Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DAS Cimandiri yang memiliki rasio kebutuhan dan ketersediaan air 173,12, masuk kategori sangat kritis.
Kondisi lahan sangat kritis dan kritis di DAS Cimandiri saat ini telah mencapai 53 persen dari total luas DAS.
Lahan pertanian kering dan lahan pertanian kering campur di daerah hulu lebih luas dibanding tutupan hutannya.
PINA Ekalipta tak menampik ketika daerah aliran sungai (DAS) Cimandiri dikategorikan sangat kritis pada 2015-2019. Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASLH) Citarum-Ciliwung itu mengakui DAS Cimandiri yang memiliki indeks kekritisan air 173,12 persen masuk klasifikasi DAS yang harus dipulihkan. Sebab, DAS ini memiliki lahan sangat kritis dan kritis lebih dari separuh luasnya.
DAS Cimandiri yang membentang dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango hingga bermuara di Teluk Pelabuhan Ratu ini menjadi penopang utama kebutuhan air Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Namun DAS seluas 181.450,62 hektare ini belum masuk DAS Prioritas Nasional. “Sedang kami usulkan untuk masuk 108 DAS Prioritas,” ucap Pina di kantornya, Selasa, 6 September lalu.
Ada dua klasifikasi DAS berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, yakni DAS yang dipulihkan dan DAS yang dipertahankan daya dukungnya. DAS dipulihkan daya dukungnya jika kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial-ekonomi, investasi bangunan air, serta pemanfaatan ruang wilayahnya tidak berfungsi sebagaimana semestinya.
Pina menjelaskan, lahan kritis dan sangat kritis DAS Cimandiri mencapai 53,33 persen dari total luas DAS atau 96.757,77 hektare. Jumlah itu belum mencakup lahan yang agak kritis dan berpotensi kritis. “Tutupan hutan yang hanya sekitar 12 persen menjadi salah satu penyebab terbesar kekritisan DAS Cimandiri,” tuturnya. Luas tutupan hutan lahan kering primer pun hanya 1,77 persen dan hutan lahan kering sekunder 10,76 persen. Selain itu, hutan tanaman sekitar 21 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas pertanian masyarakat disepanjanga DAS Cimandiri, Sukagalih, Sukabumi, Jawa Barat, November 2021. Deden Pramudiana/Independent Forest Monitoring Fund
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktor lain yang memperburuk kondisi DAS Cimandiri, menurut Pina, adalah luas lahan pertanian kering dan lahan pertanian kering campuran yang 3,6 kali lebih luas dibanding tutupan hutan. Lahan pertanian kering saja luasnya hampir mendekati 49 ribu hektare atau hampir 27 persen dari total luas DAS Cimandiri dan kebanyakan berada di bagian hulu DAS. Hal ini menunjukkan manajemen atau pemanfaatan ruang wilayah dan lahan yang kurang baik.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2012 itu, presiden yang menetapkan klasifikasi DAS. Klasifikasi tersebut dievaluasi secara berkala setiap lima tahun sekali. “Status DAS Cimandiri dalam evaluasi terakhir tetap sebagai DAS yang dipulihkan daya dukungnya,” ujarnya. DAS, dia menambahkan, merupakan sebuah unit representatif dalam pemeliharaan fungsi tanah dan lahan. “Kalau di hulu yang memiliki kondisi kelerengan tinggi dibuka pertanian lahan kering tanpa terasering tentu berpotensi erosi,” ucap Pina.
Ia menceritakan, beberapa tahun lalu di hulu dalam kawasan taman nasional pernah ditemui area yang sudah ditanami oleh BPDASLH Citarum-Ciliwung berubah menjadi sawah tadah hujan. Wilayah hulu sebagai tangkapan air yang tidak dapat berfungsi maksimal karena kerusakan lahan juga dapat menyebabkan banjir di bagian tengah dan hilir DAS. Adapun musim kemarau berpotensi menyebabkan kekeringan.
Menurut pelaksana tugas Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Pariah, daerah hulu DAS Cimandiri merupakan menara air. “Ekosistem TNGHS termasuk vegetasi, sistem perakaran, tanah, serta bebatuannya menyerap air hujan, menyimpannya, lalu mengeluarkannya dalam bentuk mata air yang mengalir sepanjang tahun,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 September lalu.
Pariah juga menyinggung potensi sosial-ekonomi dan budaya dari ekosistem hulu itu. Ia menyebutkan kawasan hulu DAS Cimandiri di kawasan TNGHS merupakan penopang budaya asli masyarakat sekitar, terutama kasepuhan yang telah terbentuk berabad-abad silam. Selain itu, ia memahami kawasan itu menjadi penyangga kehidupan masyarakat, baik secara ekologi maupun ekonomi. “Dan memiliki potensi wisata yang cukup tinggi,” ujarnya.
BACA: Anak Muda Halimun Salak Membangun Desa
Meski demikian, ada beberapa beban izin di daerah hulu DAS Cimandiri yang berada di kawasan TNGHS. Di antaranya perizinan berusaha penyediaan sarana wisata alam yang dipegang oleh PT Bumi Cangkuang Lestari seluas 17 hektare, PT Bocimi Halimun Salak seluas 38,64 hektare, dan PT Hutan Alam Cimelati seluas 82 hektare. Di luar itu, ada pula izin pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi yang dipegang Star Energy Geothermal Salak seluas 228 hektare.
Untuk memulihkan kawasan kritis tersebut, Pariah mengatakan telah dilakukan penanaman kembali area hutan yang terdegradasi seluas 2.479 hektare. Selain itu, ia mengklaim telah melaksanakan kemitraan konservasi pemulihan ekosistem di area-area bekas Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau Perum Perhutani bersama masyarakat setempat. Lokasi ini sebelumnya merupakan area eks pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) sebelum ditetapkan sebagai wilayah konservasi.
Perubahan tutupan hutan dan lahan di hulu DAS Cimandiri bermula pada 2003, ketika Perhutani menjalankan program PHBM. Melalui program ini, masyarakat sekitar kawasan diperbolehkan memanfaatkan sebagian lahan yang dikelola oleh Perhutani untuk aktivitas pertanian di bawah tegakan pohon milik Perhutani dengan sistem tumpangsari (campuran antara tegakan hutan dan tanaman pertanian).
•••
SETELAH bertahun-tahun dihinggapi perasaan waswas untuk mengelola lahan pertanian di dalam kawasan TNGHS, Eko Yuli Saputro, 50 tahun, merasa lega setelah menjalankan skema kemitraan konservasi dengan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. “Dalam kesepakatan, kami bertanggung jawab untuk menjaga tanaman keras setidaknya 70 persen dari lahan yang kami garap,” kata Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Sumber Rezeki itu. Tanaman keras yang dimaksud Eko adalah damar, rasamala, puspa, randu, dan alpukat.
Ia bercerita, masyarakat di desanya, Pulosari, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi, sejak belasan tahun lalu menggarap lahan Perhutani. Dulu, dia menjelaskan, ada program PHBM yang memungkinkan masyarakat menggarap lahan Perhutani dengan sistem tumpangsari. Namun, ketika wilayah itu ditetapkan sebagai kawasan konservasi, masyarakat mulai terombang-ambing. “Kami kerap ditegur karena tidak boleh ada bukaan, apalagi untuk lahan pertanian,” katanya.
Padahal masyarakat sangat menggantungkan kehidupan pada aktivitas tersebut. Dalam ketidakjelasan status itu, masyarakat kerap bergesekan dengan petugas TNGHS hingga harus kucing-kucingan untuk menggarap lahan. “Kami sangat mengerti bahwa lahan ini bukan milik pribadi sehingga tak ada keinginan untuk menguasai. Kami hanya ingin urusan dapur sehari-hari tercukupi,” ujar Eko.
Menurut Eko, kemitraan tersebut mulai dijajaki pada 2020 yang ditandai dengan penyelarasan visi-misi petani dengan pengelola TNGHS. KTH Sumber Rezeki beranggotakan 140 petani hutan yang menggarap lahan seluas 50 hektare pada lima dusun. “Kami berkomitmen untuk bertanggung jawab atas masa depan air dan oksigen. Kalau kami saja kekeringan, bagaimana dengan masyarakat di bawah?” ucapnya. “Yang sudah ada jangan sampai hilang, yang sudah hilang akan diganti.”
Senada dengan Eko, Ading, 24 tahun, mengatakan petani hutan yang bergabung di dalam KTH Mekarjaya yang ia pimpin telah menegaskan komitmen untuk menjaga tanaman keras yang sudah ada. “Kami tidak pernah membuka lahan baru. Luas yang digarap tak pernah berubah sejak mengelola lahan Perhutani,” tuturnya. KTH Mekarjaya baru pada 2021 menjalani skema kemitraan dengan TNGHS dengan menanam tanaman keras mahoni, hamerang, alpukat, dan durian.
BACA: Elang Jawa Bertelur di Halimun-Salak
Ading mendapat cerita tentang nenek moyangnya yang menanam kayu di kawasan itu sejak 1891 untuk menggantikan kayu-kayu yang hilang akibat bencana alam di masa tersebut. Setelah itu, masyarakat terbiasa menjadi penggarap di dalam kawasan hingga akhirnya kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan konservasi. “Setelah itu, masyarakat selalu bergesekan dengan aturan. Kami mencari ranting jatuh untuk kayu bakar saja jadi permasalahan,” tuturnya.
Menurut Ading, sempat ada masa-masa depresi ketika hampir semua warga di desanya banting setir menjadi kuli bangunan di Bogor, Jawa Barat, akibat tak diperbolehkan lagi menggarap lahan setelah penetapan kawasan menjadi area konservasi. “Jangankan buat beli ikan asin, beli beras pun tidak bisa ketika itu,” ucapnya. Padahal, dia melanjutkan, masyarakat telah sepenuhnya sadar untuk tidak menebang dan membuka lahan baru.
Pina mengatakan skema kemitraan konservasi yang melibatkan peran masyarakat di hulu merupakan jalan yang wajib ditempuh untuk menjaga DAS Cimandiri secara keseluruhan. Untuk mendukung kemitraan yang berlangsung, ujar dia, BPDASLH Citarum-Ciliwung membuat program penyediaan bibit gratis sebanyak 25 pohon per orang. Bahkan ke depan ia berencana membangun shelter bibit sehingga mempermudah akses petani di KTH untuk memperoleh bibit.
Ketua Badan Pengurus Absolute Indonesia Muhammad Kosar mengatakan kemitraan konservasi antara KTH dan TNGHS merupakan skema penyelesaian ketelanjuran aktivitas masyarakat dan ketidakpastian hak kelola masyarakat yang paling mendekati ideal. “Pernah ada inisiatif dari BPDASLH untuk menanam jutaan pohon, tapi tidak ada kesepahaman bersama,” katanya. Gesekan antara negara dan masyarakat terus terjadi.
Kosar mengatakan skema pertanian agroforestri yang dikembangkan akan menjadi solusi untuk mengembalikan daya dukung dan daya tampung DAS Cimandiri. “Sekaligus menjadi solusi bagi masyarakat untuk meningkatkan ekonomi mereka,” tuturnya. Meski demikian, menurut dia, diperlukan proses yang cukup panjang untuk mengubah pola pikir masyarakat yang terbiasa menanam sayur menjadi menanam pohon buah dan pohon rempah, seperti kapulaga dan cengkih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo