JERIKEN plastik berjajar di tepi jalan Kelurahan Cicadas.
Sebagian pemiliknya berlindung di balik pohon, menghindari
sengatan Sinar matahari. Mobil tanki Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM), yang mendrop airnya, disambut hangat. Itu suatu contoh
kehidupan di Bandung, sementara debit air Sungai Cikapundung
terus menyusut. Tahun I958, debit air sungai yang membelah Kota
Bandung ini masih 20.000 liter/detik Tahun 1965, ia susut
menjadi 4.000 Iiter/detik, dan kini maksimum 500 liter/detik
saja.
Dir-Ut PDAM, Eddy Kurniadi, menuding penggundulan bukit Dago di
utara kota sebagai penyebabnya. Pembangunan ternyata telah
menggusurnya. Perumahan dosen ITB direncakan pula di sana.
Sepuluh tahun lalu, waktu Dago masih lebat pepohonan, Bandung
mcmang belum mengalami kesulitan air.
Air leding untuk Kodya Bandung, dipompa dari Cisangkuy, 32 km
arah selatan. Debit airnya tetap 1.000 liter/detik. Tapi hanya
25% dari 1,4 juta penduduk Bandung kini yang kebagian air
leding. Sedang sebagian pipa PDAM sudah tua, sering bocor,
hingga airnya yang masuk ke Bandung cuma 800 liter/detik.
Maka semakin - banyak sumur bor (artetis) yang dipasang. Yang
mendapat izin resmi, kata jurubicara Pemda JaBar Dod Soewondo,
ada 20 di Bandung. Tapi "banyak yang nakal." Mereka bahkan
membuat beberapa saluran di bawah tanah, untuk memperoleh air
lebih banyak. Sumur penduduk di sekitarnya jadi tersedot. Di
Kelurahan Padasuka, misalnya, sumur penduduk jadi kering karena
tersedot oleh sumur bor pabrik tekstil Naintex. Walaupun belum
sempat menadah air hujan (lihat box), mereka protes, tapi tak
digubris. Kalau tak segera ada proyek Dewi Sartika yang
mengucurkan air, pabrik itu mungkin diganyang. Melihat problem
yang timbul, sejak 1980 iin membuat sumur bor ditutup. Bahkan
permohonan PT Nurtanio ditolak.
Ini nampaknya pengaruh hasil penelitian PDAM bersama Direktorat
Geologi yang memakai konsultan Denmark, kemudian Jerman Barat.
Diketahui bahwa keadaan air tanah terus menurun. Tahun 1973, air
tanah total di Bandung ditaksir sekitar 1.100 liter/detik.
Sisanya diduga tinggal 700 liter/detik, setelah disedot untuk
industri dan keperluan lain. Air tanah ini mengalami penurunan
dari 2 meter menjadi 25 meter. Di beberapa tempat persediaan air
tanah bahkan menghilang. Penelitian itu menyimpulkan bahwa
penggundulan hutan, penyedotan air secara liar dan pola land use
yang kurang baik, yang mengakibatkan turunnya air tanah.
Soewondo mengakui kurangnya kontrol terhadap sumur bor, yang
kedalamannya di atas 15 meter. Pengairan DPU, yang berwenang
mengawasi, tak punya alat water meter untuk mengetahui volume
air yang tersedot sebuah sumur bor. Alat ini dimiliki PDAM yang
tak berhak mengawasi.
Formasi Cikapundung
R.P. Koesoemadinata dari Departemen Geologi ITB sependapat,
penyedotan air tanah sudah sangat berlebihan. Tapi ia
menyangsikan berita penyusutan air tanah di Kodya Bandung itu
akibat penggundulan bukit Dago. Daerah penyerapan air tanah
untuk Bandung, katanya, bukan Dago melainkan sebelah barat
Sungai Cipaganti (utara Ciumbuleuit sampai Cisarua). Ia menunjuk
hasil survei Direktorat Teknik Penyehatan bekerjasama dengan
konsultan dari German Water Engineering (GWE) tahun 1979.
Penelitian itu menyimpulkan, lapisan batuan sebelah timur
Cipaganti--biasa disebut formasi Cikapundung--ternyata lebih
tua, ketimbang yang di belahan barat. Alr tanah di formasi Ini
umumnya dalam, sampai 200 meteran, dan "belum banyak diketahui".
Sedang sumur-sumur bor yang ada sekarang terutama menyadap air
tanah dari formasi yang lebih muda, kata Koesoemadinata.
Purbo Hadiwidjoyo, ahli geologi lain, tak begitu merisaukan
sumur pompa yang menyedot air tanah. Yang banyak menyusut,
menurut dia, justru air permukaan. Sebabnya tak lain
perkembangan penduduk. Dulu air minum berasal dari sumur
dangkal. Sumbernya, resapan air yang menggenang di sawah dan
kolam. Kini sawah kian menciut, penduduk menutup halaman rumah
dengan semen. Permukaan tanah jadi makin tertutup. Akibatnya air
tak meresap ke bawah tapi langsung menggelinding jadi banjir.
Misalnya, di perempatan Jalan Dalam Kaum - Jalan Tamblong. Bila
hujan deras sedikit saja, kawasan ini jadi ajang banjir. Air
cepat menghilang begitu hujan reda.
Tapi sebab pokok menyusutnya air di Bandung, menurut
Hadiwidjoyo, karena semua pihak belum sinkron menangani. Belum
ada yang tahu persis, katanya lagi, "air itu dari mana,
bagaimana cara mengambilnya yang aman dan usaha melestarikannya.
Maka sekarang terjadi ibarat celengan yang terus diambil tapi
tak pernah diisi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini