DI Sabang, 26 ribu petani yang hidup dari kelapa -- di samping menanam cengkeh dan cokelat -- kini dibayangi nasib buruk. Di kota yang pernah jadi pelabuhan bebas di Pulau Weh itu hampir 4 ribu hektar tanaman nyiur mereka diserang hama ulat. Padahal, hingga dua pekan lalu menurut Teuku Richard, Kepala Dinas Perkebunan Sabang, baru tercatat 1.123 hektar yang diserang Arthona catoxantha. Ulat ini di Aceh dinamai bambang, karena mirip kupu-kupu. Ulat putih yan berbulu halus, berkepala cokelat, berukuran 3 sampai 7 mm ini tubuhnya berdiameter 0,5 mm. Pada fase larva, antara 17 dan 23 hari, ia menjadi kepompong. Selama 10 hari, kemudian tumbuh dewasa, bersayap, mampu terbang sekitar 30 meter setinggi pohon kelapa dan ia menempuh jauh 500 meter. Biasanya, ulat ini bertelur di daun kelapa bagian bawah, yang 5 hari kemudian melahirlah Bambang junior. Bambang, yang dari ordo Lepidopterd itu, mengganas di Sabang sejak 1987. "Sekarang sulit melihat daun kelapa yang hijau di Pulau Weh ini," kata Teuku Richard. Kini banyak daun kelapa menjadi cokelat. Seorang petani, Misriani, hanya bisa mengeluh. Bahkan selama dua tahun ini tanaman kelapanya terus-menerus dikeroyok ulat. "Dalam seminggu ini daun kelapa di kebun saya sudah seti terbakar," tutur ibu dua anak itu. Sebelumnya para petani memang tidak gentar menghadapi Bambang. Usai musim hujan, ulat tersebut lazimnya lenyap pula seperti pernah terjadi pada 1970, 1977, dan 1983. "Sekarang ulat-ulat itu malahan makin bertahan," kata Mahdi, petani di Kelurahan Paya Seunara, Kecamatan Sukakarya, Kota Madya Sabang. Samadi, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Aceh, mulanya tidak percaya pada kehebatan Bambang. Tapi setelah melihat sendiri di lapangan, barulah dia terperangah. Serangannya kali Ini sudah luar biasa. Begitu selesai melahap daun pohon kelapa yang tua, kemudian ulat ini menyerang pula ke pohon kelapa yang lain. Serangan awal si Bambang bisa ditandai dengan berubahnya daun kelapa menjadi berbercak-bercak cokelat. Bila Bambang dewasa yang menyerang, daun itu bergaris, setelah seluruh pinggir daun itu disantapnya. Yang dimakan adalah klorofil daun, sehingga fotosintesisnya terganggu. Kalau daunnya sudah memerah, kata Richard kepada TEMPO, bunga dan buah muda kelapa yang masih muda pun berguguran. Hanya buah tua yang bertahan, walau dagingnya (yang putih) sudah tak sempurna. "Akibatnya, produksi kelapa turun sampai 50%," ujarnya. Suhendi, pemilik Firma Sabang Ria satu-satunya pabrik yang mengolah minyak kelapa di Sabang -- mengatakan, tahun lalu ia cuma mengekspor 550 ton. Padahal, di tahun sebelumnya ia masih melego 750 ton minyak kelapa ke Singapura. "Bila begini terus keadaannya, kami bisa bangkrut," kata Suhendi, karena semakin sulit memperoleh bahan baku kelapa. Dan menurut Amin Nyak Neh, Kepala Dinas Perdagangan di sana, kini Sabang terpaksa mendatangkan 40% bahan kopra dari daratan Aceh untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Melorotnya produksi kopra, selain banyak buah mudanya yang rontok, kelapa yang masih sempat dipetik pun kini sudah tidak produktif lagi. Sebelum ada serangan ulat itu, untuk I kg kopra diperoleh dari 4 kelapa. Sekarang, 1 kg kopra menghabiskan 6 butir kelapa. Annisak enam bulan lalu mengutip panen 8 ribu butir kelapa dari 400 pohon. Sekarang ia mengumpulkan sekitar seribu butir. "Karena buah kelapa itu seperti layu, hasil minyaknya juga berkurang," tutur Annisak, penduduk Kelurahan Kareung, Kecamatan Sukajaya. Biasanya, dari 50 butir ia memperoleh hasil 12 botol minyak kelapa. Kini cuma 3 botol. Terutama di tiga kelurahan di Sukajaya, kebanyakan petaninya hidup semata-mata dari pohon nyiur itu. Mereka tidak menanam cengkeh dan cokelat. Dan untuk memasak gulai yang bersantan, sekarang mereka malah terpaksa membelinya Rp 200 per buah. Dulu mereka menjual kelapa dengan harga Rp50 sebuah. Karena pohon nyiur itu sudah jangkung-jangkung, memberantas ulat tersebut juga sulit dengan menyemprotkan insektisida. Kecuali menginjeksi pembuluh batang atau xylem, dan menginfus akarnya dengan insektisida tamaron maupun monitor. Dosisnya 20 cc per pohon. Bila batangnya diinjeksi di pagi hari, sorenya ulat-ulat itu banyak yang mati. Hanya ada kelemahannya. Selama 4 hari buah kelapa itu, termasuk airnya, belum boleh dimanfaatkan karena bau obatnya belum hilang. "Kalau dimakan, bisa mencret," ujar Richard. Bahkan bila penyuntikan itu diterapkan dari satu ke pohon lain juga merepotkan. Di samping itu, injeksi hanya efektif dalam waktu tiga pekan. "Berapa besar biayanya? Obat itu seliter Rp 14 ribu, untuk 50 batang kelapa. Padahal, di Sabang ada setengah juta pohon kelapa yang menunggu diinjeksi," tambah Richard. Membasmi si Bambang mungkin lain bila musuh alaminya, yaitu burung perling, masih banyak. Populasi burung yang dagingnya enak dimakan ini juga sudah menipis, karena sering dimangsa orang. Selain burung perling, ada Apanteles bicarinatur dan Goryphus inferus. Parasit yang mampu mengisap cairan si Bambang sulit dibiakkan, karena tidak ada bibitnya. Dalam pada itu, tenaga peneliti dari Asia Development Bank, yang dijanjikan akhir bulan lalu datang, sampai sekarang belum nongol hidungnya ke Sabang. Padahal, Richard sudah memintanya ke Direktorat Jenderal Perkebunan di Jakarta. Ia juga memohon dana Rp 107,5 juta untuk mengusir si Bambang yang terus main gila di Pulau Weh itu.Suhardjo Hs. Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini