"Dulu, sungui di kota ini begitu menyejukkan. Elang leluasa terbang, satwa dan ikan bebas bercanda dalam kehidupan. Kini, sungai ini dibenahi saat menghadapi kematiannya. Airnya hitam, penuh sampah. Dan bau. Selamatkan kota kami ini!" JERITAN tersebut datangnya dari Manila, ibu kota Filipina. Warga di sana kian prihatin setelah menemukan Sungai Pasig yang cemar parah. Gambaran buruk itu tak terbendung lagi, sehingga Januari silam muncul di koran Manila Chronicle. Tapi itu cuma sebuah contoh jelek dari sekian kota besar di Asia. Juga Jakarta. Padahal, Sungai Ciliwung dan enam kali lainnya -- di antara 20 kali di kawasan ibu kota Indonesia ini -- walau tak lagi bersih, malah memberi andil untuk warga yang bermukim di sekitarnya. Sementara itu, urbanisasi dan industri yang makin pesat mengubah wajah kali menjadi kubangan plastik dan selokan limbah kimia. Dalam pada itu, bagi mereka yang bermukim di bantaran sungai, memang tidak ada pilihan untuk memanfaatkan fungsi sungai dalam memenuhi hajat sehari-hari. Mandi, buang air, memasak nasi, dan minum. Keadaan keruh ini dipersulit dengan hadirnya pemukim baru yang seenaknya membangun rumah di bantaran, bahkan masuk ke badan sungai. Pahamilah bila ini juga ancaman bagi seluruh warga kota yang berpenduduk hampir delapan juta ini. Mutu air sungai sebagai sumber utama air minum (PAM) bertambah larut dalam pencemaran berat. Itu belum lagi datang banjir bila musim hujan tiba. Kawasan rawan, sepanjang banjir kanal dan Kali Ciliwung, mulai dari Pasar Rumput sampai di Tanah Abang. Dan, air banjir kanal yang butek itulah yang disedot sebagai bahan baku air bersih di Pejompongan, lalu kita pun meminumnya. Pemda DKI dengan instansi lain telah berupaya mengamankan salah satu sumber air minum ini. Yaitu memelihara tepi kali yang penuh sesak dengan rumah-rumah liar, melalui Peraturan Daerah (Perda) No.3, 1978. "Perda ini sekarang disempurnakan lagi. Materinya sedang di proses di DPRD," kata Udin Abimanyu, Wakil Kepala Dinas Tata Kota DKI, pada Aji dari TEMPO. Perda dimaksud juga mengatur pemanfataan kawasan pinggir sungai untuk penghijauan kota: kepentingan pertamanan, paru-paru kota, dan pengamanan dari ancaman banjir. "Untuk itu telah dilakukan penertiban," ujar Udin lagi. "Tapi sekarang dibersihkan, besok berdiri lagi." "Kami menurut saja. Tapi kami akan membangunnya lagi. Habis, bagaimana," kata Usman pada wartawan TEMPO Priyono B. Sumbogo. Pria asal Bogor itu menempati tepian kali di Jalan Latuharhari itu bersama 400 penghuni liar lainnya, sejak dua tahun lalu.Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini