Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kenang, kenanglah runtuhnya syah ...

Nukilan buku 'the shah's last ride: the fate of an ally" menceritakan hari-hari terakhir syah iran. syah dilarang masuk amerika, kemudian mengungsi ke bahama. ia ternyata seorang petualang seks.

11 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh tahun sudah berlalu, sejak Revolusi Iran, yang dipimpin oleh mullah renta Khomeini, menyikat bersih Syah Iran Riza Pahlevi (1919-1979) dari keratonnya. Raja yangmerasa dirinya penerus kekaisaran Cyrus itu sempat bertakhta di gunung kemewahan, dikepung para pejabat penjilat yang korup, sementara rakyatnya sengsara. Buku yang ditulis oleh pengarang terkenal ini menceritakan hari-hari terakhir Syah. Mulai saat ia diusir, dilarang masuk Amerika, mengungsi ke Bahama, sampai meninggalnya diMesir. Berikut inibeberapa petikan yang menarik. WILLIAM SHAWCROSS THESHAH'SLASTRIDE: THEFATE OFANALLY PENERBIT: SIMON AND SHUSTER, 1988, 463 HLM. BANDARA Mehrabad Teheran, 16 Januari 1979. Angin dingin yang menusuk bertiup keras ketika dua pesawat Boeing 707 diparkir berdekatan dengan tenda kerajaan yang dilapisi permadani tebal. Dari panggung itulah biasanya, pada hari-hari bahagia dan aman, Syah Iran menyambut atau mengucapkan selamat jalan kepada tamu kenegaraannya. Kedua pesawat itu sedang dipersiapkan untuk terbang. Syah akan segera pergi. Tak ada kegiatan lain di bandara itu. Deretan pesawat Iran Air yang sering mendapat julukan "maskapai penerbangan kaviar" sudah beberapa pekan terakhir ini menganggur. Hampir semua buruhnya mogok. Juga dalam beberapa bulan terakhir ini, pada saat Revolusi Islam menunjukkan keperkasaannya, seluruh kegiatan negara sudah hampir lumpuh lantaran pemogokan. Dan mereka makin dekat saja ke sasaran utama: Syah sendiri. Keadaan di Teheran pun makin tak menentu. Aliran listrik makin kerap terputus. Minyak bumi, nyawa perekonomian, modernisasi, dan pembngunan militer, sudah beberapa pekan ini tak muncrat lagi dari dalam tanah. Malah untuk pemanasan, Iran harus mengimpor minyak. Usaha sedang dicoba untuk mengalirkan kembali minyak dengan mengerahkan tentara buat bekerja di ladang-ladang minyak. Dalam pada itu, di bawah salju yang turun tebal, mereka, golongan tak berada, antre untuk membeli minyak tanah. Para pengendara juga harus antre berjam-jam untuk mendapatkan bensin. Polisi, yang terpaksa diturunkan untuk menjaga pompa-pompa bensin dan untuk mencegah keributan, sering menembak ke atas sebagai peringatan. Tentara, polisi, pengendara, dan pelayan pompa semuanya memaki dingin udara, salju, dan juga: Syah. Di kejauhan tampak asap hitam-kelabu sampah dan ban-ban bekas yang dibakari oleh kelompok-kelompok pemuda yang berkeliling kota. Mereka menyetop mobil-mobil mewah: Mercedes dan BMW, serta menyedot bensinnya. Para pengendaranya tak berani memprotes, apalagi kalau mereka itu orang asing. Orang Amerika khususnya mesti hati-hati karena kalau melawan mereka bisa dipukuli. Alat paling cocok supaya selamat dari segala gangguan adalah dengan menempelkan gambar Ayatullah Khomeini di kaca mobil. Atau, sebagai jaminan keselamatan yang paling ampuh, adalah dengan memutar kaset pidato-pidato Khomeini yang diucapkannya dari pengungsiannya di Paris yang isinya memaki-maki Syah dan mengompori rakyat untuk menjatuhkan rezimna. Hari itu lebih tenang dari hari-hari sebelumnya, walaupun itu ketenangan yang diwarnai ketegangan yang juga memberi tanda bahwa suatu perubahan mendasar akan terjadi. Syah telah mengumumkan bahwa ia akan meninggalkan Iran untuk berlibur sambil berobat. Hanya saja hari kepergiannya yang pasti tak ada yang tahu. Sebagaimana umumnya situasi krisis dalam amukan revolusi, tak ada berita resmi. Tak ada yang tahu dengan jelas siapa yang berkuasa, siapa menendang siapa, dan siapa yang akan muncul sebagai pemimpin pada akhirnya. Seluruh penduduk negeri dengan tekun mendengarkan siaran bahasa Persia radio BBC, yang dipancarkan dari London. Berita-berita itu kebanyakan melaporkan kegiatan sang ayatullah di Paris. Kabar angin, desas-desus, kebohongan, dan kecurigaan makin menegangkan suasana. Menurut sebuah laporan, berita keberangkatan Syah cuma sebuah berita bohong untuk menyelimuti maksud lain, yakni: tentara akan merebut kekuasaan. Menurut logika, kalau Syah pergi, maka semua jenderal, admiral, marsekal, dan juga polisi rahasia Savak, yang paling dibenci dan ditakuti, akan kehilangan segala-galanya. Jadi, mereka takkan membiarkan bahkan takkan mengizinkan Syah pergi. Ada juga yang mengatakan, Syah hanya akan pergi untuk beberapa hari, dan kemudian CIA akan mengatur ia kembali, sambil melancarkan kontra-kup, seperti yang terjadi pada 1953. Ada lagi yang mengatakan tidak mungkin, lantaran kali ini justru Amerika dan Inggris yang mencampakkannya ke luar negeri. Kalau Inggris tidak mendeking Khomeini, mengapa pula BBC begitu gencar melaporkan segala gerak-gerik imam itu di Paris? Setiap orang jadi teringat pepatah kuno yang mengatakan, "Kalau kita angkat janggut seorang mullah, tulisan 'Buatan Inggris' akan terbaca di dagunya." Syah pribadi telah berusaha keras, dan gagal, membujuk Pemerintah Inggris untuk membatasi pemberitaan-pemberitaan BBC. Ia menganggap sikap Pemerintah Inggris itu sebagai suatu pengkhianatan. Kedudukan Amerika, konon, lebih kompleks. Kalau saja mereka menginginkan Syah duduk terus di takhtanya, pasti mereka akan menyuruh tentara bergerak menindas revolusi, bukannya hanya berpangku tangan. Tapi, malah Presiden Carter telah mengutus salah seorang jenderal senior untuk memastikan agar tentara tak berbuat apa-apa. Dari istana Syah yang terletak di bagian utara Teheran, Ratu Farah Diba telah mengirimkan sekapal penuh pakaian dan perhiasan ke Amerika. Itu merupakan masa-masa yang aneh bagi para pegawai pabean Eropa Barat dan Amerika. Bagaimana mereka dapat menaksir nilai barang-barang impor yang terdiri atas karpet kelas satu, lukisan, permata, barang pecah-belah yang gemerlapan. Bank-bank Teheran dibanjiri dengan permohonan untuk mentransfer uang yang berjumlah ratusan juta dolar bahkan puluhan milyar dolar kenomor-nomor rekening di Swis, Paris, London, bahkan ke Cayman Islands. Masa-masa itu juga bermunculan catatan-catatan harian yang dibuka kepada umum. Di London, Parviz Radji -- bekas duta besar Syah -- mengobral rahasia-rahasia hubungan asmaranya dengan Putri Ashraf adik Syah yang konon petualangan seksnya setaraf dengan Madame Pompadour. Ia menceritakan sas-sus, yang ternyata palsu, bahwa Syah sering datang berkunjung ke rumah seorang sahabat dekatnya yang mengisap candu. Dalam salah satu ceritanya, Radji pernah mengatakan ia sempat berpikir untuk kembali ke Iran dan menyelamatkan Syah. Tapi teman-teman dekat melarangnya pergi. Lelucon yang paling populer di Teheran belakangan ini -- tulis Radji adalah tentang seekor serigala yang lari tergopoh-gopoh ke luar kota. Seseorang yang melihatnya menanyakan mengapa ia demikian tergesa. Serigala itu menjawab, "Di kota itu orang membunuhi serigala yang memiliki tiga biji." "Jadi, kau lari ketakutan lantaran punya tiga biji, bukan?" tanya orang itu lagi. "Jelas tidak," kata sang serigala. "Tapi mereka menembak dahulu setiap melihat serigala dan baru kemudian memeriksa kalau bijinya tiga." Buat meredakan keberangan rakyat, Syah telah menahan beberapa orang pejabat senior, termasuk seorang bekas perdana menteri dan seorang bekas kepala Savak polisi rahasia zaman Syah yang paling ditakuti. Dasar penahanan itu adalah tindak korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Tapi upaya yang sangat terlambat itu malah hanya menambah musuh sendiri, lantaran banyak yang merasa itu sebagai pengkhianatan Syah terhadap orang yang pernah berada di bawah perintahnya. Pada bulan-bulan terakhir 1978, hampir seluruh penggede atau elite sudah berangkat ke luar negeri untuk menyelamatkan diri berikut hartanya. Di antara menteri-menteri Syah Iran yang terkaya, salah satunya adalah Hushang Anshari. Ia mendapat keleluasaan untuk pergi ke Amerika, dengan dalih mengadakan konsultasi dengan Henry Kissinger. Dari bandara ia menelepon hampir semua kenalannya dan mengatakan ia akan kembali dalam tiga hari. Buntutnya, ia tak pernah kembali. Dahulu sukar sekali bagi seseorang untuk mendapat kesempatan beraudiensi dengan Syah. Istana penuh dengan manusia-manusia yang di dalam bahasa Prancis disebut affairistes, terdiri atas para pejabat kesayangan, penjilat, dan pengambil keuntungan. Semua berusaha bertemu dengan sang kaisar: kesempatan itu bagaikan karunia karena disaring secara ketat. Rata-rata bukan untuk melaporkan sesuatu, tetapi untuk memohon. Syah bukanlah seorang pendengar yang baik, paling tidak untuk rakyat Iran. Dengan demikian, tak ada seorang pun yang datang kepadanya untuk memberinya nasihat. Setiap orang sadar bahwa sumber segala kebijaksanaan politik atau apa saja tak lain dari Syah pribadi. Tapi menjelang akhir 1978 keadaan itu berubah drastis. Ketika keraton sedang tercerai-berai dan semua hamba sahaya dan penasihat lari, posisi Farah makin penting buat Syah. Sama dengan suaminya, ia menolak tindakan kekerasan yang berlumuran darah dalam upaya menyapu bersih kaum revolusioner. Dan seperti jua suaminya, dia tak yakin apakah ia harus pergi. Pada suatu saat, ia pernah mengatakan kepada suaminya supaya Syah pergi saja, sementara dia tetap tinggal. Itu untuk memberi semangat kepada mereka yang masih percaya kepada raja. Tapi suaminya menolak dan akhirnya mereka memutuskan untuk angkat kaki bersama. Para pelayan dan perwira pengawal istana berbaris di tangga istana mengucapkan selamat jalan sambil menangis. Beberapa dari mereka memegang Quran dan menjunjungnya di atas kepala Baginda. Itu kebiasaan untuk mendoakan yang berangkat agar selamat dalam perjalanan. Sebagian dari mereka meraung sambil melambaikan tangan ketika helikopter yang membawa Sri Baginda dan Permaisuri mulai naik untuk menuju lapangan udara. Bertahun-tahun lalu, Syah biasanya berkendaraan melalui jalan-jalan Teheran untuk mengunjungi sanak saudaranya. Dalam beberapa tahun terakhir, ia hanya melihat ibu kota negaranya dari udara saja. Di dekat panggung keberangkatan, helikopeter itu mendarat. Syah mengucapkan pidato di muka sekelompok kecil pengantar dan wartawan. "Seperti yang saya katakan pada pelantikan pemerintah baru, saya merasa lelah dan memerlukan istirahat. Saya juga pernah mengatakan, kalau segalanya sudah beres saya akan pergi, dan kepergian saya adalah sekarang ini." Beberapa wartawan menanyakan, berapa lama ia akan pergi. Ia menjawab dengan suara halus, "Saya tak tahu ...." Kemudian ditunggunya perdana menterinya yang baru, Shapour Bakhtiar, yang pernah dipenjarakannya berkali-kali. Justru Bakhtiarlah yang sekarang mengizinkannya keluar dari Iran. Syah tak pernah menyenangi Bakhtiar. "Saya selalu mengatakan ia seorang Anglophile (orang yang keinggris-inggrisan), dan agen British Petroleum." Barangkali keputusannya unuk menunjuk Bakhtiar justru untuk menyenangkan hati Inggris. Tapi ia tak mau berangkat sebelum mendapat kabar penunjukan perdana menteri baru itu disetujui Majlis (parlemen). Ia menyuruh anggota stafnya menelepon ke kota dan menanyakan hal itu. Tapi telepon dari panggung keberangkatan ke kota sudah terputus. Mereka terpaksa menggunakan sistem radio pasukan pengawal yang disiarkan melalui markas besar tentara dan kemudian dihubungkan ke Majlis. Akhirnya terdengar sayup dari radio bahwa penunjukan Bakhtiar sudah disetujui parlemen. Sebuah helikopter dikirim untuk menjemputnya, dan tak berapa lama kemudian datang lagi dengan membawa sang perdana menteri baru. Bakhtiar yang ramping dan berwajah aristokrat muncul dari pintu helikopter dan menghampiri Baginda. Ia membungkuk hormat di muka rajanya. "Sekarang segalanya ada di tangan kau," kata Syah. "Kuharap Anda berhasil. Saya percayakan Iran ke dalam tanganmu dan kepada Tuhan." Hanya dalam beberapa hari kemudian, Bakhtiar sudah tersapu oleh gelombang kembalinya Ayatullah Khomeini. Ia tak lebih dari "Kerensky" Revolusi Iran. Syah dan rombongan berjalan menuju pesawat dengan melawan angin dingin yang bertiup agak kencang. Di muka Boeing 707 itu, ia berbalik dan melambaikan tangannya untuk terakhir kali kepada tanah airnya. Seorang jenderal yang tak lama kemudian kehilangan nyawanya di tangan kaum revolusioner datang mendapatkannya, berlutut dan mencium tangan kanannya. Salah seorang menjatuhkan diri dekat kakinya dan tersedu, dan Syah pun mengangkatnya. Tangan kirinya memegang kaca matanya. Mungkin sudah beberapa hari ia sulit tidur. Dan itu kelihatan dari wajahnya yang pucat dengan garis hitam di bawah kelopak matanya. Hampir semua orang menangis, termasuk Bakhtiar yang sebenarnya paling ingin Syah cepat-cepat enyah. "Lakukanlah apa saja yang kau pikir baik. Saya harap tak ada yang menjadi korban," katanya pada komandan pengawal istana. Menjelang jam dua siang, Syah dan Permaisuri berangkat. Ketika beritanya disiarkan, semua orang di Iran bersorak kegirangan. Klakson mobil dibunyikan terus-menerus selama lima menit. Orang menari-nari di jalan sambil menyanyi dan berteriak-teriak. "Syah sudah pergi! Ia takkan kembali lagi." Ribuan orang turun ke jalan sambil membawa bunga dan mengangkat tinggi-tinggi gambar Ayatullah. "Dengan kekuatan Khomeini, Syah telah kabur." Patung-patung Syah dan ayahnya digulingkan, dan surat-surat kabar muncul dengan, headline mencolok, "SYAH TELAH PERGI". Sementara itu, pesawat yang membawa Syah melaju menuju barat dengan Syah sendiri memegang kemudi. Ia sedang menuju ke satu titik yang menjadi sumber ilusi dan impiannya. Dunia itulah yang sekarang menjadi obyek kebencian dan dendam rakyat di tanah airnya sendiri. Pesta Awal Keruntuhan Oktober 1971, Mohammad Reza Pahlevi menyelenggarakan pesta besar yang termewah di dunia. Dikutuk sebagai pameran epik ala Cecil B. DeMille. PESTA diselenggarakan di reruntuhan Persopolis, yang dibangun oleh Darius dan dibakar oleh Aleksander yang Agung. Pesta itu dimaksudkan sebagai peringatan ke-2.500 tahun berdirinya Kerajaan Persia yang dipelopori oleh Cyrus yang Agung pada abad keenam sebelum Masehi. Kalau dilihat lagi, pesta itu juga merupakan permulaan berakhirnya dinasti Pahlevi yang didirikan oleh ayah Syah hanya 50 tahun yang silam. Pada 1971 itu, Syah juga merayakan HUT ke-30 duduknya di singgasana dan juga HUT ke-10 reformasi yang disebutnya sebagai Revolusi Putih. Pada revolusi itulah ia memperkenalkan perubahan pemilikan tanah, meningkatkan rakyat melek huruf, membebaskan wanita, mengurangi kekuatan dan kekuasaan para ulama. Tak mengherankan kalau "revolusi" itu justru telah membuat berang kaum ulama. Juga harus diingat tahun 1971 menandakan mencuatnya Iran sebagai kekuatan regional, berkat keberhasilan OPEC memaksakan harga minyak seenaknya. Syah memegang peranan utama dalam proses tersebut. Tapi barangkali yang paling penting adalah keputusan Inggris untuk menyelesaikan program penarikan kekuatan militernya dari wilayah "sebelah timur Terusan Suez". Dan bersama dengan Amerika, Inggris memberi angin kepada Iran untuk bertindak sebagai "polisi kawasan Teluk". Pada 1971, memang telah timbul rasa percaya diri di dalam diri Syah dan pemerintahnya. Tapi pesta Persopolis justru menunjukkan bahwa perasaan itu sekarang sudah berkembang menjadi kecongkakan yang tak masuk akal. Syah bermimpi bahwa itu akan menjadi suatu versi modern Kongres Wina 1815 ketika semua penguasa dunia (baca: Eropa) berkumpul dan membicarakan soal-soal yang penting Sebuah brosur yang diterbitkan pemerintah mengatakan bahwa itu akan merupakan "suatu pertemuan dunia tingkat puncak dan akan membuat Persopolis pada 15 Oktobe 1971 berubah menjadi pusat daya berat bumi." Syah memutuskan untuk mengikuti aturan protokol abad ke-19. Itu berarti tamu yang paling senior adalah sahabatnya, sekutunya, yang tak lain dari Haile Selassie, Singa dari Judah, Kaisar Etiopia. Presiden Georges Pompidou tak sudi datang, kecuali tempat duduknya setingkat lebih tinggi dari Haile Selassie. Syah tentu saja menolak, dan karenanya Pompidou hanya mengirim perdana menterinya. Syah tak pernah memaafkan Pompidou atas penghinaan itu. Raja dan Ratu Denmark hadir di sana. Juga raja-raja dari Yordania, Belgia, dan bekas raja Yunani. Ratu Elizabeth dari Inggris tak bisa hadir, tapi ia digantikan oleh suaminya, Pangeran Philip, dan anaknya, Putri Anne. Pangeran Bernhard dari Belanda datang mewakili istrinya, Ratu Yuliana. Barangkali yang paling mengecewakannya adalah ketakhadiran Presiden Nixon, padahal Pat Nixon sudah dinobatkan jadi ketua kehormatan Panitia Amerika untuk Peringatan ke-2500 Kerajaan Persia itu. Bukan saja tamunya yang diimpor, tapi segala yang ada di pesta itu juga barang didatangkan dari Paris. Sebuah kota tenda diciptakan di dataran tinggi Persopolis, dan itu dikerjakan oleh seorang dekorator terkenal Prancis Jansen. Perusahaan Jansenlah yang selama berpuluh tahun menjadi dekorator istana raja di Beograd pada 1920, apartemen pribadi Edward VIII (kemudian menjadi Duke of indsor) di Istana Buckingham pada 1935, dan juga apartemen-apartemen mewah di Fifth Avenue, New York. Gaya klasik Jansen yang diberi nama romantis style-Palais-style-Ritz, sub-Louis Quartorze merupakan gaya yang paling cocok dengan selera Syah. Di tengah tenda-tenda gaya Jansen itu, berdirilah sebuah tenda besar yang diberi nama Big Top tempat resepsi dan makan malam diselenggarakan. Lantainya ditutupi oleh beludru warna rubi dan kursi-kursi indah. Di tenda itulah Syah dan Permaisuri tinggal. Makanan di Persopolis dimasak oleh restoran jet-set Maxim's dengan dibantu para juru masak jempolan dari seluruh Eropa. Masakan yang akan disajikan sudah dicicipi dahulu setahun sebelumnya. Sejarah yang fantastis itulah yang dirayakan Syah di Persopolis pada, 1971. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tak lain dari pewaris spiritual Cyrus Agung. Sama dengan Cyrus, ia akan meluaskan pengaruh, kekuasaan, dan kekaisarannya ke seluruh penjuru bumi. Untuk perayaan itu para prajurit Iran dilarang bercukur selama berbulan-bulan sehingga wajah-wajah mereka akan merupakan replika para jagoan perang Cyrus berpuluh abad yang silam. Tapi banyak orang Iran yang tak kagum dengan itu. Salah satu bekas duta besarnya mengutuk apa yang dilakukannya itu. "Itu tak lebih dari pameran epik ala Cecil B. DeMille." Cecil B. DeMille adalah pembuat film-film kolosal dan mewah dari Hollywood. Tapi barangkali justru inilah yang dampaknya besar terhadap perkembangan Iran tujuh tahun kemudian. Yakni Syah dengan sengaja menghilangkan dan tak peduli terhadap pengaruh Islam atas sejarah Iran dengan cara menghubungkan Iran modern dengan kerajaan Cyrus dan Darius. Inilah yang membuat marah para mullah yang walaupun ditindas masih berpengaruh di tingkat rakyat jelata. Tujuh tahun kemudian, para pengritik keras Syah mengambil pesta Persopolis ini sebagai contoh tingkah laku berlebihan Syah yang tak bisa ditoleransi. Banyak yang tak senang lantaran begitu besar biaya yang mesti dikeluarkan. Sebagian lagi, termasuk Permaisuri, tak puas lantaran peristiwa itu demikian keprancis-prancisan, sehingga tak ada bau-bau Iran sama sekali. Biaya yang dikeluarkan tak kurang dari 300 juta dolar Amerika. Padahal, penghasilan per kapita rakyat Iran pada waktu itu masih-500 dolar Amerika per tahun. Tambahan lagi pesta itu lebih merupakan pesta keluarga Pahlevi dan bukan Iran. Pada waktu itu, tak ada yang mengutuknya secara keras selain dari Ayatullah Khomeini. Dialah mullah yang telah dibuang Syah ke luar Iran pada 1964, karena oposisinya terhadap rezim Pahlevi. Tapi suara Khomeini pada waktu itu tak lebih dari suara jangkrik di padang pasir yang begitu luas. Kalau kita simak kini, pesta Persopolis itulah permulaan dari akhir dinasti Pahlevi. Sejak saat itu, Syah lebih tertarik pada soal-soal militer ketimbang sosial. Harga minyak telah membawa Iran ke kekayaan yang tak terbayangkan sebelumnya. Tapi hasil dari minyak itu tak digunakannya untuk membangun negara dan menyelamatkan rakyat miskin. Kekayaaan itu malah dilalap oleh para koruptor yang terdiri atas keluarga Pahlevi sendiri dan para penjilatnya serta juga perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Iran. Petrodolar itu malah telah membawa kekacauan ke tengah rakyat. Untuk Syah pribadi, kekayaan negara itu telah membawanya ke dunia tanpa realitas. Ia makin terbenam dengan mimpi-mimpi tentang kekaisarannya dan pentingnya takhtanya sebagai pewaris kepemimpinan Cyrus. Dalam sebuah wawancara pada 1975 ia mengatakan bahwa selama pesta Persopolis itu, "... seluruh dunia, dari PBB sampai ke ibu kota semua negara, berdiri menghormat kepada Cyrus dan kerajaannya .... Benih-benih kerja sama internasional telah ditebarkan dari Persopolis ...." Dalam beberapa tahun berikutnya tak seorang pun berusaha mempertentangkan visi itu dengan kenyataan yang dihadapi. Tak ada pejabat Syah yang berani menentang pendapat Syah. Pada suatu hari datanglah ke istana seorang yang bernama Dr. Shakhar. Ia seorang ahli hukum yang selama 20 tahun tak pernah diiizinkan bertemu Baginda. Ia meminta kepala protokol istana untuk bisa bertemu dengan Syah, dan diizinkan. Ketika ia keluar dari audiensi itu, Dr. Shakhar mengira pembicaraannya dengan Syah cukup berhasil. Karenanya ia meminta lagi audiensi lain, dan dengan mudah diperolehnya. Setelah keluar dari pertemuan kedua inilah ia mengatakan pada kepala protokol bahwa ia telah berhasil mendapat jalan keluar dari kekacauan di Iran. Para negarawan asing pun lebih bersemangat mendorong Syah untuk menyebarkan kekayaan Iran ke arah mereka ketimbang menasihatinya untuk lebih berhati-hati, menahan diri, dan lebih memperhatikan rakyatnya sendiri. Pemimpin-pemimpin Prancis berusaha meminta maaf atas "kesalahan" yang dibuat Georges Pompidou dan mencoba agar Iran mau membeli reaktor nuklir dari perusahaan-perusahaan Prancis. Amerika memberinya kunci ke gudang persenjataannya. Inggris, Belanda, Jepang, serta negara-negara sosialis, dengan perkecualian Albania, antri untuk mendapat rezeki dari kekayaan Iran. Setiap orang berusaha mendekat, memuji, dan kemudian menjambret uangnya. Kebodohan telah dijadikan inspirasi, mimpi dianggap masa depan, dan propaganda dinobatkan jadi kebenaran. Tapi itu semuanya hanya berlangsung sampai bulan Januari 1979. Petualangan Seks Syah Keraton dikotori petualangan seks. Syah doyan gadis Eropa yang berambut pirang dan bermulut lebar. Hanya Permaisuri: Farah Diba yang bersih gosip. IBU Farah, Faridah Ghotbi, datang dari kalangan keluarga aristokrat di daerah Kaspia. Keluarganya dari pihak ibu telah mengabdi keluarga kerajaan dari generasi ke generasi. Mereka memiliki reputasi sebagai keluarga yang ber-kelakuan baik dan jujur. Ayahnya adalah perwira tentara yang mendapat latihan di St. Petersburg (Rusia) dan kemudian di Prancis. Ia menjadi orang Persia yang menganggap Paris sebagai rumahnya yang kedua. Farah berperasaan demikian pula. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 10 tahun. Perkawinannya dengan Syah, menurut Farah kemudian, merupakan suatu tantangan yang tak terbayangkan sebelumnya. "Menikah dengan seorang raja -- rajaku sendiri -- laki-laki yang selalu kukagumi dengan perasaan tak terbatas ... ia seperti dewa saja layaknya. Dan tiba-tiba saja, ia berubah menjadi seorang lai-laki biasa. Ia sekarang suamiku. Dan itu merupakan suatu tantangan terbesar." Tapi, menjelang 1970-an hubungan perkawinan mereka menjadi njelimet. Mungkin lantaran ia menjadi dewasa secara politik, juga mungkin lantaran desas-desus petualangan asmara yang beredar di Teheran sampai juga ke telinganya. Kabar terakhir yang sampai kepadanya bahkan mengatakan petualangan asmara antara Syah dan wanita-wanita sudah tak mungkin ditoleransi lagi. Konon, para gadis panggilan -- anak buah Madame Claude di Paris yang kesohor di kalangan elite Eropa -- khusus didatangkan. Mereka itu disediakan sebagai sajian untuk Syah pribadi dan anggota-anggota kabinet serta istananya. Semua ini dianggap benar karena memang demikianlah tradisi dalam keluarga Pahlevi. Tapi sesuatu yang lebih serius terjadi lagi. Pada awal 1970-an keraton dan rakyat dihebohkan dengan gunjingan bahwa Syah telah jatuh cinta kepada seorang gadis Iran berusia 19 tahun yang mengecat rambutnya dengan warna pirang. Namanya, konon, Gilda. Yang dilakukannya sudah nekat, ia telah mengawini Gilda dan menempatkannya di sebuah vila dekat istana. Permaisuri pun kehilangan kesabarannya. Pada 1972 dengan tiba-tiba ia meninggalkan Iran, pergi ke Eropa. Muncullah desas-desus: krisis perkawinan telah terjadi. Ada yang mengatakan, pertengkaran itu lantaran adik perempuan Syah, Putri Ashraf yang ambisius. Tapi dugaan lain yang lebih kuat mengatakan, ya, gadis yang bernama Gilda itulah gara-garanya. Farah toh kembali, tapi ia bersikeras agar Syah mencampakkan Gilda. Untuk memenuhi tuntutan itu, Syah "diselamatkan" oleh iparnya Jenderal Khatami, suami Putri Fatimah yang kaya raya. Jalan keluar Khatami gampang saja: diambilnya Gilda sebagai wanita piaraan. Syah sangat berterima kasih kepada Jenderal Khatami. Cerita tentang petualangan seks Syah dan elit sekelilingnya tak habis-habis. Malah ada yang mengatakan, keraton Syah benar-benar sudah dikotori oleh seks. Kehidupan pribadi Putri Ashraf saja -- konon senang dengan "daun-daun muda" -- bisa dijadikan buku. Hanya Farah Dibalah yang bersih dari gosip itu. Sampai awal 1970-an, permucikarian merupakan suatu "seni" yang berkembang pesat di Teheran. Salah seorang penghuni istana yang sekarang hidup senang di London ingat akan hal itu. Ia bahkan mengatakan, "kami harus jadi mucikari untuk memperoleh kemajuan", dan diterima di kelas atas. Bisnis dan seks benar-benar bertalian erat. Beberapa orang penasihat yang paling dekat dengan Baginda malah bertindak sebagai pencari cewek buat sang raja. Cerita-ceritanya banyak dan seru. Pada suatu ketika, katanya, Syah bersikeras untuk melakukan hubungan intim dengan anak salah seorang menterinya di helikopter yang melayang-layang di atas Kota Isfahan. Ada yang mengatakan Syah punya anak haram yang ditempatkan di Paris, dan bahwa salah satu wanita piaraannya telah mengirim rekening-rekening baju haute couture-nya ke Kedubes Iran di Paris. Ketika pasangan Syah dan Farah tiba di pantai St. Moritz, Ratu langsung pergi ke vila mereka Suvretta. Sedangkan Syah sendiri pergi ke Hotel Suvretta buat menikmati wanita baru. Bila lobi sebuah hotel penuh dengan agen-agen Savak, artinya Syah sedang berada di sana dengan wanita. Dan setiap orang tahu. Ada cerita bahwa Syah doyan gadis Eropa yang berambut pirang dan bermulut lebar. Pada suatu saat ia pernah menyenangi pramugari-pramugari perusahaan penerbangan Lufthansa. Tapi untuk selama bertahun-tahun gadis-gadis kesenangannya datang dari Madame Claude yang mengorganisasi dengan rapi jaringan wanita panggilan ke seluruh Eropa. Konon, banyak anak buahnya yang amatiran, bahkan ada yang berkeluarga. Dengan sekejap balairung dipenuhi oleh manusia-manusia yang beberapa tahun lalu bahkan tak boleh dekat-dekat dengan istana. Di situ sekarang bisa ditemukan para anggota Front Nasional, para pemimpin golongan oposisi yang pada 1950-an dahulu diganyang oleh Syah pribadi, golongan monarkis, republiken, pengacara, dokter, dan juga golongan intelektual yang paling dibenci Syah. Semuanya itu punya teori sendiri, mengapa tiba-tiba revolusi Islam begitu populer dan apa yang selanjutnya akan terjadi. Pada suatu hari datanglah ke istana seorang yang bernama Dr. Shakha. Ia seorang ahli hukum yang selama 20 tahun tak pernah diiizinkan bertemu Baginda. Ia meminta kepala protokol istana untuk bisa bertemu dengan Syah, dan diizinkan. Ketika ia keluar dari audiensi itu, Dr. Shakhar mengira pembicaraannya dengan Syah cukup berhasil. Karenanya ia meminta lagi audiensi lain, dan dengan mudah diperolehnya. Setelah keluar dari pertemuan kedua inilah ia mengatakan pada kepala protokol bahwa ia telah berhasil mendapat jalan keluar dari kekacauan di Iran. Kepala protokol istana, yang bernama Kambiz Ambai, menanyakan kalau ia boleh tahu apa yang diusulkan Shakhar kepada Syah. Shakhar menjawab bahwa ia mengusulkan pada Syah untuk mendirikan ratusan tiang gantungan di seluruh negeri dan menggantung 100 orang di setiap tiang itu. Mulai dengan perdana menterinya sendiri, dan segala sesuatu akan beres .... Beberapa pekan sebelum meninggalkan Iran, Syah meminta pada seorang pemimpin oposisi terkemuka untuk membentuk pemerintahan. Orang itu, Gholam Hussein Saddiqi, berusaha keras, tapi gagal. Ketika dilaporkannya kepada Baginda bahwa ia tak berhasil mendapatkan seorang pun untuk bekerja di bawah pimpinannya, Syah terperangah. "Mengapa?" Saddqi, seorang tokoh terpelajar dan juga golongan intelektual yang dibenci Syah, malu untuk menjawab, dan juga merasa tak enak hati. Lantaran jawabannya rasa mustahil diucapkan oleh seorang bawahan kepada Shahansyah, Raja Diraja, Cahaya Kaum Arya Mohamad Reza Pahkevi. Tapi kemudian dengan ragu dijelaskannya juga: karena sekarang ini tak ada seorang pun yang mau namanya dihubungkan dengan Syah. Syah terpana, ia membungkukkan badannya ke muka dengan beringas dan mendorong tangannya ke depan jauh-jauh seraya berteriak, "Mengapa, mengapa? Aku tak mengerti." Hingga beberapa bulan sebelumnya, Syah masih benar-benar percaya bahwa ia dicintai rakyatnya. Ini akibat propaganda, kebohongan, dan penjilatan yang dibikin serta dilakukan oleh kerumunan orang di sekelilingnya. Semuanya itu dipercayai Syah, 100 persen. Padahal, dalam waktu 12 bulan terakhir, kemarahan seluruh bangsa itu telah ditiup oleh seorang kiai renta bernama Khomeini. Tiba-tiba saja, rakyat, dan itu rakyatnya sendiri, memaki dan merusakkan segala yang telah diciptakan Syah selama 30 tahun menduduki singgasana. Tak masuk akal, Syah tak bisa mengerti itu. Setahun yang silam, Syah masih begitu yakin akan kedudukannya yang mantap. Begitu juga kesan para sekutunya. Presiden Jimmy Carter berkenan melewatkan malam tahun baru 1978 bersama, sambil memujinya setinggi langit. Waktu itu Syah mengizinkan penerbitan serangan-serangan terhadap pemerintahannya yang dikeluarkan oleh Khomeini. Tak disangka-sangka serangan-serangan ulama tua itu justru menjadi picu penggerak kebencian terhadap Syah dan rezimnya yang selama ini tersembunyi. Demikianlah selama musim semi dan panas 1978, terjadi serangkaian demonstrasi, protes yang ditimpali dengan pembunuhan dan arak-arakan kematian. Pada 1978 itu, tercatat dua klimaks yang menentukan perkembangan revolusi. Pertama dalam bulan Agustus terjadi kebakaran di sebuah bioskop di Abadan. Ternyata, pintu terkunci dari luar, sehingga 400 jiwa melayang jadi abu. Pemerintah menuduh itu hasil kerja golonga Muslim fundamentalis. Kaum oposisi mengatakan itu dilakukan oleh Savak. Dan ternyata yang terakhir itulah yang dipercaya umum. Kemudian, pada awal September, pasukan bersenjata menembaki para demonstran di Lapangan Jaleh, Teheran Selatan. Ratusan orang mati dan luka-luka. Insiden terakhir itu merupakan prahara buat Syah. Presiden Carter menelepon dan sejak itu ia mulai merasa ada konspirasi terhadap Iran. Mereka yang pernah melihat dan berjumpa dengan Syah mengatakan ia menarik diri dan telah kehilangan kepercayaan dirinya. Beberapa hari setelah penyembelihan di Lapangan Jaleh itu, Syah mendapat kesempatan untuk menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang sadar akan kesengsaraan rakyatnya. Ia datang ke Tabas, kota yang, rusak akibat gempa bumi hebat. Tapi, ia bukannya pergi ke kota dan masuk jalan-jalan tempat para mullah, mahasiswa, dan pemuda sedang menggali mayat-mayat dan mencari orang yang mungkin masih hidup. Syah hanya datang dengan pesawat ke lapangan terbang kota itu dan menyaksikan bagaimana operasi penyelamatan yang dilakukan oleh tentara diatur dari sana. Ia hanya berjalan ke sana-kemari, kaku dalam baju marsekal yang dikenakannya. Kemudian ia terbang lagi. Pada waktu yang hampir bersamaan, Michael Blumenthal, menteri keuangan Amerika -- yang sedang berkeliling Timur Tengah untuk menjaring penanaman modal petrodolar di Amerika -- sempat mengunjunginya. Satu tahun sebelum itu Blumenthal pernah bertemu dengan Syah yang memberinya kuliah tentang perlunya hukum dan ketertiban sebagai faktor yang tak terelakkan dalam bernegara. "Kalian orang Amerika tak tahu bagaimana pemerintahan dijalankan," kata Syah dengan berapi-api. Blumenthal pergi ke istana karena ada undangan makan siang. Ia hampir tak mengenal Syah lagi. Raja yang atletis, ganteng yang dilihatnya pada 1977, telah berubah menjadi seorang yang sedang sakit dan tak sadar apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. "Aku tak tahu apa yang harus kukerjakan," katanya kepada Blumenthal. "Aku tak tahu apa yang mereka ininkan dariku." Itu diulang-ulanginya, seperti ia percaya bahwa kalau saja "mereka" -- siapa pun namanya dan dari mana asalnya -- mengatakan kepadanya apa yang harus dilakukan segalanya akan jadi beres. Di sela-sea lenguhan itu terjadilah keheningan dan sang raja hanya memandang ke lantai dengan kosong. Buat Blumenthal, ia bagaikan seekor setan. Ketika kembali ke Washington, Blumenthal segera menemui Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional Jimmy Carter. "Apa yang kita miliki di Iran adalah mayat hidup. Apa yang akan kita perbuat di sana? Apakah kita punya alternatif lain? Anda mesti mengerti kita tak bisa lagi menyandarkan diri pada Syah." Tapi, tak ada satu pun orang lain. Kebijaksanaan Barat selama 25 tahun hanyalah untuk menolong Syah membasmi semua alternatif. Segalanya adalah dia dan rezimnya. Pada suatu hari tak lama setelah kunjungan Blumenthal, panglima Angkatan Laut Iran, Laksamana Kamilladin Habib Olahi, datang kepada rajanya. Ia membawa sebuah memorandum yang berisi usul pengambilalihan negara secara militer. Lasamana Habib mengatakan bahwa revolusi sudah hampir sampai di puncaknya. Dan untuk mencegahnya, Syah mesti memerintahkan militer untuk menjalankan pemerintahan. Mereka akan menangkap semua orang yang bertanggung jawab atas krisis yang sedang melanda Iran. Termasuk ke dalam golongan ini adalah sekitar 5.000 orang paling korup yang terdiri dari para penjilat dan pejabat pemerintahan. Termasuk juga ke dalamnya sekitar 5.000 mullah dan kaum revolusioner. Tapi, dengan lesu Syah menjawab, "Tapi, Bung, itu menyalahi konstitusi." Habib menjawab itu hanya satu-satunya jalan, walaupun melawan konstitusi. "Baginda, itulah satu-satunya jalan unruk menyelamatkan negara," kata Habib, yang sekarang tinggal di Washington. Menurut ingatan Habib, Syah tak menjawab. Ia hanya berjalan mondar-mandir. Ia baru sadar bahwa Syah tak bisa dipercaya lagi untuk memimpin negara. Dan ia pun pergi meninggalkan Baginda. "Semua buku tentang revolusi mengatakan bahwa kaum revolusioner akan menang kalau kepala negara tak berani berbuat sesuatu. Dan Syah begitu tidak bisa mengambil keputusan," katanya. Ia menyalahkan Inggris dan Amerika yang, menurut dia, telah memberikan nasihat-nasihat yang kontradiktif. Banyak orang yang setuju dengan pendapat itu. Selama hayatnya dan selama ia duduk di takhta, ia lebih banyak mendengarkan nasihat orang-orang asing. Sekarang nasihat itu, malah pada saat-saat yang paling kritis, tak kunjung tiba .... Pada 16 Januari 1979, Syah dan Permaisuri Farah Diba meninggalkan Istana Niavaran untuk selama-lamanya. Tapi, alih-alih langsung menuju Amerika, ia singgah dahulu di Mesir untuk berkunjung kepada sahabatnya Anwar Sadat. Untuk permaisuri, barangkali beberapa bulan terakhir itu justru lebih berat ketimbang suaminya. "Tak ada semenit pun aku bisa bernapas dengan tenang," katanya mengenang. "Kalau saja ada waktu untuk berpikir dan untuk tenang selama sepuluh atau dua puluh menit alangkah bahagianya." Pada 1969, salah satu gadis Claude yang bernama Ange (bukan nama sebenarnya) pernah tinggal di Teheran selama beberapa bulan. Ia terbang ke Teheran dengan menggunakan kelas utama dan disambut oleh seorang pemuda dari protokol Istana. Mereka berkendaraan sedan Mercedes yang kacanya digelapkan, menuju Hilton. Ange diberi sebuah suite yang berdampingan dengan pemuda tampan itu. Pemuda itu mencoba merayunya, tapi rupanya wanita itu sudah diberi peringatan, kalau tergoda oleh pemuda itu, ia akan diterbangkan dengan pesawat berikutnya. Syah selalu ingin agar gadis-gadisnya tak disentuh oleh tangan orang lain. Wanita itu sadar dan semua staf hotel juga tahu mengapa ia berada di sana. Hanya untuk Syah. Selama tiga hari tak terjadi apa-apa, kecuali bahwa pemuda itu mengajarinya tata cara istana, sambil berusaha merayunya. Kemudian ia dibawa ke sebuah vila di sebelah utara Teheran. Di sana ia diterima oleh seorang penerima tamu dan beberapa pengawal untuk kemudian digiring ke sebuah kamar yang di dalamnya ada meja penuh makanan dan sebotol Chivas Regal. Wanita itu gugup dan Syah sangat terlambat. "Selama dua atau tiga jam berikutnya saya minum wiski itu. Dan ketika akhirnya ia datang, saya sudah demikian mabuk," kata Ange. Madame Claude telah mengatakan kepada Ange bahwa Syah sangat suka berdansa dan minum alkohol. Ange menuang segelas Chivas untuk Syah dan segelas lagi untuknya. Kemudian stereo dihidupkan, dan mereka berdansa tango. Dengan setengah mabuk ia mengajak Syah yang juga mabuk pergi ke kamar atas. Didorongnya Syah melewati para pengawalnya. Keduanya tertawa terkekeh-kekeh, tentu saja para pengawal tak berani ikut tertawa. Syah kemudian terlambat menemui Ratu di bandara. Kata orang, waktu itu terjadi insiden serius antara Raja dan Ratu. Beberapa bulan Ange disimpan di Teheran, untuk seminggu dua kali menerima Syah. Yang membuatnya terkenang terus kepada Syah adalah karena Sri Baginda, katanya, selalu tampak sedih. Ini pulalah yang menyebabkan Syah menyenangi Ange, karena Ange bisa membuatnya tertawa. Toh, akhirnya Ange bosan juga disimpan di Teheran terus. Akhirnya ia kabur lagi ke Paris. Ange tak pernah bertemu lagi dengan Syah. Tapi pada 1970, ketika Syah datang ke Paris untuk menghadiri peringatan buat De Gaulle, ia minta agar Ange didatangkan lagi. Tapi wanita itu sedang pergi memancing bersama pacarnya. Madame Claude menganggap tindakan Ange itu bodoh. Selama tahun-tahun 1970-an beberapa gadis dikirim lagi untuk menyervis Syah. Tampaknya, Syah hanya memerlukan ditemani dalam rangka relaksasi saja. Gadis-gadis itu didatangkan agar ia bisa beristirahat dari masalah kenegaraan dan politik untuk beberapa saat. Ia tak semata-mata tertarik oleh seks. Ia menghabiskan waktu berjam-jam dengan mereka, untuk bercerita tentang dirinya sendiri. Seperti juga Ange, sebagian dari wanita-wanita itu mengatakan bahwa Syah orang yang berwatak sedih dan kesepian. Apa pun namanya, sedih atau kesepian -- menurut sumber-sumber Pemerintah Iran sekarang -- untuk servis-servis yang tak bisa diterangkan selama pemerintahannya, Syah telah menghabiskan tiga juta dolar Amerika.A. Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum