak. Kemudian pengkajian dan evaluasi perizinan usaha ekstraktif termasuk tambang ilegal. Setelah itu, upaya rehabilitasi lahan dilakukan dengan penanaman kembali di lahan-lahan kritis, terutama di lahan tutupan yang sudah terbuka.

M.A. MURTADHO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus